Radikalisasi Anak Bukan Sebatas Mitos, Ini Buktinya!

Radikalisasi Anak Bukan Sebatas Mitos, Ini Buktinya!

- in Narasi
14
0
Radikalisasi Anak Bukan Sebatas Mitos, Ini Buktinya!

Belakangan ini, sebagian kalangan mulai ada yang meragukan tentang adanya radikalisasi anak di Indonesia. Mereka menilai isu ini hanyalah propaganda, sekadar alat politik, atau upaya pemerintah menciptakan ketakutan baru di tengah masyarakat.

Mereka meragukan karena bagi mereka isu radikalisasi anak yang selama ini berkembang tidak benar-benar tampak dalam kehidupan sehari-hari mereka. Padahal, anggapan mereka jelas-jelas salah. Salah karena fakta dan data yang ada justru berbanding terbalik dari keraguan sebagian kalangan akan adanya radikalisasi di kalangan anak-ank.

Fakta-Fakta Radikalisasi Anak yang Diragukan

Data resmi dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan bahwa radikalisasi anak-anak itu benar adanya. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya konten radikal di media sosial yang menyasar anak-anak. Sepanjang Januari–Agustus 2025 setidaknya 6.402 konten bermuatan radikalisme tersebar di media sosial menurut data BNPT.

Angka tersebut bukan sekadar statistik; ia adalah bukti bahwa ruang digital kita tengah dipenuhi upaya penyebaran ideologi kebencian dengan berbagai bentuk—mulai dari ceramah singkat, meme, video pendek, hingga diskusi daring yang tampak akademis. Yang tentunya, targetnya tiada lain, generasi muda, yang tak lain adalah anak-anak itu sendiri.

Salah satu kasus yang cukup mengejutkan adalah radikalisasi melalui game online. BNPT mengungkap, sedikitnya 13 anak dari berbagai daerah di Indonesia terhubung dan direkrut melalui permainan daring Roblox. Awalnya, mereka bermain seperti biasa—berteman, membuat dunia virtual, dan berbagi cerita. Namun di balik percakapan ringan itu, muncul sosok yang perlahan memperkenalkan pandangan ekstrem, berbicara tentang jihad, solidaritas umat, dan “kewajiban” melawan ketidakadilan versi mereka sendiri.

Para perekrut tidak menampilkan wajah keras atau menakutkan. Mereka hadir sebagai teman yang perhatian, pendengar yang baik, dan sosok yang seolah memahami keresahan anak-anak. Inilah wajah baru radikalisasi: lembut, bersahabat, tapi beracun. Ia tidak lagi datang lewat teriakan, melainkan bisikan; bukan melalui senjata, tetapi melalui keakraban virtual.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana dunia digital telah menjadi lahan subur bagi metamorfosis baru radikalisasi. Media sosial dan game online bukan sekadar sarana hiburan, melainkan juga telah menjadi ruang baru di mana paham-paham radikal disusupkan.

Sayangnya, banyak orang tua yang belum memahami risiko ini. Yang celakanya, juga meragukan informasi tersebut. Mereka membiarkan anak bermain daring tanpa pendampingan, tanpa tahu bahwa obrolan ringan di balik layar bisa menjadi pintu masuk ideologi ekstrem.

Sehingga dengan itu, kelompok radikal dan jaringannya menjadi eluasa menanamkan nilai-nilai intoleran tanpa perlawanan. Karena itu, para orang tua harus mulai menyadari ancaman berbahaya ini. Alih-alih meragukannya sebagai isu buatan belaka.

Radikalisasi anak bukanlah mitos, dan bukan pula isu buatan. Ia adalah kenyataan yang menuntut kewaspadaan kolektif. Di era digital yang tanpa batas ini, radikalisasi tidak lagi hanya terjadi di ruang-ruang fisik, tetapi di layar-layar handphone yang kita pegang setiap hari.

Jika hari ini kita abai, besok mungkin bukan hanya anak-anak yang kehilangan masa depan, tetapi juga bangsa ini yang kehilangan arah moralnya. Maka, melindungi anak-anak dari radikalisasi berarti menjaga masa depan Indonesia. Dan itu hanya bisa dilakukan bila kita berhenti menganggapnya sebagai mitos, dan mulai menghadapinya sebagai kenyataan.

Facebook Comments