“Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air”
Itu salah satu petikan khutbah Nabi Muhammad SAW di awal pensyariahan puasa di bulan Ramadan. Seruan khutbah Nabi di atas menegaskan pentingnya penjagaan diri dari segala bara api yang bisa merusak diri. Api identik dengan kesombongan, keangkuhan, kepongahan, dan sifat otoriter. Nalar otoriter bisa menyulut lahirnya tindakan anarkhis dan kejam. Termasuk suburnya terorisme yang terus mengancam perdamaian dan ketentraman. Para teroris telah merusak dirinya sendiri dan gagal menggapai kedamaian dan kesejatian diri.
Makanya, walaupun dengan seteguk air, seruan Nabi menandaskan bahwa api kesombongan dan keangkuhan bisa luluh, luntur, dan teduh dengan seteguk air saja. Air identik dengan kesegaran, kelegaan, kedamaian, dan ketentraman. Walaupun hanya dengan seteguk air, diri manusia bisa terjauh dari panasnya api kesombongan dan terorisme. Dengan meneguk air, jiwa manusia akan terisi kedamaian, sehingga api segera padam. Jiwa tentram dsan kehidupan penuh kedamaian.
Seruan khutbah Nabi mengisyaratkan bahwa puasa Ramadhan bisa menjadi air yang menentramkan jiwa umat Islam. Puasa bukan sekedar lapar dan dahaga, tetapi puasa dengan menjaga seluruh anggota tubuh dari kemunkaran dan menjaga hati agar tidak berpaling sedikitpun kepada selain Allah. Anggota tubuh yang puasa bukan sekedar menjaga dari kemunkaran, tetapi juga dioperasionalkan untuk membela kebenaran dan kemanusiaan. Tak terbersit sedikitpun dalam kesejatian orang yang puasa untuk menyakiti, meneror, membunuh, dan memfitnah saudara sendiri. Menurut Al-Ghazali, puasa orang khusus bisa batal pahalanya dengan lelaku anggota badan yang buruk dan hina.
Kaum teroris sungguh telah kehilangan kesejatian dalam beragama. Dalam universalitas ajaran Islam, Nabi tak pernah mengajarkan untuk menjadikan umatnya sebagai penebar keresahan dan kesusahan. Justru Nabi selalu menandaskan agar umatnya selalu menjadi pembawa obor di lorong kegelapan. Dalam Hadits Qudsi, Allah menyatakan “semua makhluq adalah keluarga-Ku. Makhluq yang paling Aku cintai adalah yang paling penyayang pada makhluq yang lain, yang paling bersungguh-sungguh dalam memenuhi keperluannya”.
Penghayatan dalam puasa Ramadan menjadi penanda sangat penting bahwa obor perdamaian untuk memihak dan membela sesama menjadi tugas krusial umat Islam. Mencederai, apalagi membunuh saudara sesama manusia, merupakan perbuatan sangat dibenci oleh Nabi. Di bulan Ramadan, Nabi justru selalu mengajak umat Islam untuk menyediakan buka puasa dengan sesama, menyantuni kaum fakir miskin, menanggung beban anak yatim, dan tak sedikitpun diperbolehkan menyakiti saudara.
Puasa Ramadan juga menghayatkan sebuah pengekangan terhadap hawa nafsu. Mengekang diri dengan lapar dan dahaga merupakan starting point untuk mengekang hawa nafsu sekujur tubuh manusia. Nabi sendiri mengintrodusir bahwa jihad akbar adalah dengan mengekang hawa nafsu, bukan dengan perang yang menumpahkan darah dan menghilangkan nyawa manusia. Selepas perang badar, Nabi menandaskan itu semua, agar umat Islam tidak terjebak dengan jihad berupa perang yang diraih dengan kemenangan. Perang dan kekerasan sama sekali tidak masuk dalam “kamus Islam” Nabi Muhammad. Bahkan marah saja dalam sebuah hadits harus dikendalikan, khususnya di bulan Ramadan, “siapa yang mengendalikan amarahnya di bulan Ramadan, Allah akan menahan murka-Nya pada hari kiamat nanti.”
Sebagai agama yang menyeru perdamaian, jelaslah itu sudah diproklamasikan Nabi Muhammad 14 abad silam. Islam sendiri selain bermakna kepasrahan, juga bermakna kedamaian. Nabi Muhammad selalu dipuji oleh ruh setiap jaman, bukan sekedar menjadi Nabi yang terpilih, tetapi karena gerak tablighnya bisa membuka jalan pencerahan dan kedamaian bagi manusia. Manusia bisa setara dan sederajat, saling menjaga dan menghormati. Seruan perdamaian Nabi Muhammad sudah menjadi tonggak perjalanan panjang agama Islam dalam konteks apapun.
Kalau fakta di Indonesia memperlihatkan umat Islam justru menjadi pelaku utama gerakan terorisme, ini jelas sebagai bukan sekedar gagal memahami esensi ajaran Islam, tetapi juga sebagai manifestasi gerakan politik yang berupakan meruntuhnya peradaban Islam. Secara geneologis, datangnya Islam di Nusantara yang dibawa para pedagang, kaum sufi, dan para wali, sama sekali tidak memperlihatkan praktek paksaan, apalagi sampai menteror.
Para wali sangat halus mengajarkan Islam. Terjadi proses akulturasi yang sangat arif dalam diri ajaran Islam dan budaya Nusantara. Para kiai dengan pesantrennya juga mengajarkan Islam dengan penuh toleran dengan masyarakat.
Ramadan kita jadikan sebagai jembatan emas untuk bermanfaat dengan sesama dan meraih kebahagiaan tertinggi: khidmat menuju Allah SWT.