Resiliensi Pemuda dengan Revitalisasi Agama dan Budaya

Resiliensi Pemuda dengan Revitalisasi Agama dan Budaya

- in Narasi
28
0
Resiliensi Pemuda dengan Revitalisasi Agama dan Budaya

Di tengah perkembangan globalisasi, pemuda Indonesia menghadapi tantangan baru, termasuk ancaman radikalisasi. Fenomena ini telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan meningkatnya kemudahan akses informasi dan dampak media sosial. Memahami betapa pentingnya ketahanan dalam diri pemuda, penanaman nilai kebudayaan dan keagamaan dapat menjadi benteng yang kokoh untuk mencegah mereka terjerumus dalam ideologi ekstremis.

Radikalisasi di kalangan pemuda dipicu oleh faktor sosial dan ekonomi, krisis identitas, serta paparan terhadap ideologi yang menyesatkan. Di Indonesia, tekanan dari faktor-faktor tersebut diperburuk oleh terbatasnya akses ke kegiatan komunitas yang positif. Banyak pemuda merasa kecewa akibat ketimpangan sosial dan ekonomi, sehingga rentan terhadap narasi yang menjanjikan tujuan dan rasa kebersamaan yang semu.

Media sosial juga menjadi salah satu contoh nyata di mana pesan-pesan radikal sering kali disamarkan sebagai konten motivasi. Pemuda yang berada dalam masa pencarian jati diri, secara tidak sadar, mungkin tertarik dengan ide-ide ini. Paparan ini, ditambah dengan kurangnya pemahaman terhadap budaya dan ajaran agama yang kuat, menciptakan kondisi yang sempurna bagi radikalisasi. Maka, menjadi sangat penting untuk membangun resiliensi dengan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya dan agama yang ada.

Nilai budaya menjadi landasan identitas, yang menciptakan rasa memiliki dan bangga terhadap warisan leluhur. Keanekaragaman budaya Indonesia yang tercermin dalam nilai gotong royong dan kekeluargaan, dapat memberikan perlindungan dari ideologi ekstrem. Komunitas dengan ikatan budaya yang kuat cenderung lebih tahan terhadap radikalisasi karena anggotanya merasa memiliki tanggung jawab sosial yang lebih besar.

Contohnya, dalam komunitas Banyumasan di Jawa Tengah, dialek lokal, upacara tradisional, dan nilai-nilai kekeluargaan memperkuat rasa persatuan. Ketika pemuda memahami dan menghargai akar budaya mereka, mereka cenderung tidak mudah terpengaruh oleh ideologi yang bertentangan dengan keharmonisan masyarakat. Sekolah dan komunitas dapat menghidupkan kembali dongeng, seni, dan ritual tradisional yang mengingatkan pemuda akan nilai-nilai luhur budaya mereka.

Agama, ketika dijalankan dengan semangat toleransi dan kasih sayang, menjadi alat yang sangat efektif untuk melawan radikalisme. Namun, banyak pemuda yang terjebak dalam interpretasi agama yang dangkal atau bahkan menyesatkan karena kurangnya pendidikan agama yang mendalam. Ajaran agama yang otentik menekankan kasih sayang, toleransi, dan pentingnya hidup berdampingan. Nilai yang di tanamkan oleh agama ini tentu saja sangat bertolak belakang dengan radikalisme.

Ajaran Islam di Indonesia mendorong sikap hidup damai dan seimbang yang mengedepankan toleransi dan empati. Program yang diinisiasi oleh organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah telah berhasil mengajak pemuda untuk mempelajari nilai-nilai keagamaan dari perspektif yang toleran dan inklusif. Inisiatif ini dapat menjadi inspirasi bagi gerakan serupa dalam membentuk generasi yang memahami nilai-nilai agama yang sejati dan menolak narasi ekstremis.

Memasukkan pendidikan budaya dan agama dalam kurikulum sekolah menjadi cara terstruktur untuk menanamkan ketahanan dalam diri pemuda. Sekolah perlu mendorong pemahaman lintas agama dan budaya, memfasilitasi diskusi mengenai pentingnya keberagaman dan hidup berdampingan. Para guru dapat mengajarkan Pancasila serta falsafah dasar negara Indonesia yang menekankan persatuan dan keadilan sosial sebagai landasan dalam menangkal ideologi yang bertentangan.

Program pendidikan sebaiknya berfokus pada pengembangan berpikir kritis agar siswa mampu mengenali dan mempertanyakan ideologi yang menyesatkan. Kementerian Pendidikan, misalnya, dapat bekerja sama dengan organisasi budaya dan keagamaan untuk merancang modul kurikulum yang mengajarkan nilai-nilai budaya dan agama, sehingga siswa memahami nilai luhur dari warisan mereka.

Komunitas dan keluarga memiliki peran penting dalam menanamkan resiliensi. Para pemimpin lokal, pendidik, dan orang tua harus aktif dalam mengajarkan serta menguatkan nilai-nilai budaya dan agama. Diskusi keluarga tentang warisan leluhur, cerita-cerita ketahanan, dan prinsip keharmonisan bisa memperkuat identitas anak dan rasa memiliki, sehingga mengurangi kerentanan terhadap pengaruh radikal.

Di daerah yang rentan terhadap kegiatan radikal, program komunitas yang berfokus pada pemberdayaan pemuda dan pengembangan keterampilan bisa menjadi alternatif terhadap ideologi kekerasan. Inisiatif seperti pusat-pusat pemuda atau kegiatan ekstrakurikuler yang menonjolkan nilai-nilai budaya dan agama dapat menjadi tempat aman bagi pemuda, memberi mereka kerangka positif untuk menolak pengaruh radikal.

Membangun resiliensi pemuda terhadap ancaman radikalisasi merupakan tanggung jawab bersama yang harus melibatkan berbagai elemen bangsa, mulai dari keluarga, sekolah, komunitas, hingga pemerintah. Melalui pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai budaya dan agama, pemuda Indonesia dapat memiliki fondasi yang kuat untuk menolak ideologi ekstremis.

Upaya ini harus mencakup pendidikan yang mengajarkan keberagaman dan toleransi, serta program-program komunitas yang mendorong partisipasi aktif mereka. Dengan demikian, Indonesia dapat melahirkan generasi muda yang tidak hanya berdaya saing, tetapi juga memiliki integritas dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Facebook Comments