Kerentanan anak-anak terhadap paham ekstrem termasuk xenofobia dan chauvinism menjadi perhatian serius dalam dinamika sosial Indonesia masa kini. Di tengah arus informasi yang bergerak cepat dan tak selalu terverifikasi, generasi muda berada dalam posisi yang rentan terhadap narasi yang memecah belah. Paham-paham tersebut tidak hanya mengancam pemikiran kritis anak-anak, tetapi juga menggerus fondasi kebangsaan Indonesia yang bertumpu pada prinsip kebhinnekaan. Revitalisasi filosofi Ki Hajar Dewantara menjadi kebutuhan mendesak untuk memperkuat pendidikan karakter dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan sejak usia dini.
Paham xenophobia yakni ketakutan atau kebencian terhadap kelompok yang dianggap asing dan sering muncul dalam bentuk-bentuk yang halus namun merusak, seperti stereotip, diskriminasi, hingga perilaku eksklusif. Sementara itu, chauvinisme memupuk rasa superioritas kelompok tertentu yang bertentangan dengan nilai musyawarah, gotong royong, dan toleransi yang menjadi ciri khas budaya Indonesia. Ketika anak-anak menyerap pola pikir ekstrem ini, mereka berpotensi tumbuh menjadi generasi yang sulit menerima perbedaan dan mudah terprovokasi oleh narasi konflik. Dampaknya bersifat jangka panjang, mengancam ketahanan sosial serta merusak cita-cita Indonesia sebagai bangsa yang plural dan inklusif.
Di titik inilah filosofi Ki Hajar Dewantara menemukan kembali relevansinya, sebagai pelopor pendidikan Indonesia, Ki Hajar mendasarkan pemikirannya pada penghargaan terhadap “kodrat alam” peserta didik, yakni kondisi, potensi, dan lingkungan budaya tempat mereka tumbuh. Jika diibaratkan, “kodrat alam” adalah tanah tempat tanaman tumbuh. Tugas pendidikan bukan mengganti tanah itu, tetapi merawat, memupuk, dan membimbing agar tanaman tumbuh seoptimal mungkin sesuai sifat alaminya.
Pendidikan, menurutnya, tidak boleh tercerabut dari akar lokalitas, tetapi juga harus membuka pandangan anak terhadap dinamika dunia. Pendekatan “berakar pada budaya sendiri, namun tetap terbuka terhadap kemajuan global” inilah yang menjadi landasan penting untuk membangun ketahanan anak terhadap paham ekstrem.
Salah satu prinsip utama Ki Hajar Dewantara adalah “ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani.” Prinsip ini menempatkan pendidik, orang tua, dan lingkungan sebagai teladan yang mengarahkan perkembangan karakter anak. Dalam pencegahan ekstremisme, teladan ini harus terwujud melalui praktik sehari-hari yang mencerminkan penghargaan terhadap keberagaman agama, budaya, etnis, dan pandangan. Keteladanan bukan sekadar instruksi, tetapi pembiasaan nilai-nilai toleransi dalam interaksi yang nyata.
Selain itu, pendidikan berbasis budaya lokal menjadi jembatan penting untuk memperkuat identitas anak. Ketika anak-anak memahami dan bangga pada budaya leluhur, mereka memiliki jangkar identitas yang kuat. Identitas yang kokoh menjadi benteng psikologis yang efektif terhadap ideologi ekstrem yang sering memanfaatkan rasa kehilangan identitas atau kebutuhan untuk merasa “unggul”. Namun, kebanggaan identitas tidak boleh berkembang menjadi chauvinisme; sebab, Ki Hajar Dewantara menekankan bahwa pemahaman budaya lokal harus disertai kesadaran akan kemajemukan sebagai kekuatan bangsa.
Pembelajaran yang menghargai keberagaman juga memerlukan inovasi pedagogis. Sekolah dan keluarga harus menciptakan ruang dialog yang sehat, di mana anak-anak belajar menyampaikan pendapat sekaligus menghormati pandangan berbeda. Penggunaan media pembelajaran yang memperkenalkan tradisi lokal dari berbagai daerah, kolaborasi antar-suku di ruang kelas, hingga kegiatan yang menumbuhkan empati seperti proyek sosial dapat memperkaya pengalaman belajar yang inklusif. Pendekatan ini bukan hanya mengajarkan toleransi, tetapi juga mengasah kemampuan berpikir kritis agar anak tidak mudah terpengaruh manipulasi informasi.
Dalam era digital, pendidikan literasi media juga menjadi bagian tak terpisahkan dari revitalisasi pemikiran Ki Hajar Dewantara. Anak perlu dibimbing untuk memahami bagaimana algoritma, hoaks, atau propaganda bekerja. Ketika literasi digital digabungkan dengan karakter yang kuat, anak-anak memiliki kemampuan untuk menyaring informasi secara bijak dan menolak narasi ekstrem.
Pada akhirnya, filosofi Ki Hajar Dewantara menawarkan kerangka komprehensif untuk membangun generasi muda yang inklusif, berkarakter kuat, dan penuh kasih sayang. Melalui pendidikan yang menghargai keberagaman, menanamkan toleransi, dan menghormati budaya lokal, Indonesia dapat menciptakan benteng sosial yang tangguh terhadap infiltrasi paham-paham ekstrem. Revitalisasi pemikiran Ki Hajar Dewantara bukan sekadar kebutuhan pedagogis, tetapi strategi fundamental untuk menjaga persatuan bangsa, membangun keadilan, dan menumbuhkan kasih sayang antabingkai kebhinekaan yang terus dijaga.
