Selesai Ramadhan; Kembali ke Fitrah, Bukan ke Fitnah

Selesai Ramadhan; Kembali ke Fitrah, Bukan ke Fitnah

- in Keagamaan
2525
0
photo by: beritasatu.com

Bulan suci penuh kemuliaan, Ramadhan, telah berlalu tahun ini. Haru biru perayaan hari kemenangan pun telah pula meneruskan langkah untuk kemudian kembali lagi di tahun depan. Proses latihan diri selama sebulan penuh melalui praktek puasa seharusnya telah mampu membawa manusia untuk kembali kepada fitrahnya, yakni sebagai khalifah di muka bumi. Paling tidak, ibadah puasa telah menunjukkan betapa agama datang untuk membimbing manusia menuju kebaikan, karena dengan puasa manusia diajari arti penting berbagi dan mensyukuri nikmat yang diberi Tuhan.

Laiknya proses belajar, puncak dari ibadah puasa bukanlah kemampuan untuk menahan haus dan dahaga di siang hari (lalu ‘balas dendam’ di malam hari), tetapi perubahan diri menjadi lebih baik. Alm. Zainuddin MZ., dalam sebuah kesempatan pernah menyatakan bahwa ‘hasil’ dari puasa paling tidak dapat dilihat melalui tingkah laku di malam hari, bukan siang hari. Siang hari dipandangnya tidak kondusif untuk melakukan kejahatan, karena di siang hari semua orang sedang sama-sama menjalankan puasa. Karenanya tidak makan dan tidak minum di siang hari merupakan hal yang ‘kelasnya’ masih standar saja.

Beda halnya dengan malam hari, di waktu ini seseorang dapat dengan bebas melakukan apa saja, termasuk makan, minum dan bahkan bercinta dengan pasangan sahnya. Seseorang yang berpuasa hanya didasari oleh semangat menahan makan dan minum saja, cenderung akan ‘balas dendam’ di malam hari, segala yang ada akan dilahapnya seolah hari esok tidak akan lagi ada.

Jika ditarik ke konteks yang lebih luas, maka keberhasilan puasa seseorang selama satu bulan lamanya justru terlihat dari perubahan sikap di bulan-bulan setelah Ramadhan, bukan saat Ramadhan. Ini berarti bahwa ibadah puasa bukanlah pause untuk segala keburukan yang biasa dilakukan, bulan Ramadhan bukanlah bulan di mana seseorang ‘cuti’ dari melakukan keburukan namun kembali melakukannya saat Ramadhan telah tiada. Ibarat bengkel, Ramadhan adalah waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki seluruh komponen rusak yang ada pada diri, maka seyogyanya, setelah masa perbaikan selesai, seluruh kerusakan pun dapat terurai, bukan malah terbengkalai dan menimbulkan kerusakan-kerusakan baru.

Kembali ke fitrah merupakan ‘tanda kelulusan’ bagi siapa saja yang berhasil menjalani masa perbaikan ini dengan baik. Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan baik, untuk tujuan baik, oleh dzat yang maha baik, karenanya fitrah manusia adalah baik yang membaikkan. Siapa saja yang berhasil mencapai taraf ini, maka sangat besar kemungkinan, mereka telah lulus ujian ini dengan baik.

Sementara bagi mereka yang gagal, alih-alih kembali ke fitrah, mereka justru kembali lagi terperosok dalam hingar bingarnya fitnah. Seolah bulan Ramadhan hanyalah masa istirahat dari berbuat jahat, setelah Ramadhan pergi, mereka jahat lagi. Parahnya, di bulan Ramadhan kali ini ada banyak sekali orang yang sepertinya tidak sabar untuk sekedar menunggu Ramadhan usai. Keinginan kuat untuk berlaku jahat sudah tidak dapat dibendung lagi, maka jadilah bulan Ramadhan tahun ini disesaki dengan aksi jahat yang begitu menyayat hati.

Dimulai dari parade bom bunuh diri di luar negeri, hingga peristiwa serupa di dalam negeri yang kesemuanya terjadi saat Ramadhan belum benar-benar pergi. Di dunia maya, khususnya media sosial, akun maupun situs yang biasa menyebar berita bohong dan bahkan fitnah nyatanya juga tidak mau berhenti barang sejenak dalam membuat masyarakat resah dan bergejolak. Kelompok-kelompok radikal menyesaki bulan radikal dengan seruan untuk berjihad yang dilakukan dengan cara jahat, ujaran-ujaran penuh kebencian juga masih saja terus disebarkan seolah tidak peduli bahwa bulan ini adalah bulan yang disucikan.

Rangkaian fitnah itu nyatanya tidak juga berhenti usai Ramadhan pergi. Terbaru, kabar mengenai anggota polisi yang dituduh melakukan pelecah terhadap istri alm. Nur Rohman, pelaku bom bunuh diri di mapolrestas Surakarta, karena memintanya melepas hijab dan cadar mulai gencar diumbar. Ujaran-ujaran kebencian tidak lupa ditempelkan pada setiap pemberitaan yang mereka buat(-buat), seperti penyematan label kafir dan thogut kepada para polisi yang bertugas melakukan penyelidikan pada kasus Nur Rohman. Semua ini ditujukan agar masyarakat resah dan terpecah belah.

Hal yang menarik dari ini adalah, meski isu agama selalu digunakan untuk membenarkan aksi teror dan kekerasan, nyatanya –sebagaimana ditunjukkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Robert A. Pape (2005: 15)—aksi-aksi kekerasan yang diatasnamakan agama, khususnya melalui serangan bom bunuh diri, tidak pernah tentang agama. Aksi-aksi ini didorong oleh alasan-alasan sekuler, yakni nasionalisme dalam bentuk politik penentangan untuk penguasaan wilayah. Agama hanya digunakan sebagai kedok untuk mendapatkan pembenaran, sehingga mereka dapat terus melakukan rekrutmen untuk kemudian dijadikan tumbal hidup demi ambisi rakus yang tidak pernah redup.

Kasus Nur Rohman, yang belakangan diketahui telah tega selama setahun lamanya menelantarkan istri dan anaknya yang masih balita demi ambisi mendapat bidadari di surga, hanyalah sedikit contoh betapa masih banyak dari kita yang membiarkan Ramadhan pergi begitu saja tanpa kita mendapat cipratan berkahnya. Kini, setelah Ramadhan pergi, mari segerakan untuk instropeksi, adakah yang berubah dari kita? Kemanakah kita kembali, ke fitrah atau ke fitnah?

Facebook Comments