Jika kita amati, ada begitu banyak orang, termasuk beberapa “pemuka agama” di Indonesia yang selalu menganggap bahwa syariat agama-Nya, seolah tidak ada korelasi khusus dengan basis (penanggulangan secara medis) guna keselamatan jiwa di era wabah.
Seakan (pranata) syariat agama-Nya hanya melulu tentang basis keimanan dan basis kepasrahan kepada-Nya semata. Layaknya: “Mati di tangan Tuhan, bukan karena covid-19”. Lalu tidak peduli terhadap penyuluhan secara medis dan bahkan memberontak segala aturan yang ada di tengah penularan covid-19 yang terus melonjak.
Lantas pertanyaannya sekarang, apakah secara subtansial pranata Syariat agama-Nya hanya meniscayakan perintah untuk beriman, lalu pasrah saja dengan keadaan? Sebagaimana yang kita hadapi di tengah wabah covid-19 ini? Lalu menolak segala bentuk “ikhtiar” agar terbebas dari penularan covid-19. Hanya karena kita mengekspresikan syariat agama-Nya dalam basis keimanan dan kepasrahan saja.
Bukankah begitu banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang selalu memerintahkan kita untuk disiplin agar: berusaha menjauhi penyakit, Jauhilah kemudharatan dan melaksanakan ikhtiar sebelum tawakkal. Lalu berpikirlah dan gunakanlah akal sehat kita dalam beragama.
Maka, di sinilah sebetulnya yang menjadi polemik umat beragama di era wabah. Kita belum sepenuhnya memahami dan bahkan masih dalam keadaan “kocar-kacir” perihal (pranata syariat agama-Nya) secara fungsi, tata-letak dan proses penggunaan-nya yang ideal.
Seperti Apakah Pranata Syariat di era Wabah ini?
Kita mungkin paham bahwa adanya wabah covid-19 itu adalah kehendak Allah SWT. Namun, bukan berarti, basis (keimanan) itu dijadikan jalan kita untuk menangkal wabah itu dengan kepasrahan. Meskipun Allah SWT memiliki kekuatan untuk mengobati dan menyembuhkan manusia dari berbagai macam penyakit.
Pemahaman di atas, bukan berarti membentuk porsi (kepasrahan). Lalu menolak untuk mengikuti protokol kesehatan (prokes), menolak kebijakan pemerintah dan bahkan menolak untuk melakukan vaksinasi. Tindakan yang semacam ini sebetulnya telah mengerdilkan pemberian Tuhan kepada kita sebagai manusia yang (berpikir dan berakal sehat). Di mana ilmu pengetahuan bisa dikembangkan, penyuluhan kesehatan manusia bisa ditemukan, serta peradaban manusia bisa semakin membaik.
Karena pranata syariat agama-Nya bukan hanya soal keimanan dan kepasrahan saja. Karena agama-Nya bukan hanya sekadar ajaran bagaimana mengenali-Nya, mengabdi kepada-Nya dan hanya berpasrah diri kepada-Nya. Tetapi ada semacam “kesempatan non-transendental” ikhtiar diri yang mengacu ke dalam cara pandang kita, cara berpikir kita serta cara bertindak kita dalam banyak hal. Termasuk rasa tanggung-jawab kita menghadapi wabah covid-19 ini.
Maka, jika pemerintah itu membuat suatu kebijakan layaknya PPKM, yang secara orientasi baik dan bermanfaat bagi kesehatan, keselamatan dan kenyamanan kita dalam menjalani hidup dan beribadah kepada-Nya bisa terbebas dari ancaman kesehatan. Maka, ini adalah bagian dari pranata syariat agama-Nya yang benar dan perlu ditegakkan. Karena, sebagaimana tujuan syariat adalah untuk mencari solusi etis manusia untuk menggapai kemaslahatan dan kenyamanan. Baik secara perilaku (horizontal maupun vertikal).
Oleh sebab itulah. Kita perlu membangun pranata syariat agama-Nya yang lebih relevan dan efisien di era wabah ini. Yaitu membangun semacam kesadaran bahwa wabah ini hadir sebagai kehendak-Nya. Lalu, kita mengoptimalkan daya kita sebagai manusia yang (berpikir dan berakal-sehat) untuk menjauhi penyakit, menjauhi kemudharatan dan melaksanakan ikhtiar. Sebagaimana yang telah dianjurkan oleh pemerintah perihal penanganan covid-19. Lalu, setelah itu saat nya kita mengoptimalkan tawakkal diri setelah semua usaha ikhtiar kita dilakukan dengan baik untuk keluar dari zona penularan wabah covid-19 ini.