Pada 5 April 2025, komite Fatwa dan Yurisprundensi IUMS mengeluarkan fatwa lanjutan terkait kewajiban seluruh umat Islam untuk Jihad memerangi Israel. Mereka (IUMS) menganggap perang Israel di Gaza dianggap sebagai pembersihan sistematis. Lalu mendesak seluruh negara-negara (mayoritas Islam) dan negara Arab seperti Lebanon, Yordania dan Mesir untuk bersatu membuat aliansi negara-negara Islam untuk bergerak dalam semangat jihad tersebut.
Yang harus kita pahami, fatwa jihad ke Gaza yang dikeluarkan oleh IUMS sebetulnya “rapuh” dan cenderung pada kemudharatannya dibanding kemaslahatannya. Sebab, ada sisi gelap dari fatwa tersebut yang akan dimanfaatkan sebagai “tipu-daya” propaganda terorisme Foreign Terrorist Fighter (FTF). Fatwa jihad ke Gaza itu akan diperalat oleh kaum radikal-teroris sebagai legitimasi untuk mengajak umat Islam agar hijrah untuk berjihad mengatasnamakan solidaritas Palestina.
Dalam konteks lain, fatwa jihad berperang ke Gaza yang dikeluarkan oleh IUMS ini bukan sebagai fatwa yang mewakili seluruh umat Islam. Sebab, ada lembaga fatwa di beberapa negara yang justru mengkritik, tidak sepakat dan bahkan menolak fatwa tersebut. Seperti lembaga fatwa Mesir (Dar al-Ifta) misalnya. Kecaman lembaga fatwa Mesir ini tak lepas dari tinjauan maslahat-mudharatnya fatwa tersebut, karena sangat berpotensi membawa kekacauan.
Seperti dalam pernyataan lembaga fatwa Mesir. Bahwa, deklarasi jihad itu pada dasarnya harus dideklarasikan oleh suatu negara yang sah, bukan justru hanya dideklarasikan oleh kelompok tertentu. Karena, hanya negara dan pemerintah yang sah yang berhak dan memiliki otoritas serta legitimasi secara syar’i dalam mengeluarkan sebuah fatwa.
Tentu, suatu fatwa hukum dalam Islam harus mempertimbangkan dampak maslahat-mudharat bagi kehidupan umat. Tak ada sebuah produk hukum yang “buta” pertimbangan. Kecuali, fatwa tersebut “cacat” dan tak layak dijadikan sebuah fatwa hukum atas dasar pertimbangan maslahat-mudharat. Sebab, fatwa kewajiban berperang melawan Israel lalu memprovokasi seluruh negara, itu sama-halnya ingin menciptakan sebuah kehancuran berskala global, karena melibatkan berbagai negara yang secara politik, pro-Palestina dan yang pro-Israel itu sendiri.
Jadi, kita harus waspada sisi gelap di balik fatwa jihad ke Gaza itu dan jangan telan mentah-mentah sebagai perintah agama. Sebab, fatwa jihad ke Gaza yang dikeluarkan oleh IUMS bukanlah sebagai “fatwa sakral” agama yang secara mentah kita mengikutinya. Artinya apa? kita harus mengambil pemahaman yang lebih relevan dan menimbang dampak maslahat dalam menyikapi fatwa jihad tersebut.
Kita harus sadar akan satu hal. Bahwa potensi kemudharatan fatwa jihad perang ke Gaza itu jauh lebih besar dari kemaslahatannya. Perbandingan yang semacam ini menunjukkan satu tesis penting, bahwa fatwa jihad ini hanya akan menjadi keuntungan kaum radikal. Bagaimana mereka akan semakin mudah menebar propaganda jaringan teroris international dengan membawa isu-isu Palestina.
Jaringan teroris international selalu menjadikan isu-isu solidaritas Palestina sebagai jebakan yang mudah menipu setiap orang. Rasa solidaritas dan semangat dukungan yang kita miliki terhadap Palestina akan diarahkan ke dalam semangat perjuangan yang sesat, keliru dan membawa mudharat. Mereka akan memanfaatkan fatwa jihad ke Gaza untuk merekrut orang sebanyak-banyaknya dari berbagai negara di seluruh dunia untuk memperkuat agenda terorisme berbasis global.
Maka, hal yang paling relevan untuk kita sikapi adalah meletakkan fatwa jihad ke Gaza itu bukan sebagai semangat jihad destruktif. Tetapi, meletakkan semangat jihad ke Gaza ke dalam spirit yang konstruktif. Yakni jihad untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, menghentikan peperangan dan mendukung penuh kemerdekaan mereka. Semangat demikian harus kita gaung-kan untuk mereduksi dan mewaspadai sisi gelap propaganda terorisme di balik fatwa jihad berperang di Gaza itu.