Soekarno, Islam dan Nasionalisme

Soekarno, Islam dan Nasionalisme

- in Tokoh
1030
0
Soekarno, Islam dan Nasionalisme

Selain Gus Dur, Soekarno adalah salah tokoh bangsa yang selalu seksi untuk dibicarakan. Hal itu, karena Soekarno punya pemikiran-pemikiran dan tulisan-tulisan menarik yang selalu bisa kita bicarakan. Sebab itu, adalah suatu kepantasan bilamana, seorang Hairus Salim HS, dalam bukunya Sang Kosmopolit (E-Books, 2019) mengkategorikan Soekarno dan Gus Dur sebagai dua Presiden Indonesia yang menulis.

Buku berjudul Nasionalisme, Islamisme, Marxisme dan Mencapai Indonesia Merdeka adalah dua buku yang menjadi bukti sekaligus dokumentasi dari pikiran-pikiran dan tulisan-tulisan Soekarno itu. Jadi, justifikasi Hairus Salim HS terhadap Soekarno sebagai presiden Indonesia yang menulis, dengan Gus Dur adalah sebuah kenyataan yang pasti yang berdasar bukti-bukti.

Buku Nasionalisme, Islamisme, Marxisme, dan Mencapai Indonesia Merdeka adalah kumpulan-kumpulan tulisan Soekarno dari beragam tema. Namun, dalam tulisan ini, penulis hanya akan memfokuskan pada tema Islam dan Nasionalisme yang disinggung oleh Soekarno, kgususnya dalam buku Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Dalam tulisan itu, Soekarno memaparkan bahwa sebenarnya antara Islam dan nasionalisme tidak bertentangan dan bahkan bisa bersatu dalam suasana persatuan melawan imperialisme dan kolonialisme Barat. Tesis Soekarno ini muncul untuk menanggapi situasi saat itu di mana banyak kalangan menganggap bahwa Islam dan nasionalisme adalah dua kutub yang bertentangan bertentangan.

Menurut Soekarno, keduanya sama sekali tidak bertentangan. Malahan keduanya bisa bersatu merebut ‘kemerdekaan yang sesungguhnya’ dari tangan keji penjajah. Sang proklamator kemerdekaan itu mengatakan bahwa, rasa nasionalistis itu menimbulkan suatu rasa percaya akan diri sendiri. Dan, rasa percaya akan diri sendiri tersebut akan menimbulkan ketetapan hati pada kaum revolusionier-nasionalis dalam perjuangan menuju Indonesia merdeka.

Sementara Islam sejati, menurut Soekarno, mengandung tabiat-tabiat yang sosialistis dan menetapkan kewajiban-kewajibannya yang menjadi kewajiban-kewajiban bagi kaum nasionalis. Demi kemerdekaan, dan dengan alasan demi kepentingan bersama, menurut Soekarno kedua ideologi pergerakan di atas itu haruslah mampu bekerja sama dengan gerakan-gerakan nasionalisme. Bahkan dengan kaum marxis juga. Karena menurut Soekarno marxisme modern, sejatinya tidak menolak diri untuk bekerja sama.

“Taktik marxisme, yang dulu sikapnya begitu sengit antikaum kebangsaan dan antikaum keagamaan, maka sekarang, terutama di Asia, sudahlah begitu berubah, hingga kesengitan “anti” sudah berbalik menjadi persahabatan dan penyokongan. Kini kita melihat persahabatan kaum marxis dengan kaum nasionalis, di negeri Tiongkok; dan kita melihat persahabatan kaum marxis dengan kaum islamis di negeri Afghanistan,” tulis Soekarno.

Karena itu, secara tidak langsung sebenarnya Soekarno pada titik ini ingin mengatakan bahwa sesungguhnya, musuh orang-orang Islam bukanlah kelompok nasionalis, musuh kelompok nasionalis bukanlah kelompok masrxis, dan musuh kelompok marxis bukanlah kelompok Islam, melainkan imprelisme dan kolonisme yang telah menciptakan ketimpangan dan kemelaratan. Sebab itu, dengan segala perbedaan, para pemeagang ideologi islmisme, nasionalisme, dan marxisme harus bisa bersatu. Menghilangkan ego demi kepentingan besama. Hidup dalam suasana persatuan dan kesatuan.

Maka, hal itu pun akan menisacayakan kekuatan besar yang bisa menjadi alat menuju bangsa dan masyarakat yang merdeka dari belenggu kekuatan imperalisme dan kolonialisme yang keji. Dan, di zaman kini, hal itulah yang perlu kita tegaskan lagi, yakni menegaskan ‘persatuan’ seperti yang digagas Soekarno dalam ragam perbedaan yang ada guna mencapai kemerdekaan bangsa dan masyarakat yang sesungguhnya. Bukan malah saling serang sesama golongan sendiri. Musuh kita adalah penindasan.

Facebook Comments