Saat ini, kelindan kekerasan atas nama agama memenuhi ruang keberagamaan sampai ke sudut-sudutnya yang paling dalam. Paham radikal sudah berakar dengan kuat dan berhasil menelusup jauh memasuki semua lini kehidupan masyarakat. Paham radikal telah masuk ke organisasi kemasyarakatan dan instansi pemerintahan tanpa bisa ditangkal. Lebih jauh lagi, berkamuflase mendirikan pesantren, lembaga tahfid Qur’an dan sebagainya.
Islam di Indonesia sedang diuji oleh Tuhan dengan beragam problematika paham berislam yang keras, anti perbedaan dan perdamaian. Ajaran Islam mulai kehilangan elan vitalnya sebagai agama yang membawa risalah penuh perdamaian, menghargai perbedaan dan adaptif terhadap budaya-budaya yang tidak bertentangan dengan spirit ajarannya.
Kekerasan berwujud aksi-aksi terorisme menjadi bukti kuat akan kenyataan kuatnya paham radikal. Kekerasan berdalih agama, baik berbentuk wacana maupun fisik, sudah sangat nyata dan kasat mata. Islam di dalam genggaman kelompok radikal adalah agama yang mewajibkan kalimat tauhid diucapkan dan diimani semua manusia di bumi. Kalau tidak maka harus dilenyapkan. Hal ini yang membuat wajah Islam terlihat sangar dan keras.
Padahal Islam tidak demikian. Pemahaman seperti itu terakumulasi karena distorsi penafsiran yang sangat tekstualis. Islam merupakan agama yang selalu menempuh jalan damai dalam menyelesaikan setiap masalah. Islam adalah agama yang menumbuhkan spirit kemanusiaan, bukan agama yang mengajarkan menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Banyak sekali ayat-ayat perdamaian dalam al Qur’an.
Ayat-ayat Perdamaian Bukti Islam Anti Kekerasan
Tuhan menyatakan: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condongkanlah kepadanya (damai)…(al Anfal: 61).
Islam membuka ruang kebebasan, baik dalam memilih agama dengan pernyataannya: “Tidak ada paksaan dalam (urusan) agama”, serta mengapresiasi terhadap semua perbedaan yang melingkupi kehidupan manusia; etnis, suku dan golongan. Islam mengajarkan, dialektika antar-agama maupun dialektika antar-etnis harus dibangun di atas perdamaian selama mereka condong ke arah perdamaian. Penegasan ini memberikan pemahaman, dalam situasi damai tanpa perang yang berlaku adalah ayat-ayat perdamaian, bukan sebaliknya.
Dalam ayat yang lain diterangkan: “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan”. (an Nahl: 128).
Agama Islam mengajarkan kebaikan dan kasih sayang. Ia tidak mengajarkan kesesatan, kekerasan dan kejahatan. Spirit berbuat kebaikan dalam ayat di atas melarang umat Islam memiliki sifat eksklusifisme. Sikap menutup diri untuk mengakui perbedaan serta menutup diri dari kebenaran tafsir orang lain. Islam melarang umatnya berlaku congkak, lalu menghalalkan segala cara untuk memusnahkan keyakinan orang lain. Terbukti, Islam selalu menyeru untuk musyawarah dan dialog dalam menjaga ukhuwah (persaudaraan). Baik ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan seiman), ukhuwah insaniyyah (persaudaraan sesama manusia), maupun ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa).
Dalam konteks persaudaraan seiman ditegaskan oleh al Qur’an: “Orang-orang yang beriman itu sesungguhnya bersaudara, karena itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat”. (al Hujurat: 10).
Karena itu, mengapa kita saling membenci? Padahal ayat di atas menyuruh berdamai dan selalu mengupayakan jalan damai untuk menyelesaikan setiap masalah. Maka, menebarkan permusuhan dan kekerasan sama halnya mengingkari fitrah kemanusiaan manusia serta mengingkari kehendak ayat di atas.
Alih-alih beragama secara Kaffah, kekerasan dan kebencian lebih dekat kepada kesesatan. Bukankah Rasulullah telah berpesan: “Agama adalah nasihat”. Agama adalah untuk introspeksi diri dan mengingatkan supaya Titi kebenaran ajarannya dicapai. Memberi nasihat adalah dengan jalan musyawarah, bukan menghardik, mencaci, menyalahkan dan apalagi dengan kekerasan. Sungguh, hal itu sangat jauh dari spirit ummatan wahidah yang diajarkan oleh al Qur’an dan diteladankan oleh Nabi.