Propaganda negatif yang terus menggerogoti masa depan bangsa ini berlangsung tiada henti. Dengan dalih ajaran/ayat agama, propaganda digerakkan, dan akhirnya membelah masyarakat. Pembelahan bahkan nyaris dan sudah menjadi gerakan gerakan radikal, juga menjadi teroris. Luar biasa! Ayat agama malah membelah kebinekaan bangsa, dan merusak tatanan dan pondasi kebangsaan kita.
Inilah yang terjadi. Jalan hidup kebangsaan kita sering koyak, ketika ayat agama justru digunakan alat propaganda negatif. Tidak ada kedalaman ilmu dalam memahami ayat agama, bahkan seringkali disalahtafsirkan. Dari sini, menarik sekali mencermati Piagam Madinah, sebuah konsensus yang diciptakan Nabi Muhammad bersama para penduduk Madinah dalam membangun sebuah negara-bangsa. Sekali lagi, ini diciptakan Nabi Muhammad. Jangan sampai dipahami sebatas catatan biasa, sehingga kita bisa melihar kebinekaan dengan penuh pemahaman.
Piagam Madinah merupakan sejarah pertama dalam konstitusi Islam dalam mencapai konsensus bersama dalam masyarakat yang majemuk dan plural adalah inisiatif dan ketetapan Nabi Muhammad saw untuk mengorganisir dan mempersatukan umat manusia sebagai umat yang satu (ummat wahidah) .
Menurut Hasan Ibrahim Hasan, penduduk Madinah dapat dibagi menjadi tiga golongan besar. Pertema; kaum Muhajir, mereka adalah kaum imirgran yang eksodus dari Mekkah ke Madinah untuk menyelamatkan agamanya. Kedua; kaum Anshor, mereka adalah penduduk asli Madinah yang kemudian secara suka rela masuk agama Islam. Mereka adalah suku Awus dan Khazraj. Ketiga; kaum Yahudi, mereka suku Yahudi atau orang Arab yang telah masuk Yahudi, kemudian secara berangsur mereka keluar dari Jazirah Arab
Dalam Piagam Madinah yang hanya dihadiri oleh pemuka suku dan kaum elit dari kalangan muslim dan non muslim yang masing-masing mewakili warga dan sukunya, namun dapat dikatakan bahwa mereka telah membawa aspirasi segenap penduduk Madinah. Setiap suku yang ada di Madinah pada saat itu tercantum dalam teks Piagam.
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok-komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
Menurut John Lock, kesepakatan yang didapat melalui perjanjian masyarakat meskipun itu individu-individu dapat dianggap sebagai tindakan seluruh warga masyarakat, dan oleh karenanya mewajibkan individu lain mentaati persetujuan tersebut. Ungkapan ini sejalan dengan teori ashabiyyaat-nya Ibnu Kholdun meskipun tidak bicara dalan kontek kontrak sosial.
Perjanjian yang terjadi antara Nabi Muhammad saw dengan komunitas-komunitas penduduk Madinah membawa mereka kepada kehidupan sosial yang teratur dan terorganisir, atau dari keadaan zaman pra-negara yang disebut alamiah (state of nature/status naturalis) ke zaman bernegara di bawah kepemimpinan Nabi saw.
Ummah dan Negara-Bangsa
Salah satu kata penting dalam Piagam Madinah adalah kata “ummah”. Dalam Encyclopaedia of Islam dikemukakan bahwa perkataan ummah tidaklah asli dari bahasa arab. Menurut Montgomery Watt, perkatan ummah berasal dan berakar dari bahasa Ibrani yang bisa berarti suku bangsa atau bisa juga berarti masyarakat. Terlepas dari pelacakan asal usul kata ummah ini, yang jelas dalam Al Qur’an dijumpai sebanyak 52 perkataan ummah yang terangkai dalam berbagai ayat. Kata ummah terulang dua kali dalam Piagam Madinah, yakni dalam pasal 2 dan pasal 25.
Perkataan ummah dalam rangkaian pasal-pasal yang tercantum di Piagam Madinah mempunyai pengertian yang sangat dalam, yakni berubahnya paham kesukuan yang hidup di kalangan suku-suku Arab saat itu. Cakrawala wawasan sosial yang sangat sempit, dan kehidupan politik yang terbatas, karena fanatisme kabilah (kesukuan) dan ikatan darah yang dibatasi oleh tembok kelahiran, pelan-pelan mulai runtuh berganti dengan suatu masyarakat yang luas, di mana masing-masing dari warganya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian, Nabi Muhammad telah menciptakan kondisi untuk terbinanya suatu masyarakat yang bersatu, yakni komunitas masyarakat Madinah yang utuh, tanpa membedakan agama, ikatan kesukuan dan ikatan darah. Hal itu jelas sekali tercantum dalam pasal 25 sampai dengan pasal 47 Piagam Madinah.
Dari perkataan ummah inilah tercermin paham kebangsaan dan negara. Walaupun secara historis istilah state dan nation timbul berabad-abad kemudian, tapi jiwa dan semangatnya telah tercermin dalam terminologi ummah, suatu istilah yang sangat tepat digunakan Rasulullah untuk mempersatukan masyarakat Madinah menjadi suatu komunitas dengan menekankan kerjasama seerat mungkin dari masing-masing warganya demi keamanan dan kesejahteraan mereka bersama. Mereka sangat menyadari perlunya hidup bersama di dalam koeksistensi yang damai. Realisasinyayang praktis dari tujuan ini meminta dasar konsepsi bersama yang dapat diterima oleh semua pihak dan di atas dasar ini dapat dibangun keselarasan hidup dan perdamaian.
Spirit ummah dalam Piagam Madinah ini sangat tepat menjadi etos bangsa Indonesi untuk menegakkan kebinekaan NKRI. Propaganda dengan ayat dan dalil agama seringkali digerakkan oleh syahwat kuasa, bukan atas dasar ilmu ajaran agama.