Substansi Puasa; Tarbiyah Ruhani dan Muhasabah Kebangsaan

Substansi Puasa; Tarbiyah Ruhani dan Muhasabah Kebangsaan

- in Narasi
797
0

Puasa berasal dari kata dalam Bahasa Arab, shaum yang bermakna menahan diri. Menahan diri dari nafsu biologis (makan, minum dan seksual) ialah level paling dasar dalam aktivitas puasa. Di atasnya lagi ada menahan diri dari segala nafsu negatif (nafsu lawwamah). Bentuk nafsu lawwamah ini tentu bermacam-macam dan mengalami evolusi setiap zamannya. Di era disrupsi digital ini, nafsu negatif itu bisa berwujud antara lain seperti kegemaran kita menyebarkan disinformasi, hingga kebiasaan kita dalam mengeksploitasi narasi kebencian di dunia maya.

Ritual puasa bisa jadi merupakan ritual keagamaan paling purba yang pernah dikenal manusia. Puasa menjadi ritual hampir semua agama besar di dunia. Sebagai sebuah ritual keagamaan, puasa merupakan manifestasi dari pengabdian pada Tuhan. Di dalamnya terdapat aspek spiritual sekaligus sosial yang kental. Di dalam Islam, puasa dan juga ibadah lainnya bukanlah tujuan akhir beragama, melainkan hanyalah medium untuk membentuk kesadaran kemanusiaan.

Maka, dalam Islam aturan agama disebut sebagai syariah yang secara harfiah bermakna jalan. Sebagai syariah agama, puasa memiliki setidaknya dua pesan. Pertama, pesan tentang keilahian, atau lebih tepatnya kemahahadiran (omnipresent) Allah. Puasa di titik tertentu ialah relasi personal antara manusia dan Tuhan. Manusia mungkin bisa berbohong ihwal puasa pada sesama manusia. Namun, hal itu mustahil dilakukan pada Allah.

Kedua, pesan kemanusiaan yakni bahwa laku puasa mengajarkan manusia untuk merasakan langsung penderitaan kaum miskin. Kemiskinan dan penderitaan tidak bisa dipelajari secara teoretis melainkan harus dialami langsung. Dari pengalaman langsung itulah diharapkan akan muncul kesadaran untuk peduli terhadap sesama dalam bingkai solidaritas sosial. Dimensi keilahian dan kemanusiaan puasa inilah yang membuat puasa menjadi paket ibadah yang lengkap.

Oleh karena itu, subtansi puasa pada dasarnya berorientasi pada setidaknya dua capaian, yakni ke dalam (internal) dan ke luar (eksternal). Capaian puasa yang berorientasi ke dalam ialah terbentuknya manusia mulia (insan kamil). Yakni manusia yang bertakwa pada Allah dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa mengawasi perilaku bahkan pikiran kita. Dalam tasawuf diajarkan bahwa manusia memang tidak bisa melihat wujud Allah. Namun, yang terpenting ialah bahwa manusia selalu merasa diawasi Allah dimana pun dan kapan pun.

Kesadaran kemahahadiran Allah ini ialah rumus paling jitu untuk membentuk perilaku mulia. Insan yang selalu merasa di bawah pengawasan Allah niscaya akan menjaga lisan, pikiran dan perbuatannya sesuai dengan koridor hukum agama, aturan negara dan norma sosial. Di titik ini, agama tidak lagi menjadi seperangkat keimanan dan ritual yang hampa makna. Namun sebaliknya, agama akan menumbuhkan etos kesadaran emansipatoris. Inilah yang disebut sebagai tarbiyah ruhani.

Pendidikan ruhani mensyaratkan adanya proses yang ketat, disiplin dan bertanggung jawab serta berulang-ulang. Dan, puasa Ramadah menyediakan seluruh syarat yang diperlukan dalam aktivitas tarbiyah ruhani tersebut. Puasa sebagaimana kita tahu memiliki aturan yang ketat. Batas waktu sahur (imsak) dan berbuka (ifthar) telah ditentukan dan tidak boleh dilanggar. Demikian pula sederet aturan baku yang harus dipenuhi agar puasa kita sah dan tidak batal. Kedisiplinan dan sikap tanggung jawab mutlak diperlukan agar kita sukses menjalani puasa. Proses itu dilakukan berulang selama sebulan penuh sehingga diharapkan akan menumbuhkan habitus (kebiasaan) yang melekat pada diri manusia.

Selain itu, capaian puasa yang berorientasi ke luar (eksternal) ialah terbangunnya kesadaran kolektif untuk membangun masa depan yang lebih baik. Hal itu niscaya terwujud jika masyarakat atau bangsa dalam konteks lebih luas mampu melakukan muhasabah alias interospeksi. Dalam konteks keindonesiaan, muhasabah kebangsaan ini diperlukan untuk menata kembali arah dan tujuan bangsa ke depan. Hanya dengan muhasabah kebangsaan kita akan mengetahui apakah bangsa ini telah berjalan di atas rel yang benar sesuai cita-cita kemerdekaan, atau sebaliknya justru melenceng dari tujuan awal.

Di titik ini, agaknya harus diakui bahwa kian ke sini, arah dan perjalanan bangsa mewujudkan cita-cita kemerdekaan cenderung menghadapi tantangan yang tidak ringan. Dari luar, tantangan itu mewujud pada kondisi persaingan (ekonomi-politik) global yang kian sengit. Dari dalam, tantangan terberat datang dari merebaknya gerakan radikal keagamaan yang merongrong NKRI dan Pancasila. Keberadaan kelompok ekstrem kanan yang kian kuat pasca dua dekade Reformasi ini telah menghadirkan ancaman serius bagi bangsa dan negara.

Di titik inilah, muhasabah kebangsaan menjadi relevan. Fenomena radikalisasi keagamaan tentu tidak lahir begitu saja. Ada beragam faktor mengapa radikalisme tumbuh subur di bumi pertiwi ini. Di satu sisi, kita tidak bisa menutup mata pada fakta bahwa masih ada kesenjangan sosial-ekonomi dan politik yang menimbulkan kecemburuan sosial di masyarakat. Hal ini lantas mendorong munculnya gerakan anti-pemerintah yang mengatasnamakan agama.

Di sisi lain, radikalisme keagamaan juga disokong oleh pemahaman keagamaan yang kaku di tengah masyarakat. Relasi keberagamaan yang segregatif bahkan intoleran di masyarakat selama ini telah menjadi lahan subur bagi berkembangbiaknya paham radikal. Ini artinya, perilaku keberagamaan kita selama ini juga menyumbang andil pada masifnya penetrasi radikalisme di ruang publik.

Maka dari itu, Ramadan kiranya menjadi momentum tepat untuk melakukan muhasabah kebangsaan. Seluruh elemen bangsa, mulai dari pemerintah, ormas keagamaan, tokoh publik dan masyarakat sipil pada umumnya hendaknya melakukan interospeksi diri; apakah selama ini telah berperan maksimal dalam konteks kebangsaan? Interospeksi ini menjadi penting untuk merevitalisasi peran semua pihak demi terwujudnya cita-cita kebangsaan.

Facebook Comments