Baru-baru ini, pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengunggah video di akun media sosial resminya (4/9/2023) tentang dua organisasi besar di Indonesia NU dan Muhammadiyah. Dalam keterangan hasil surveinya, selama 18 belas tahun (sejak 2005-2023), mereka yang merasa bagian dari NU jumlah bertambah drastis. Sementara yang terjadi di Muhammadiyah justru sebaliknya.
Hasil yang ungkap dalam survei itu, dari tahun 2005 hingga 2023 individu yang merasa bagian dari NU dari 27,5 persen naik menjadi 56, 9 persen. Sementara orang yang merasa bagian dari Muhammadiyah dari 9,4 persen turun drastis menjadi 5,7 persen.
Di akhir sesi video itu, Denny memberikan pesan bahwa itu adalah menjadi pekerjaan besar bagi Muhammadiyah terutama dalam aspek kaderisasinya. Bagaimanapun dua organisasi besar itu selama ini telah menjadi pilar bagi penyebaran Islam yang moderat di Indonesia.
Tentu akan banyak yang tidak sepakat dengan temuan ini. Atau bagi politisi ada cara pandang yang lain. Artinya, mendekati NU menjadi sangat penting dalam kontestasi politik ke depan. Namun, sejatinya survei ini bisa menjadi pegangan tentang masa depan moderasi beragama di Indonesia.
Tanpa menafikan organisasi Islam besar lainnya, NU-Muhammdiyah yang berdiri sebelum republik ini diproklamasikan, telah memberikan peran dan kontribusi besar dalam menyebarkan ide, gagasan dan ajaran Islam yang moderat di Indonesia. Corak Islam di Indonesia menjadi sangat Indonesia di bawah dua organisasi besar ini.
Sumbangsih keduanya dalam segmen masyarakat yang berbeda telah menuai hasil saat ini. Indonesia dengan karakter Islamnya telah diakui dunia, bahkan negara Islam sekalipun, tentang keberislaman yang selaras dengan perkembangan zaman dan isu perdamaian. Dua pilar moderasi berislam ini bagaimana harus tetap kokoh.
Kembali pada hasil survei tersebut, tentu saja ini menjadi pekerjaan penting. Kaderisasi di dua organisasi harus tetap berjalan dan diperkuat. Betapa tidak, banyak sekali organisasi keislaman lain yang mulai tumbuh dengan mindset dan cara pandang yang beragam. Ada yang bersikap puritan-konservatif hingga yang berhaluan ideologisasi Islam trans-nasional.
Tidak bisa dipungkiri dan menutup mata, banyak gerakan baru yang mulai menyasar muslim perkotaan terutama generasi muda. Mereka mencoba memberikan cara pandang keagamaan yang berbeda dengan cara-cara lama yang ditawarkan NU dan Muhammadiyah. Dari strategi berdakwah hingga orientasi keagamaan pun berbeda.
Banyak muslim milenial kepincut dengan cara baru dalam berislam yang ditawarkan oleh organisasi baru. Corak yang lebih dianggap islami, militan dan bahkan heroik ditanamkan. Banyak mereka yang berbondong-bondong mengidentifikasi diri bukan dari dua ormas besar ini.
Kehausan spiritual anak-anak muda dengan kegusaran mencari identitas terkadang bisa jatuh dalam pandangan yang ekstrem dalam beragama. Banyak cerita, misalnya, anak muda yang hanya ingin berubah baik justru masuk dalam perangkap organisasi radikal teror. Anak muda yang hanya ingin berubah, tetapi menjadi santapan organisasi ekstrem yang mengatasnamakan Islam.
Tentu saja, ini menjadi pekerjaan rumah bagi NU-Muhammadiyah untuk menjangkau kalangan milenial dan muslim urban ini. NU tentu saja tidak hanya cukup membina masyarakat pedesaan dan pesantren yang ada, tetapi bisa ekspan merambah dan merangkul generasi milenial dan gen z. Begitu pula Muhammadiyah dengan perspektif Islam berkemajuannya bisa menjadi rumah nyaman bagi anak-anak muslim perkotaan.