Tantangan Generasi Muda di Balik Kecanggihan AI

Tantangan Generasi Muda di Balik Kecanggihan AI

- in Narasi
8
0
Tantangan Generasi Muda di Balik Kecanggihan AI

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya telah masif ditemukan pada sektor pendidikan, industri, hingga layanan publik. AI sendiri telah memberikan efisiensi dan kemudahan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, di balik berbagai manfaat tersebut, terdapat sisi gelap yang patut diwaspadai, khususnya oleh generasi muda yang merupakan pengguna teknologi paling dominan.

Fenomena ini menjadi krusial ketika disadari bahwa AI tidak hanya berperan dalam mempermudah kehidupan manusia, tetapi juga menjadi instrumen bagi pihak-pihak yang memiliki agenda destruktif. Bagaimana timbul ancaman dalam penyalahgunaan teknologi AI untuk menyebarkan ideologi radikal, narasi kebencian, dan propaganda terorisme yang mengancam keutuhan bangsa.

Kondisi ini semakin mengkhawatirkan ketika melihat fakta bahwa Indonesia berada di jajaran negara dengan pengguna AI tertinggi (sumber: The Jakarta Post). Tingginya angka pengguna teknologi ini membuka peluang bagi dampak positif yang besar namun juga memperbesar risiko penyalahgunaan oleh kelompok radikal yang memanfaatkan ruang digital untuk mempengaruhi opini publik. Salah satu tantangan terbesar dengan pesatnya perkembangan AI yang akhir-akhir ini muncul adalah maraknya konten manipulatif, termasuk deepfake yang mampu menciptakan rekayasa gambar, video, dan audio dengan tingkat akurasi tinggi.

Deepfake sendiri bukan sekadar persoalan etika digital melainkan ancaman nyata bagi stabilitas sosial. Video Sri Mulyani yang diolah dengan teknologi deepfake tempo hari adalah bukti bagaimana di tangan orang yang salah, AI bisa menjadi ancaman serius bagi bangsa dan negara. Dampaknya bisa sangat luas, mulai dari menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi, perpecahan sosial, hingga legitimasi terhadap tindakan kekerasan atas nama ideologi.

Tantangan berikutnya adalah fenomena echo chamber yang semakin diperkuat oleh teknologi AI. Algoritma media sosial bekerja untuk menampilkan konten sesuai preferensi pengguna. Hal ini mempermudah pengguna internet mengakses konten keagamaan secara eksklusif dengan sajian materi sejenis dan menciptakan ruang informasi yang sempit. Pada kondisi seperti itu, proses indoktrinasi menjadi lebih cepat karena pengguna hanya mendapatkan informasi yang mengkonfirmasi sudut pandang sempit tersebut.

Melihat kompleksitas ancaman ini, pertanyaan yang harus dijawab adalah bagaimana membentengi generasi muda agar tidak terjebak dalam arus radikalisasi berbasis teknologi? Literasi digital memang menjadi pondasi utama, tetapi hal itu saja tidak cukup. Pendekatan yang lebih komprehensif diperlukan. Meskipun mahir menggunakan teknologi, tidak semua generasi muda memiliki kemampuan literasi digital yang memadai, apalagi literasi kecerdasan emosional. Generasi muda mungkin mampu mengoperasikan teknologi canggih, tetapi belum tentu kritis terhadap kebenaran informasi yang diterima.

Kecerdasan emosional berperan penting dalam membangun daya tahan generasi muda terhadap provokasi yang dikemas dalam narasi digital. Kemampuan mengelola emosi membuat kita tidak akan mudah terpancing oleh konten yang bersifat provokatif. Seseorang yang mampu mengendalikan amarah, menunda reaksi impulsif, dan berpikir rasional sebelum bertindak, akan lebih sulit dimanipulasi oleh narasi ekstrem.

Penguatan kecerdasan emosional dapat dimulai dari pendidikan karakter di keluarga dan sekolah. Orang tua dan pendidik perlu membiasakan anak untuk berdialog, mendengarkan sudut pandang berbeda, dan memecahkan masalah dengan cara yang konstruktif. Lingkungan yang demokratis dan terbuka akan melatih generasi muda untuk menghargai keberagaman, sehingga narasi eksklusif tidak mudah diterima.

Kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil juga menjadi krusial. Pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang mewajibkan kurikulum literasi digital dan kecerdasan emosional dalam pendidikan formal. Sementara itu, lembaga masyarakat sipil dapat menginisiasi kampanye kreatif yang mengajak generasi muda untuk lebih kritis terhadap informasi digital.

Tidak kalah penting, ruang-ruang publik digital perlu dipenuhi dengan konten positif yang menarik dan mudah diakses. Di era ketika batas antara fakta dan manipulasi semakin kabur, kekuatan terbesar bukan lagi pada teknologi, tetapi pada manusia yang mampu mengendalikannya. Generasi muda Indonesia harus dibekali tidak hanya dengan pengetahuan, tetapi juga dengan kebijaksanaan dalam menggunakan teknologi. Kecanggihan AI seharusnya menjadi alat untuk membangun peradaban, bukan senjata untuk meruntuhkannya.

Menangkal radikalisme dan narasi disintegrasi di era AI adalah tanggung jawab kolektif. Generasi muda bukan hanya objek yang harus dilindungi, tetapi juga subjek yang perlu berdaya melalui literasi digital yang kuat, daya kritis, kecerdasan emosional yang matang, serta dukungan dari berbagai pihak dapat memastikan bahwa teknologi akan menjadi jembatan menuju masa depan yang damai, bukan jurang menuju perpecahan.

Facebook Comments