Narasi “Suriahkan Indonesia” kembali mencuat pasca kemenangan Hayat Tahrir al Sham di Suriah. Propaganda serupa juga mengemuka ketika ISIS muncul pada medio 2014. Narasi “Suriahkan Indonesia” adalah skenario untuk menjadikan Indonesia sebagai lahan konflik berdarah layaknya Suriah.
Penyusun skenario itu siapa lagi jika bukan kelompok radikal-ekstremis. Kelompok radikal selalu mengeksploitasi isu atau peristiwa yang terjadi pada umat Islam di negara lain untuk mempropagandakan ideologi radikal-ekstrem. Genosida di Gaza, kekerasan etnis Rohignya, diskriminasi muslim Uyghur, dan terakhir revolusi Suriah, dikomodifikasi oleh kaum radikal untuk tujuan pragmatis mereka.
Maka, salah satu tantangan kebangsaan di tahun 2025 adalah ancaman importasi dan replikasi konflik luar negeri ke Indonesia. Kekhawatiran pada ancaman importasi dan replikasi konflik luar negeri itu valid alias bukan mengada-ada. Di era digital, dimana informasi menjadi mudah dan cepat menyebar, sebuah isu atau peristiwa yang terjadi di satu negara akan berdampak pada negara lain. Konflik politik yang terjadi di Timur Tengah misalnya, berawal dari revolusi politik di Tunisia.
Revolusi di Tunisia itu lantas menyebar ke seluruh negara Arab karena media digital, terutama Facebook. Melalui Facebook, foto dan video revolusi Tunisia tersebar ke seluruh negara Arab dan memantik lahirnya gerakan politik yang belakangan dikenal sebagai “Arab Spring” atau Revolusi Musim Semi. Bukan tidak mungkin, gejolak politik di Suriah menginspirasi kelompok radikal di Indonesia untuk melakukan hal serupa. Apalagi, belakangan narasi propaganda untuk mereplikasi revolusi Suriah itu kian kencang di media sosial.
Dalam banyak hal, Indonesia mirip dengan negara-negara muslim yang dilanda gejolak politik dan menjadi lahan subur bagi tumbuhnya gerakan radikal ekstrem, seperti Suriah atau Afganistan. Yakni memiliki keanekaragaman agama, suku, etnis, bahasa, budaya, dan tradisi yang sangat kaya. Secara demogafi sosial-kultural, Indonesia merupakan negara muslim yang multikultur dan multireliji layaknya Suriah atau Afganistan. Namun, ada perbedaan signifikan yang membuat Indonesai cenderung lebih punya daya tangkal terhadap konflik sektarian seperti terjadi di Suriah, Afganistan, dan sejumlah negara muslim lainnya.
Mengapa Indonesia Nisbi Kebal dari Konflik Sektarian?
Pertama, Indonesia memiliki Pancasila. Ideologi yang terbukti “sakti” dalam menangkal segala gerakan yang berupaya mengahancurkan bangsa dari dalam. Pancasila selama ini menjadi semacam jangkar yang menjaga agar kapal bernama NKRI ini tidak hanyut terbawa arus. Di tegah arus kontestasi ideologi asing, Pancasila menjadi pilar yang menjaga keutuhan NKRI.
Di era tahun 1960-an, Pancasila berhasil menyelamatkan bangsa dari pertarungan ideologi antara liberalisme-kapitalisme versus sosialisme-komunisme. Di era ini, Pancasila kembali menunjukkan kedigdayaanya dalam membendung arus ideologi transnasional. Dua dekade lebih bangsa ini dirongrong oleh ideologi keagamaan transnasional yang mengusung agenda pendirian daulah islam atau khilfah islamiyyah. Namun, gerakan itu tidak pernah mewujud ke dalam sebuah revolusi besar. Salah satu faktornya, karena kita punya Pancasila.
Kedua, fakta bahwa corak keberislaman masyarakat Indonesia cenderung toleran dan moderat juga berkontribusi signifikan pada gagalnya upaya importasi dan replikasi konflik dari luar negeri. Mayoritas masyarakat Islam di Indonesia sejak era Nusantara sudah dikenal toleran, inklusif, dan moderat. Mayoritas muslim Indonesia tidak mudah dipikat oleh cita-cita utopis atau janji manis tentang daulah atau khilafah. Penting dicatat bahwa ideologi transnasional itu umumnya berkembang di kalangan kelas menengah urban.
Di kalangan muslim tradisional-pedesaan, imajinasi utopis yang ditawarkan para pengasong khilafah itu dijamin tidak akan laku. Paradigma keberislaman moderat yang menjadi arusutama (mainstream) di Indonesia ini menjadi tameng dari provokasi kebencian dan propaganda kekerasan yang ditebar kaum radikal. Mengutip pandangan pakar terorisme Ali Chaidar, “mayoritas orang Islam Indonesia itu memang bisa diajak untuk menjadi konservatif, namun sulit untuk menjadi radikal, apalagi ekstremis”.
Ketiga, Indonesia memiliki organisasi keislaman moderat yang kuat dan memiliki jaringan hingga ke akar rumput. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama adalah dua organisasi keislaman yang merepresentasikan kultur moderat. Moderat dalam artian toleran pada perbedaan, setia pada bangsa dan negara, adaptif pada nilai kearifan lokal, dan anti-kekerasan. NU dan Muhammadiyah menjadi mitra strategis negara dalam melawan radikalisme dan ekstremisme.
Di akar rumput, kiai-kiai NU nyaris saban hari aktif menyebarkan pesan toleransi dan moderasi beragama. Forum pengajian, solawatan, dan sejenisnya menjadi media yang efektif untuk memupuk kerukunan bangsa. Di saat yang sama, gerakan Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat juga ikut andil dalam mencegah umat Islam terjebak gerakan radikal. Seperti kita tahu, salah satu faktor pendorong mengapa umat Islam terjebak radikalisme adalah keterbatasan dalam mengakses pendidikan dan sumber ekonomi. Ketiga pilar itulah yang harus kita kuatkan di tahun 2025. Sehingga upaya mengimpor dan mereplikasi konflik luar negeri bisa dicegah.