Teologi Maut Versus Teologi Hidup

Teologi Maut Versus Teologi Hidup

- in Narasi
3711
0

BERANI HIDUP TAK TAKUT MATI

TAKUT MATI JANGAN HIDUP

TAKUT HIDUP MATI SAJA

Islam adalah agama damai, meski pemberitaan tentang rentetan perilaku keji sebagian oknum pengikutnya masih ditemukan. Kita masih menemukan setumpuk perilaku kasar yang dilakukan oleh oknum itu dengan menggunakan kalimat takbir, Allahu Akbar! Perilaku kekerasan itu tidak pernah memiliki dasar pembenaran satu pun dalam Islam, karena pasti tidak ada! Agama ini jauh dari kekerasan. Jangankan untuk membuat kerusakan, menunjukkan muka masam saja langsung dapat tegur dari Tuhan.

Buya Syafi’i Maarif pernah menyebut konsep bernama teologi maut. Keyakinan berupa keagungan agama yang hanya dapat diraih dengan cara kematian. Menurutnya, teologi maut ini sesungguhnya hanya dianut oleh orang-orang yang takut hidup. Semacam ingin kabur dari realitas hidup yang makin lama makin tidak bisa dikendalikan. Mereka sangat yakin bahwa kebahagiaan akan dapat diraih melalui kematian.

Benarkah para penggemar pelaku kekerasan berani menyerahkan nyawa demi menegakkan hukum ilahi? Atau jangan-jangan mereka mati hanya karena banyaknya kesulitan hidup yang tidak dapat mereka atasi, sehingga mereka menjadikan kematian sebagai jalan pintas untuk menyongsong kebahagiaan? Seolah hidup sudah tidak lagi penting untuk diperhatikan. Entahlah, hanya mereka saja yang mengerti. Namun kita patut waspada, karena pemikiran dan perilaku para penggila kekerasan ini sangat berbahaya. Kita juga jangan mudah terperdaya dengan janji-janji surga bagi siapa saja yang bersedia mencederai sesama, karena agama tidak segila itu!

Buya Syafi’i Maarif menganjurkan melawan teologi maut dengan budaya siuman, yakni dengan mengedapankan akal sehat dan nurani bersih. Dengan akal sehat kita akan jauh dari pemikiran-pemikiran sesat. Sedangkan nurani bersih akan membantu menjadi manusia yang seutuhnya, yang bisa mencintai dan menjaga sesama seperti ia mencintai dan menjaga diri sendiri.

Nabi Muhammad diutus Allah ke dunia untuk menyempurnakan akhlak, mengubah pola pikir dan perilaku dari yang semula nista menjadi mulia. Beliau mencontohkan cara beragama yang bijaksana, menebar wahyu kebenaran dengan tetap menghormati perbedaan. Nabi Muhammad adalah contoh nyata manusia yang sangat menikmati dan mensyukuri hidup. Kesempatan hidupnya dipergunakan semaksimal mungkin untuk memberi pengajaran menggapai hidup mulia. Ingat, hidup mulia bukan mati merana.

Jika benar bunuh diri dihadiahi surga, mengapa nabi Muhammad tidak melakukannya? Padahal jika beliau mau, beliau bisa saja memilih untuk mati. Tapi nyatanya tidak, nabi Muhammad memilih untuk tetap hidup dan berjuang menebar ajaran-ajaran Islam. Kehidupan Nabi pun berhenti di atas ranjang rumahnya dalam keadaan damai. Hal ini berarti bahwa hidup lebih bermanfaat daripada mati. Jadi, masih kepikiran untuk bunuh diri?

Facebook Comments