Teror tanpa Bom : Ancaman Sunyi Melalui Soft Propaganda

Teror tanpa Bom : Ancaman Sunyi Melalui Soft Propaganda

- in Narasi
2
0
Teror tanpa Bom : Ancaman Sunyi Melalui Soft Propaganda

Perubahan signifikan tengah terjadi dalam lanskap gerakan terorisme di Indonesia. Jika pada dua dekade pertama pasca-reformasi masyarakat Indonesia banyak dikejutkan dengan deretan aksi bom dan serangan berdarah, kini wajah terorisme tampil dengan strategi yang jauh lebih halus dan tersamarkan.

Dari aksi berdarah dan propagada yang keras (hard propaganda) yang penuh ancaman dan ajakan kekerasan bersenjata, kini mereka beralih memainkan narasi propaganda lunak (soft propaganda). Strategi ini merujuk pada pola penyebaran ideologi ekstrem secara kultural, sosial, dan emosional melalui pesan-pesan yang lebih tampak relijius dan edukatif.

Tentu saja, transformasi ini tidak bisa dianggap remeh. Pergeseran dari propaganda keras ke propaganda lunak bukan sekadar perubahan taktik komunikasi, melainkan bentuk adaptasi ideologis terhadap perubahan sosial, politik, dan digital masyarakat Indonesia.

Dari Bom ke Broadcast

Setelah berbagai aksi kekerasan yang mengatasnamakan jihad banyak memakan korban dan memunculkan antipati publik, kelompok-kelompok teror seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), sempalan Jamaah Islamiyah (JI), hingga jaringan pendukung ISIS di Indonesia menyadari bahwa pendekatan frontal tidak lagi efektif. Aparat semakin canggih dalam pendeteksian, masyarakat makin kritis terhadap kekerasan, dan ruang digital diawasi ketat.

Dalam konteks inilah, mereka mengubah pendekatan dari “melawan” menjadi strategi “memenangkan hati.” Melalui kanal YouTube, Instagram, Tiktok, Telegram, dan platform daring lainnya, muncul berbagai narasi yang tampak positif dan edukatif.

Narasi seperti pentingnya membangun “keluarga relijius”, menyeru kepada “masyarakat relijius”, atau mengajak pada “peradaban impian” dikemas sedemikian rupa sebagai amunis merebut hati. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, narasi ini berujung pada proyek ideologis yang sama: penegakanDaulah Islamiyah(Negara Islam) dan penolakan terhadap sistem demokrasi serta negara bangsa (nation-state).

Soft propagandaini mengandalkan pendekatan kultural populis dan memasuki ruang dan isu seperti dakwah, pendidikan, bahkan gaya hidup anak muda. Mereka berbicara tentang etika, pendidikan anak (parenting), dan pentingnya hidup sederhana yang pada kesimpulan akhirnya butuhnya sistem baru. Di balik pesan moral tersebut, terselip ide besar yang anti terhadap sistem politik modern, menolak keberagaman, dan menolak sistem dan ideologi seperti Pancasila sebagai dasar negara.

Cultural Radicalism : Pola Baru Meradikalisasi

Fenomena ini sejalan dengan apa yang disebut oleh Thomas Hegghammer (2013) dengan jihad culture. Praktik ini merujuk pada budaya non militer yang menggantikan aksi terorisme saat ini. Mereka lebih mengeksplorasi puisi, music, cerita, mimpi, dan gaya hidup yang tak terikat dengan taktik militer dan aksi kekerasan.

Radikalisme kultural (cultural radicalism) yang digunakan kelompok teror saat ini mempunyai peran penting dalam merekrut, mempertahankan anggota dan memperkuat identitas kolektif. Mereka tidak lagi mengajak seperti narasi jihad, tetapi memainkan emosi kerinduan terhadap praktik jihad.

Bentuk soft propaganda ini juga menyasar generasi muda dan kelompok perempuan—dua segmen masyarakat yang dianggap paling efektif untuk membentuk opini publik. Konten dakwah berformat podcast, video pendek, atau komik islami yang mengangkat nilai keluarga ideal dan narasi ketidakadilan sosial menjadi alat utama untuk membentuk simpati.

Ada tiga penyebab utama di balik perubahan strategi kelompok teror ini. Pertama, tekanan keamanan. Operasi intelijen dan penegakan hukum yang sistematis terhadap jaringan teror membuat mereka kehilangan ruang gerak untuk melakukan aksi terbuka.

Kedua, transformasi teknologi informasi. Media sosial menciptakan ruang baru bagi penyebaran ideologi yang tidak membutuhkan struktur organisasi formal. Propaganda kini bisa menyebar cepat melalui individu yang bahkan tidak disadari sebagai bagian dari jaringan ekstremis.

Ketiga, konteks sosial politik yang berubah. Kekecewaan sebagian masyarakat terhadap elite politik dan ketimpangan sosial-ekonomi menjadi bahan bakar emosional bagi propaganda mereka. Narasi “negara yang korup dan tidak adil” dengan mudah disusupi pesan keagamaan yang menggiring pada ide perubahan sistem dan dasar negara.

Membangun Imunitas Ideologis

Soft propaganda tidak dapat dilawan hanya dengan pendekatan keamanan. Ia harus dihadapi dengan strategisoft counter narrative. Pendekatan kultural yang digunakan kelompok teror harus pula ditandingi dengan cultural narrative. Pendidikan literasi keagamaan dan digital menjadi kunci utama. Generasi muda perlu diajarkan membedakan antara ajaran agama yang substansial dan narasi keagamaan yang bermotif ideologis.

Pada akhirnya, tantangan terbesar bukan sekadar melawan kelompok teror, tetapi menyelamatkan ruang publik dari kolonisasi ideologi yang menyaru sebagai moralitas. Terorisme hari ini tidak selalu datang dengan bom dan peluru. Kadang, ia datang dengan senyum, ayat, dan narasi tentang “keagamaan” yang tampak menyejukkan, namun menyimpan proyek besar: mengganti wajah demokrasi dengan ideologi kekerasan.

Imunitas ideologi generasi muda harus dibentengi. Tentu saja, bukan dengan cara kaku, tetapi dengan praktek kultural yang beradaptasi dengan konteks sosial yang terus berubah. Akan ketinggalan zaman jika proyek kontra narasi yang dilakukan terus menerus berbicara tentang hard propaganda, sementara kelompok teroris sudah beralih pada soft propaganda.

Facebook Comments