MARAKNYA paham-paham radikal keagamaan, terorisme, maupun pembubaran ormas yang ditengarai berpaham radikal—atau secara umum pandangan, sikap atau tindakan-tindakan intoleran—membuat kita patut bertanya, terlepas apakah itu semua sekedar fenomena-fenomena yang sarat kepentingan politis, ada apa dengan bangsa ini? Sebegitu gampangnya orang tersulut isu-isu keagamaan hingga rela terhanyut euphoria, ghirah buta untuk meneguhkan batas identitas secara berlebihan? Sampai kapan kita, yang notabene hidup di sebuah negara di mana konstitusi yang telah disepakati menjamin persamaan hak di ranah apapun, mengagungkan “kebenaran” sendiri?
Tak lelahkah kita terus-menerus mencari perbedaan—yang memang sudah menjadi keniscayaan sejarah—daripada mencari titik-temu? Dan sampai kapan kita terus-menerus hidup dalam kungkungan ilusi—semisal getol untuk menegakkan khilafah di mana sama sekali musykil kita temukan akar sejarahnya di nusantara ini? Adakah jaminan seandainya negara-bangsa ini menjadi “islami”—berdenyut di atas satu sistem kenegaraan saja, satu ukuran moral belaka—cita-cita yang termaktub dalam konstitusi tercapai? Adakah yang salah dalam cara hidup kita, cara berpikir kita?
Tampaknya, orang sering lupa terhadap logika sederhana di mana orang yang tak pernah mengeyam pendidikan formal pun telah terbiasa menggunakannya—persis seperti yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari.
Kita kehabisan barang, lalu kita pergi ke pasar atau mall. Tentu, akan kita jumpai banyak barang, banyak jenis, merk, dan beragam harga di sana. Dan pada akhirnya, kita memilih, menimbang, bukan? Bahkan, seperti di pasar, kita menawar, sedikit berdebat?
Apa yang kemudian dapat kita garis-bawahi? Kita, manusia, bukanlah sekedar subjek mati, bukan wayang, yang hanya bisa menerima sesuatu tanpa reserve. Ada tawar-menawar. Ada proses menimbang. Ada kritisisme: pandangan ataupun sikap untuk tak tergesa dalam “menerima” segala sesuatu tanpa reserve.
Cara pandang itulah yang saya kira, akhir-akhir ini, kerap kita lupakan. Dengan maraknya politik identitas, radikalisme, dan tindakan-tindakan intoleran yang berkelindan dengan terorisme yang mendera bangsa ini, rasanya mendesak untuk memeriksa mindset tersebut.
Mengenai isu-isu keislaman, terlebih ketika bersinggungan dengan politik—hubungan antara agama dan negara—misalnya. Orang tak pernah sadar—atau barangkali tak mau menyadari—bahwa ketika Islam sudah bersinggungan dengan politik, dengan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Islam tak lagi dapat dimaknai sebagai sistem tata nilai yang mutlak bersifat transendental: melampaui ruang-waktu, suci dari segala konteks. Artinya, Islam, dalam hal ini, tak jauh beda dengan paham-paham lainnya: demokrasi, sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan sebagainya. Atau lebih tepatnya, untuk menyebut Islam yang telah menyejarah, meruangwaktu tersebut: “islamisme.”
Tak ada yang baka di bawah sang kala. Demikian juga dimensi imanen Islam atau “islamisme” tersebut. Bukankah adanya upaya-upaya pembaharuan (pemahaman) keagamaan dalam sejarah agama telah membuktikan hal itu?
Ada sebuah pendapat, paham yang tertutup akan melahirkan masyarakat yang tertutup pula. Begitu simpul Karl Popper.
Ketika sebuah paham haram untuk dipertanyakan, haram untuk ditafsir-ulang, paham itu akan menjadi tertutup, menjelma dogma. Ada kriteria untuk menguji paham itu bersifat totaliter atau tidak: falsifikasi.
Kriteria Popperian di atas adalah sejenis kritisisme. Sikap kritis semacam ini memang perlu, agar sebuah paham tak menjadi tertutup, totaliter, kehilangan elan vital, yang akhirnya, alih-alih menjadi artefak masa lalu, dapat menjadi kekuatan inspiratif.
Saya kira, letak masalah pola pikir kaum radikal keagamaan adalah menempatkan Islam sebagai “islamisme” tersebut. Otomatis, sebagai konsekuensi, paham semacam ini akan menuntut sebentuk formalisasi: dibakukan, diatur, dan dipaksakan oleh negara. Konsekuensi terjauhnya, apalagi selain mengkudeta?
Fakta-fakta di lapangan banyak menunjukkan hal itu. Bentuk-bentuk kekerasan yang mengatasnamakan agama kerap bertolak dari mindset ahistoris tersebut, beranjak dari ketakmampuan dalam memilah dan bersikap kritis.
Saya masih ingan seperca cerita tentang al-Ghazali: ulama kembara yang enggan berpuas diri. Ia melambangkan independensi dalam berpikir. Dari seorang faqih beralih menjadi teolog. Kemudian filosof. Akhirnya, sufi. Tentu, ada agony khas seorang pencari di sini. Banyak orang umumnya mengenal al-Ghazali sebagai seorang ulama atau ilmuwan yang bergelimang kenyamanan, mapan secara intelektual. Bahkan, parahnya, ada yang sampai melabelinya sebagai seorang ulama ortodoks, penyebab kemerosotan peradaban Islam.
Saya kira, pendapat semacam ini telah mengabaikan proses, acuh terhadap fakta-fakta kecil yang menunjukkan independensinya dalam berpikir. Al-Munqid min al-Dlolal, adalah rekaman agony intelektual sekaligus spiritualnya.
Apa yang kemudian dapat dipetik dari kisah seorang al-Ghazali? Sikap kritis, sikap untuk tak mau menerima segala sesuatu tanpa reserve. Bahkan, ketika telah menjadi seorang sufi pun ia masih memilah adanya tipe orang taqlid (Ihya’ Ulumuddin).
Dan bukankah pada akhirnya tasawuf sendiri adalah sebuah disiplin ilmu yang kritis terhadap segala gugon-tuhon, meragukan segala kabar tentang “kebenaran,” kecuali yang sudah dialami sendiri (haqq al-yaqin)?
Ada satu lagi hal yang saya kira kerap kita lupakan, agama juga datang dalam bentuk tamsil, parabel, kisah. Bahasa tamsil, karena sifatnya yang ambigu, akhirnya memberi ruang bagi penafsiran dan penafsiran-ulang. Jadi, nalar kritis, di sini, justru tetap diberi peran.
Saya masih ingat ketika al-Hallaj, dalam al-Tawashin, melakukan reinterpretasi terhadap sosok Iblis dalam al-Qur’an.
Bagi saya, soal benar atau tidaknya reinterpretasi al-Hallaj, tak menjadi soal. Paling tidak, ia tak memandang agama sebagai objek yang mati, tapi hidup, terbuka untuk senantiasa diajak berdialog secara kritis. Akhirnya, menjadi kekuatan inspiratif.
Dalam konteks Indonesia, yang menjadi pertanyaan, kenapa kebebalan semacam ini, pola pikir radikal (keagamaan) ini, masih saja dipelihara? Padahal, para pembela nalar kritis masih banyak, masih menebar hujah di mana-mana, dari media masa, seminar, hingga tak kenal lelah menyuluh sampai ke pelosok-pelosok daerah?
Ada yang berpendapat, kita memang tengah mengalami budaya pendangkalan di mana-mana, termasuk agama. Apakah budaya ini digencarkan kaum radikal keagamaan yang semenjak zaman kaum khawarij memang sudah menjadi tabiatnya, pola pikirnya?
Ciri utama dari pola pikir radikalisme keagamaan adalah mementingkan identitas, simbol, atribut yang dapat lekang oleh panas dan lapuk oleh hujan, daripada substansi yang abadi (nilai-nilai universal agama).
Sebenarnya, dalam sejarah pemikiran dan gerakan Islam senantiasa ada polarisasi. Untuk konteks Indonesia, kita dapat menyimak dua bentuk keislaman: Islam formal (“islamisme”) dan Islam kultural (substansial/moderat).
Yang pertama, geliatnya cenderung menguat pasca reformasi dan kebanyakan dari mereka bersifat transnasional. Yang kedua, antitesanya, sebentuk Islam yang masih menjunjung tinggi paham kebangsaan dan kebhinekaan.
Yang pertama, dalam bentuk kasarnya, cenderung ingin memaksakan kehendak, dengan menegakkan IS (Islamic State) atau khilafah islamiyah. Noda mereka merentang dari kekerasan-kekerasan sektarian hingga terorisme. Adapun bentuk halusnya, pengubahan mindset secara sistematis, baik melalui institusi pendidikan, instansi pemerintah maupun pengajian-pengajian di perumahan.
Ada banyak contoh upaya-upaya pengubahan pola pikir yang digencarkan Islam formal versi lunak ini. Yang mutakhir, dari pemaksaan jilbab di sekolah-sekolah yang tak semestinya, perlakuan-perlakuan diskriminatif terhadap siswa-siswa non-muslim baik yang dilakukan institusi pendidikannya sendiri maupun sesama siswa, formalisasi Islam di lingkungan birokrasi, dan seterusnya. Sebagai contoh populer hal ini adalah pembongkaran dan pembubaran HTI.
Kesemua jenis Islam formal ini, baik yang memaksakan kehendaknya dengan jalan kekerasan fisik maupun kekerasan simbolik, saya sebut radikalisme keagamaan. Sebab, pada tataran mindset, mereka sama saja.
Untuk melawan budaya formalisasi ini ada baiknya kita membudayakan kembali nalar kritis dalam rangka mengupayakan substansialisasi agama. Dengan substansialisasi ini kita berharap titik-temu, titik-singgung, sebuah dialog dapat dirajut.
Satu hal yang patut disadari, kita hidup di “Indonesia,” di mana oleh Bung Hatta dipakai untuk menyebut wilayah kepulauan yang kita tempati sekarang ini, yang semenjak zaman majapahit kumandang dengan nama nuswantara (archipelago). Nama-nama ini mengacu pada fakta, baik geografis maupun kultural, bahwa kita memang beragam. Untuk itu, cukuplah sudah Pancasila dan sesanti di kaki garuda menjadi keputusan final negara-bangsa ini.