Kabar tewasnya pentolan kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) beberapa waktu lalu menuai dua respon berbeda; senang bukan kepalang dan marah tak palang arah. Bagi mereka yang menyambut kabar ini dengan kegembiraan, tewasnya Santoso dipandang sebagai kabar baik, karena kematiannya berarti berkurangnya kekuatan kelompok teroris. Bukan saja berkurang dalam hal kekuatan fisik, tewasnya Santoso yang merupakan pimpinan kelompok dipastikan mengguncang psikologi para pengikunya. Di media sosial bahkan sudah ada statemen dari kelompok radikal untuk menghentikan ‘perjuangan’ mereka, mereka tampaknya tidak ingin mati terlalu cepat.
Sementara bagi mereka yang marah, kematian Santoso dianggap sebagai puncak kedzaliman pemerintahan yang selama ini mereka kafirkan. Mereka marah karena pemerintah dianggap terlalu lancang menghalangi jihad mereka. Anehnya, meski mereka yakin kematian akan dibalas dengan surga berserta 72 bidadari di dalamnya, namun tetap saja, mereka tak ingin mati di usia muda.
Mereka pun segera merespon kabar matinya Santoso dengan berbagai seruan jihad, seruan ini kebanyakan mereka sebar di media sosial. Bagi mereka, matinya Santoso tidak boleh berarti matinya pula semangat untuk berjihad. Sampai sini kita semua tentu setuju, jihad memang tidak boleh berhenti. Namun harus dipahami, bahwa jihad tidak boleh jahat. Jihad harus dilakukan sesuai dengan sifat utama agama Islam, yakni rahmatan lil alamin, berkah untuk semesta.
Suatu ketika, pengasuh Ponpes al Falaq Bogor, KH. Tubagus Agus Fauzan., menjelaskan, Jihad adalah berjuang di jalan Allah. Subjek dalam jihad adalah manusia, bukan Allah. Pemahaman salah yang berkembang selama ini, anjuran jihad dimaknai sebagai upaya berjuang untuk Allah, padahal Allah adalah maha segala maha, sehingga Ia tidak perlu diperjuangkan.
Jihad adalah berjuang agar kita tetap berada di jalan Allah, bukan memperjuangkan Allah. Artinya, yang memiliki kepentingan dalam Jihad adalah Manusia, bukan Allah. Maka dalam pengertian ini, jihad berarti berupaya untuk tetap berada dalam kesalehan dan keislaman yang sesungguhnya, yakni berjuang untuk menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama.
Jihad yang dilakukan dengan jahat, karenanya, tidak sesuai dengan makna jihad yang sesungguhnya. Menimbulkan kerusakan, melakukan kekerasan, dan menjadi sebab dari segala kekacauan tentu bertentangan dengan semangat utama Islam. Perjuangan yang dilakukan dengan cara-cara jahat tentu tidak bisa disebut sebagai tindakan jihad, karena sekali lagi, jihad tidak boleh jahat.
Klaim bahwa kelompok teroris melakukan jihad tentu tidak bisa dipercaya, dan karenanya tidak usah diikuti.
Memang benar bahwa jihad adalah kewajiban setiap muslim, dan sebagiamana dijelaskan Rasul, jihad yang utama adalah jihad melawan hawa nafsu (jihad al-nafs), karenanya Jihad terbaik yang bisa dilakukan adalah dengan terus-menerus memperbaiki diri sendiri, yakni dengan berusaha memerangi hawa nafsu, bukan malah sibuk ngurusin orang lain seolah hanya kita yang paling benar.
Jihad yang dilakukan dengan melakukan beragam kekerasan, baik yang ditujukan untuk menyengsarakan orang lain maupun diri sendiri (bom bunuh diri, misalnya) adalah murni tindak kejahatan. Ia bertentangan dengan hukum agama, hukum negara, dan akal sehat.
Apresiasi besar patut kita berikan kepada pemerintah yang sigap menanggulangi perkara terorisme, meski begitu kita harus tahu. Matinya Santoso bukan berarti matinya terorisme, dan seperti kata MalalaYousafzai, “With guns you can killterrorists, witheducationyou can killterrorism.”