Tidak Ada Alasan Syar’i untuk Jihad dan Hijrah ke Suriah

Tidak Ada Alasan Syar’i untuk Jihad dan Hijrah ke Suriah

- in Keagamaan
22
0
Tidak Ada Alasan Syar'i untuk Jihad dan Hijrah ke Suriah

Konflik di Suriah telah memasuki babak baru dengan runtuhnya rezim Bashar al-Assad. Kemenangan ini diraih oleh berbagai faksi oposisi yang beragam, terdiri dari kelompok sekuler, Islamis, hingga milisi Kurdi. Namun, penting untuk dicatat bahwa kemenangan tersebut bukanlah kemenangan Islam melawan kekuatan kafir atau musuh Islam, melainkan murni hasil dari perang saudara berkepanjangan melawan pemerintahan diktator yang telah lama menindas rakyat Suriah.

Meskipun demikian, di panggung global, kelompok-kelompok Islamis tertentu menyambut kemenangan ini dengan narasi glorifikasi penuh heroisme. Mereka menggambarkan peristiwa ini sebagai kebangkitan kekuatan politik Islam dan awal dari tegaknya khilafah di negeri Syam, sebagaimana dijanjikan dalam hadis.

Di Indonesia, beberapa jaringan ekstremis seperti simpatisan Al-Qaeda turut memberikan selamat, menciptakan euforia heroisme baru di kalangan segelintir umat Islam. Tidak menutup kemungkinan narasi ini akan memancing individu-individu untuk berangkat ke Suriah dengan dalih jihad dan hijrah.

Namun, umat Islam harus menyadari bahwa tidak ada alasan syar’i untuk melakukan jihad atau hijrah ke Suriah. Baik secara teologis maupun berdasarkan realitas politik, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan.

Hijrah dalam Perspektif Syar’i

Secara historis, hijrah dalam Islam adalah perpindahan dari kondisi yang tidak aman menuju kondisi yang aman. Contoh utamanya adalah hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Nabi dan para sahabat meninggalkan Makkah karena mereka berada di bawah tekanan fisik dan mental dari kaum Quraisy. Madinah, sebagai tempat tujuan, adalah wilayah yang aman dan menjadi pusat bagi perjanjian damai serta pembentukan masyarakat Islam yang adil.

Jika kita bandingkan dengan kondisi saat ini, meletakkan Indonesia sebagai “darul harb” atau wilayah permusuhan adalah kekeliruan besar. Indonesia justru termasuk dalam kategoridarul ahdatau wilayah perjanjian damai. Indonesia adalah negara yang menjamin kebebasan beragama dan memberikan keamanan bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya. Oleh karena itu, alasan untuk berhijrah dari Indonesia ke Suriah tidak memenuhi syarat syar’i.

Sementara itu, situasi di Suriah sangat jauh dari kondisi ideal yang dijanjikan dalam konsep hijrah. Meskipun rezim Assad telah tumbang, Suriah tetap berada dalam ketidakpastian. Berbagai faksi oposisi yang sebelumnya bersatu melawan rezim Assad kini mulai saling bersaing untuk merebut kekuasaan. Tidak ada jaminan keamanan atau stabilitas di wilayah tersebut. Bahkan, konflik internal antar kelompok Islamis semakin memperburuk keadaan.

Jika memaksakan memakai dalih hijrah bukan tidak mungkin umat Islam akan terjebak lagi dalam hijrah yang menyesatkan di zaman keemasan ISIS. Banyak umat Islam dari berbagai negara terpukau dan akhirnya terpedaya oleh ajakan hijrah yang justru berada di wilayah penuh konflik.

Jihad di Suriah: Tidak Tepat Secara Syar’i

Alasan jihad yang sering digunakan untuk membenarkan keberangkatan ke Suriah juga tidak dapat dibenarkan secara syar’i. Dalam ajaran Islam, jihad harus dilakukan di bawah perintah ulil amri atau pemimpin yang sah. Ulil amri di Indonesia adalah pemerintah yang diakui secara konstitusional, dan tidak ada perintah dari otoritas yang sah untuk berjihad di Suriah.

Selain itu, medan perang di Suriah bukanlah medan jihad yang jelas. Konflik di Suriah adalah perang saudara yang melibatkan faksi-faksi berbeda dengan kepentingan politik masing-masing. Sebagian besar pihak yang bertikai adalah umat Islam sendiri, meskipun berbeda sekte atau ideologi politik. Dalam konteks ini, keterlibatan umat Islam dari luar negeri justru akan memperpanjang penderitaan rakyat Suriah dan tidak membawa manfaat apa pun.

Islam sangat melarang umatnya untuk terlibat dalam peperangan yang tidak memiliki dasar syar’i. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berperang di bawah bendera kefanatikan (ashabiyah), marah karena fanatisme, menyeru kepada fanatisme, atau menolong fanatisme, lalu ia terbunuh, maka kematiannya seperti kematian jahiliyah.”(HR. Muslim)

Dalam konteks Suriah, peperangan yang terjadi sarat dengan fanatisme kelompok, baik berbasis etnis, sekte, maupun kepentingan politik tertentu. Mengaitkan konflik ini dengan jihad melawan kafir adalah penyimpangan makna yang berbahaya. Sebaliknya, Rasulullah SAW mengingatkan umatnya untuk menjaga persatuan dan menghindari peperangan di antara sesama Muslim.

Kelompok-kelompok yang memprovokasi umat Islam untuk berjihad di Suriah sering kali menggunakan propaganda dan fitnah. Mereka menyebarkan narasi yang menyederhanakan konflik Suriah sebagai perang antara Islam dan musuh-musuhnya, padahal kenyataannya jauh lebih kompleks.

Allah SWT juga berfirman: “Dan janganlah kamu mengikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang suka mencela, yang kian ke mari menyebarkan fitnah.”(QS. Al-Qalam: 10-11).

Menyadari Bahaya dan Bertindak Bijak

Belajar dari kasus ISIS pada tahun 2014, banyak umat Islam yang terjebak dalam propaganda jihad dan hijrah ke Suriah. Mereka akhirnya menemukan bahwa “bumi khilafah” yang dijanjikan hanyalah medan perang yang brutal dan tidak manusiawi. Ribuan orang tewas sia-sia, sementara yang selamat kini hidup terlunta-lunta di kamp pengungsi tanpa kepastian.

Fenomena serupa bisa saja terulang jika umat Islam tidak bijak dalam menyikapi narasi kemenangan oposisi di Suriah. Heroisme yang berlebihan dan penyalahgunaan hadis tentang keutamaan negeri Syam hanya akan menjerumuskan umat pada kehancuran.

Sekali lagi perlu ditegaskan, tidak ada alasan syar’i bagi kaum Muslimin, termasuk di Indonesia, untuk berjihad atau berhijrah ke Suriah. Indonesia adalahdarul ahdyang aman dan damai, sedangkan Suriah masih berada dalam kondisi penuh ketidakpastian dan konflik internal. Alasan jihad juga tidak dapat diterima karena jihad harus berada di bawah perintah ulil amri yang sah dan memiliki tujuan yang jelas.

Umat Islam harus bersikap bijak dan tidak mudah terprovokasi oleh propaganda yang menyalahgunakan agama. Fokuslah pada upaya membangun kedamaian, membantu korban konflik melalui jalur kemanusiaan, dan menjaga persatuan umat. Dengan demikian, kita dapat terhindar dari jebakan-jebakan yang hanya membawa kerugian bagi diri sendiri dan umat Islam secara keseluruhan.

Facebook Comments