Tidak Mudik Sebagai Jihad Kemanusiaan

Tidak Mudik Sebagai Jihad Kemanusiaan

- in Narasi
1629
0
Tidak Mudik Sebagai Jihad Kemanusiaan

Definisi puasa sebagai aktivitas menahan diri dari aktivitas makan, minum, nafsu seks dan mengendalikan hawa nafsu negatif agaknya perlu ditambahi dalam konteks pandemi ini. Di masa pandemi, puasa juga mencakup aktivitas menahan diri dari mudik alias pulang kampung ketika lebaran tiba.

Bagaimana tidak? Mudik yang tadinya merupakan sub-ritus keagamaan di bulan Ramadan yang mendatangkan maslahat (terutama dalam konteks sosial, ekonomi dan budaya), kini justru berpotensi mengancam nyawa manusia. Mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lain dalam skala yang massal bahkan kolosal dalam rentang waktu yang sama ialah hal yang sangat berbahaya dilakukan di tengah pandemi Covid-19 yang belum reda ini.

Kita patut berkaca pada India. Negara yang sempat mengklaim bisa mengendalikan pandemi, lalu abai pada protokol kesehatan, kini dilandai tsunami Covid-19 paling parah sedunia. Tercatat 200. 000 kasus baru setiap hari dengan angka kematian harian mencapai 5000. Angka-angka itu membuat fasilitas kesehatan di India kolaps.

Maka, larangan mudik bagi masyarakat yang dikeluarkan pemerintah sudah barang tentu wajib ditaati. Mudik bolehlah dikatakan sunnah. Namun, menjaga nyawa manusia ialah wajib hukumnya. Di dalam Islam, hal-hal wajib tentu harus didahulukan ketimbang hal-hal sunnah. Maka, dalam konteks sekarang, tidak mudik ialah wajib, dan mudik bisa jadi mendekati haram.

Islam sendiri mengajarkan bahwa ketika kita menyelamatkan satu nyawa, maka pada dasarnya kita telah menyelamatkan seluruh kehidupan. Begitu pula, ketika kita membahayakan satu nyawa, maka tidak diragukan kita sebenarnya juga tengah membahayakan seluruh kehidupan. Di titik ini, menahan diri untuk tidak mudik bisa dikategorikan sebagai jihad kemanusiaan.

Dalam sebuah hadist Rasulullah pernah menyebutkan bahwa salah satu yang akan dihisab di hari kiamat kelak ialah nikmat kesehatan. Maka sesiapa yang semasa hidupnya mengabaikan keselamatan dan kesehatan pribadi serta orang lain tentu harus mempertanggungjawabkannya di hari akhir kelak.

Dengan tidak mudik pada dasarnya kita telah mencegah terjadinya penularan virus Covid-19. Itu artinya, kita juga telah menyelamatkan banyak nyawa manusia. Meski demikian, sungguh miris melihat hasil survei pemerintah yang menyebutkan bahwa setidaknya ada 18 juta orang yang masih ingin berniat mudik di tengah pandemi. 18 juta tentu bukan angka yang kecil. Jika separuhnya saja pulang membawa virus dan menularkan ke keluarganya di kampung bisa dibayangkan lonjakan kasus pasca-lebaran yang akan terjadi.

Peran Tokoh Agama

Kita tentu patut mengapresiasi kinerja pemerintah yang gencar mensosialisasikan larangan mudik. Juga petugas di lapangan yang selama 24 jam mulai dari Kamis (06/05/2021) lalu bertugas melakukan penyekatan dan penutupan jalan. Namun, upaya menghalau masyarakat untuk mudik ini tentunya bukan semata menjadi tanggung jawab pemerintah dan aparatusnya saja. Diperlukan sinergi lintas-sektor untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya mudik di masa pandemi.

Dalam konteks ini, tokoh agama dan tokoh masyarakat kiranya memiliki peran dan posisi strategis untuk mencegah masyarakat melakukan mudik. Dengan modal sosial yang dimilikinya, tokoh agama dan tokoh masyarakat kiranya bisa mengedepankan cara-cara persuasif dan pendekatan sosial-keagamaan untuk menyadarkan masyarakat yang masih ingin nekat mudik.

Menurut laporan media massa, sejumlah masyarakat telah mencuri start mudik sebelum masa pelarangan tiba. Dan kurang dari sepekan jelang lebaran ini bukan tidak mungkin masih banyak masyarakat yang tetap nekat ingin mudik. Situasi dilematis ini kiranya bisa diatasi jika masyarakat memiliki kesadaran bersama bahwa ritual mudik kiranya bisa ditunda, setidaknya sampai pandemi berhasil dikendalikan.

Terlebih sekarang, teknologi komunikasi sudah memungkinkan masyarakat untuk berhubungan dengan anggota keluarga atau sanak famili di kampung halaman. Lebaran digital dan mudik virtual kiranya bisa menjadi solusi sekaligus jalan tengah untuk masyarakat yang ingin merayakan lebaran namun tanpa menimbulkan resiko penularan Covid-19.

Hanya komitmen dan kepatuhan kita bersama dalam menjalani protokol kesehatan akan menghentikan pandemi. Kelengahan dan sikap abai pada aturan ialah awal dari bencana kemanusiaan. Kita tentu tidak ingin tragedi kemanusiaan di India terjadi di Indonesia. Jadi, mari menahan diri untuk mudik.

Facebook Comments