Tiga Kunci Menjamin Demokrasi yang Berkualitas dalam Pemilu

Tiga Kunci Menjamin Demokrasi yang Berkualitas dalam Pemilu

- in Narasi
31
0
Tiga Kunci Menjamin Demokrasi yang Berkualitas dalam Pemilu

Sistem demokrasi, sebagai pondasi utama bagi sebuah negara, menjadi penentu utama dalam mencapai kemajuan dan harmoni dalam kehidupan berbangsa. Di Indonesia, negara yang kaya akan keberagaman, pentingnya mengamalkan etika demokrasi dan memberikan pendidikan politik yang mencerdaskan menjadi kunci dalam membentuk masyarakat yang sadar, partisipatif, dan harmonis.

Demokrasi bukan diartikan sebagai ruang kebebasan yang tanpa batas. Bukan atas nama demokrasi orang bisa mempertontonkan tindakan yang tidak beradab. Bukan pula atas nama kebebasan orang bisa mempersempit ruang gerak kebebasan orang lain. Karena itulah, demokrasi harus dilandasi dengan setidaknya tiga hal.

Pertama, etika demokrasi, sebagai landasan moral dalam menjalankan prinsip-prinsip demokratis, menekankan pada keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap perbedaan pendapat. Prinsip ini memastikan bahwa setiap individu dan kelompok memiliki hak yang sama dalam mengemukakan pendapat dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi nasib bersama. Kesetaraan dan keadilan menjadi dasar utama dalam melaksanakan prinsip demokrasi, dan hal ini tidak hanya terbatas pada aspek formal, melainkan juga mencakup kearifan lokal dan toleransi terhadap perbedaan.

Dalam konteks Indonesia, etika demokrasi harus mencakup kearifan lokal dan keberagaman suku, agama, dan budaya. Budaya gotong-royong menjadi kekuatan dalam pelaksanaan demokrasi, di mana pemberdayaan masyarakat lokal untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan pengambilan keputusan akan mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. Keterlibatan aktif dari seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang perbedaan, akan membentuk fondasi kuat untuk kemajuan dan harmoni dalam kehidupan berbangsa.

Kedua, pendidikan politik yang mencerdaskan memiliki peran krusial dalam membentuk masyarakat yang kritis dan berpengetahuan. Pendidikan politik tidak hanya sebatas mengajarkan mekanisme demokrasi, tetapi juga memberikan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai demokratis, hak dan kewajiban warga negara, serta tanggung jawab dalam memilih pemimpin.

Kurikulum pendidikan politik di Indonesia harus mencakup konteks lokal dan global. Pemahaman terhadap sejarah politik Indonesia, sistem pemerintahan, dan nilai-nilai Pancasila harus diintegrasikan dalam kurikulum tersebut.

Ketiga, literasi digital untuk memastikan kecerdasan digital dan kemampuan kritis masyarakat dalam menerima dan menyebar informasi yang beredar di media sosial. Elemen ketiga ini menjadi bagian dari demokrasi agar masyarakat dapat memahami dan memilah informasi dengan bijak.

Tidak hanya itu, literasi digital dalam ruang demorkasi harus mampu menanamkan nilai-nilai moral yang bertanggungjawab. Kesadaran akan tanggung jawab moral dalam berpolitik, seperti tidak menyebarkan hoaks, menghormati lawan politik, dan menjunjung tinggi etika berkomunikasi, harus ditanamkan sejak dini. Hal ini akan membentuk calon pemimpin dan warga negara yang integritas dan bertanggung jawab.

Meskipun demokrasi di Indonesia telah mencapai tahapan debat cawapres dalam putaran ke-3 baru-baru ini, dinamika yang tercipta justru menciptakan pro dan kontra yang intens di media sosial. Debat cawapres, yang seharusnya menjadi wadah untuk mengukur kualitas bakal calon pemimpin, malah terkadang diwarnai oleh retorika saling menjatuhkan dan mempertontonkan ketidaksetujuan.

Sejatinya, pemilu bukan hanya sekadar pesta demokrasi yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan. Lebih dari itu, pemilu adalah tentang pendidikan politik bagi masyarakat luas. Debat cawapres seharusnya tidak hanya menjadi ajang pertengkaran, tetapi juga sebagai jalan untuk memilih bakal calon pemimpin yang akan memimpin negara ini ke arah yang lebih baik.

Relevansi antara etika demokrasi, pendidikan politik, dan literasi digital dalam pelaksanaan pemilu dapat terlihat dalam bagaimana masyarakat bereaksi terhadap debat cawapres. Keterlibatan masyarakat sipil, organisasi pendidikan, dan pemerintah menjadi kunci dalam memastikan bahwa pendidikan politik yang telah diterapkan dapat menciptakan masyarakat yang cerdas dan kritis.

Pentingnya etika demokrasi, pendidikan politik dan literasi digital akan semakin memperkaya dan memperkuat demokrasi di Indonesia. Tentu saja butuh kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil. Pemerintah harus memastikan bahwa kurikulum pendidikan politik mencakup aspek-aspek kritis dan etis. Lembaga pendidikan, baik formal maupun non-formal, harus memberikan ruang untuk diskusi, debat, dan simulasi demokratis agar siswa dapat mengaplikasikan ilmu yang mereka dapatkan. Sementara itu, masyarakat sipil dapat berperan aktif dalam mengkampanyekan pentingnya etika demokrasi dan pendidikan politik yang mencerdaskan.

Dengan menguatkan etika demokrasi, pendidikan politik dan literasi digital, Indonesia dapat membentuk masyarakat yang sadar, partisipatif, dan harmonis. Demokrasi yang sesungguhnya tidak hanya dilihat dari aspek formalnya, tetapi juga dari bagaimana nilai-nilai demokratis mengakar dalam sikap dan perilaku warga negara. Melalui upaya bersama dalam mengedepankan etika demokrasi dan pendidikan politik yang berkualitas, Indonesia dapat melangkah menuju masyarakat yang lebih maju dan harmonis dalam bingkai keberagaman dan persatuan.

Facebook Comments