Sudah semestinya pesta demokrasi menjadi ajang suka-suka oleh seluruh komponen bangsa. Namun demikian, dengan adanya narasi-narasi tidak mengenakkan, baik yang disampaikan langsung secara lisan maupun dengan media, menjadi kegembiraan setiap elemen bangsa menjadi batal. Banyak hati terluka karena ujaran kebencian oleh orang/kelompok tertentu.
Etika dalam berpolitik praktis yang mestinya dijunjung tinggi banyak yang dikesampingkan. Masing-masing dari para kandidat dan atau pendukung memburu kemenangan tanpa mengindahkan etika. Alhasil, ucapan dan tindakan sering kali menjadikan lawan politik tidak nyaman.
Atmosfer pemilihan umum (pemilu) tidak menjadi sehat lantaran kandidat dan atau pendukung tidak fokus pada ajakan memilih diri atau jagoan dengan mengunggulkan prestasi dan kebaikan. Lebih dari itu, para kandidat dan atau pendukung berusaha mencari kesalahan lawan dan mengumbar kepada publik. Lebih dari itu, berbagai framing dilakukan dalam rangka mempertontonkan kejelekan lawan dengan harapan publik mau memilih diri kandidat atau jagoannya.
Kondisi seperti ini tidak lantas berhenti sampai pada menjelekan kandidat namun memicu kemarahan antar pendukung. Perdebatan dalam makna negatif tak dapat dihindarkan. Di media maya, segala umpatan dengan mudahnya dilancarkan. Di kehidupan nyata, antara satu orang dengan yang lain tidak saling bertegur sapa. Mereka memendam rasa amarah karena perbedaan pilihan politik yang berakibat saling menjelek-jelekkan.
Kondisi ini semakin menambah kesedihan manakala bangunan persaudaraan sudah lama diikat dalam beragam persamaan, akhirnya harus pupus karena perbedaan politik. Dalam internal agama Islam saja misalnya, bahkan dalam satu pemahaman akidah. Orang-orang NU misalnya, mereka saat ini tersebar di seluruh pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon capres dan cawapres). Dengan adanya penyebaran ini menjadikan satu dengan yang lainnya saling tidak akur. Lebih-lebih beragam pemicu datang dari berbagai arah.
Kondisi ini akan sulit dihindari karena para tokoh sentral pun memiliki perbedaan pilihan. Para tokoh sentral NU menyebar di tiga paslon capres dan cawapres. Mereka juga memiliki dasar kuat dalam memilih masing-masing. Sehingga, perbedaan dalam pilihan politik di tahun ini merupakan keniscayaan. Yang bisa diupayakan adalah perdamaian di tengah perbedaan.
Bermula dari sinilah, dalam rangka menjaga kesucian identitas dan juga iklim damai dalam pesta demokrasi, ada beberapa hal yang mesti menjadi perhatian. Pertama, jangan sampai togoh agama (kiai) menggadaikan jati diri dengan iming-iming yang diberikan oleh pasangan capres-cawapres. Sosok kiai sejati merupakan pribadi yang mewakafkan diri untuk menjadi bagian dari corong perintah Tuhan sekaligus pewaris para nabi. Sebagai corong Tuhan, seorang kiai mengerjakan amar ma’ruf dan nahi munkar (mengajak kedalam kebaikan dan mencegah kemungkaran) dengan cara yang baik. Sebagai pewaris para nabi, para kiai diharapkan mampu meneladani seluruh uswah hasanah (teladan terbaik) yang pernah dilakukan para nabi.
Keutamaan peran kiai sebagai corong Tuhan dan pewaris para nabi tak dapat digantikan dengan tahta, wanita, ataupun harta. Keutamaan itu akan didapat manakala seorang kiai melakukannya dengan niatan lillahi ta’ala (murni karena Allah SWT). Bagi yang menggadaikan niatan suci lillahi ta’ala dengan pamrih mendapat keuntungan dunia dari capres/cawapres, maka seorang kiai akan rugi besar. Sehingga, para kiai harus tetap pada pendirian ikhlas menjadi corong Tuhan dan pewaris para nabi. Jangan sampai mereka tergiur dengan iming-iming barang dunia sehingga menanggalkan keikhlasan atau bahkan peran utama sebagai seorang kiai.
Kedua, di muka umum, seorang kiai harus tampak teduh. Kiai memiliki pilihan politik adalah keniscayaan. Pilihan politik akan diikuti orang-orang dekat tidak dapat dihindarkan. Sehingga, para kiai harus bisa menjaga diri sehingga umat secara keseluruhan tidak terpecah belah. Jangan sampai hanya antara satu kiai dengan kiai lain berbeda pilihan menjadikan umat muslim bermusuhan. Dan kunci dari semua ini yang memegang adalah masing-masing para kiai.
Kiai Bahaudin Nursalim (Gus Baha) bisa menjadi teladan dalam berpolitik. Selain tidak menampakkan pilihan politik praktisnya, ia juga menerangkan bahwa memilih politik tidak perlu menjadi perkara yang berkedok agama. Ia menganalogikan memilih politik bagaikan memilih buah. Ketika seseorang suka terhadap buah A sementara orang lain suka terhadap buah B, maka tidak perlu diperdebatkan. Memilih buah A dan buah B pun tidak perlu dasar agama. Dan sikap seperti inilah yang perlu ditunjukkan seorang kiai di muka umum.
Ketiga, umat muslim harus cerdas dalam berpolitik. Mereka harus sadar bahwa pesta demokrasi adalah resepsi yang penuh dengan kegembiraan. Masing-masing dari calon pemimpin dipastikan memiliki niatan dan kemampuan untuk memakmurkan bangsa. Maka, siapapun yang jadi, tidaklah menjadi persoalan yang berarti. Bukalah lembar sejarah bahwa para politikus mudah sekali loncat, yang awalnya partai atau politikus satu berteman dengan partai atau politikus tertentu namun dalam hitungan hari sudah berlain hati. Sebaliknya, yang awalnya bertengkar justru bisa bergandengan tangan. Semua dilakukan dalam rangka mencari kecocokan partner kerja sehingga bisa mengabdi pada negara secara maksimal. Sehingga, umat muslim jangan sampai menjadi korban perpecahan. Umat muslim harus menjadi satu meski dalam perbedaan pilihan politik.
Wallahu a’lam.