Saya begitu tertarik dengan kebenaran Al-Qur’an (Qs. An-Nisa’:59) itu dalam memahami titik-temu relasi ulama dan umara’. Cobalah amati ayat tersebut: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah (Allah) dan taatilah (Rasul/Nabi) serta (ulil amrih) yakni pemegang kekuasaan di antara kamu”. Mengapa basis ketaatan kepada Allah SWT, pada Rasul/Nabi (kini: taat pada ulama sebagai pewaris Nabi) dan kepada pemerintah (ulil amri) itu justru disandingkan dalam satu redaksi? Mengapa tidak dipisah ke dalam redaksi yang berbeda?
Relasi demikian bukanlah sesuatu yang sifatnya kebetulan. Melainkan ini sebagai satu kebenaran etis, bahwa peran ulama (pewaris Nabi) dan peran pemerintah (ulil amri) selalu berkaitan dan tak bisa dipisahkan.
Jadi, perintah taat pada Allah, pada ulama’ dan pada pemerintah sebagai kebenaran teologis. Bahwa Allah SWT menginginkan peran ulama itu (pewaris Nabi) dan pemerintah agar bisa bersama dalam membangun nilai-nilai kemaslahatan dalam sebuah negara/bangsa yang sesuai dengan ajaran-Nya.
Allah SWT memiliki peran sentral dalam memberi ajaran-ajaran etis pada manusia lewat Al-Qur’an. Begitu juga tugas Rasul/Nabi yang kini mengacu pada peran/tugas ulama’ adalah menyampaikan kebenaran Al-Qur’an agar menjadi cahaya umat manusia. Sedangkan peran pemerintah/pemegang kekuasaan (ulil amri) adalah berupaya membangun kebijakan/aturan serta ijtihad (membangun negara) dengan prinsip-prinsip yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan tak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Penyandingan eksistensi ulama (pewaris Nabi) dan pemerintah seharusnya memiliki peran yang bisa kolaboratif. Peran ulama (pewaris Nabi) tentu harus dekat dengan pemerintah (ulil amri). Dua peran ini disandingkan dan umat diminta untuk taat atas keduanya. Karena antara ulama dan pemerintah itu memiliki titik sentral dalam menjaga umat agar tetap berada pada nilai-nilai Qur’ani (membawa rahmat) dengan ajaran-Nya.
Membangun relasi antar ulama dan pemerintah ini agar garis perjuangan utu tetap berada di jalur yang telah ditetapkan oleh-Nya. Secara logika etis, sangat tak mungkin apabila peran ulama justru bertolak-belakang dengan misi pemerintah yang jelas-jelas membuat kebijakan yang relevan dengan kebenaran-Nya yang membawa maslahat dan menjauhi mudharat. Jadi, titik pentingnya sinergi antara ulama dan pemerintah (ulil amri) ini semata menjunjung (prinsip yang sama, relevan dan korelatif dengan kebenaran-kebenaran-Nya).
Cobalah pahami (Qs. An-Nahl:44) “Dan Kami turunkan adz-dzikir (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”. Tak pernah Saya temukan dalam banyak kebenaran ayat yang memerintahkan manusia untuk membunuh, berpecah-belah, bermusuhan atau hidup dalam kebencian. Bahkan ada begitu banyak ayat-ayat yang melarang perilaku semacam itu dan tentunya kebijakan pemerintah selalu berpijak pada nilai-nilai etis yang semacam itu.
Misalnya, di dalam (Qs. Al-Baqarah:256) “Tidak ada paksaan dalam beragama”. Ulama seharusnya menjadi terang sebagaimana perannya sebagai pewaris Nabi dalam menyampaikan cahaya kebenaran-Nya tersebut tentang pentingnya fatwa keagamaan yang moderat semacam itu. Sedangkan tugas pemerintah adalah membangun (mekanisme hukum) yang secara tegas merepresentasikan apa yang menjadi edukasi, dakwah dan bimbingan ulama yang berkaitan dengan semangat demikian.
Jadi, relasi ulama dan pemerintah ini sifatnya korelasi, kolaborasi dan integrasi peran dengan tujuan yang sama. Sebagaimana, ulama memiliki andil besar dalam memberi pencerahan atas pemerintah dalam hal-hal kebenaran-Nya yang bisa membawa maslahat. Lalu pemerintah memiliki andil besar dalam membangun ijtihad atau ketetapan hukum dalam bernegara yang dibangun atas dasar nasihat, bimbingan dan peranan ulama dalam lanskap membangun pemerintahan yang bisa membawa semangat baldatun tayyibatun warabun ghafur itu.