Terorisme dan radikalisme merupakan musuh global di era sekarang ini. Keduanya menjadi penghalang terwujudnya peradaban global yang damai. Indonesia termasuk negara yang rawan terkait aksi terorisme dan radikalisme. Badan nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT) sudah memperingatkan bahwa tidak ada wilayah di nusantara yang aman dari tindak terorisme dan radikalisme, baik sebagai sasaran aksi, perekrutan, dan lainnya.
Sepanjang tahun 2015 telah terjadi sekitar 300 aksi terorisme di dunia ini (Wikipedia, 2015). Terorisme di Indonesia sudah ada sejak 1981. Terakhir adalah Bom Sarinah dan Bom bunuh diri Solo. Indeks Terorisme Global Indonesia adalah 4,76 dan menempati rangking ke-33 sedunia pada 2014 (Institute for Economics and Peace, 2015).
Satu-satunya jalan penanggulangan adalah deradikalisasi. Upayanya mesti komprehensif mulai dari pencegahan hingga penindakan. Pencegahan penting menjadi prioritas. Kunci strategisnya butuh sinergi multi pihak dalam menjalankannya.
Konsepsi Teologi
“Kebaikan yang tidak terorganisasi akan terkalahkan oleh kejahatan yang terorganisasi,” demikian Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA memberi nasihat. Terorisme dan radikalisme telah terorganisasi rapi dan sistem modern. Upaya menangkal dan memberantasnya pun tentu mesti dengan strategi yang jitu dan terorganisasi sistemik.
Sinergi merupakan bentuk pengorganisasian dalam rangka tolong menolong untuk kebaikan. Ini merupakan bagian dari perintah agama. Sebagaimana firman Allah SWT, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (al-Mâidah/5:2).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mendefinisikan bahwa al-birru atau kebaikan sebagai satu kata bagi seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang hamba. Lawan katanya adalah al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi sebab seorang hamba sangat dicela apabila melakukannya.
Salah satu sinergi yang menjadi tuntunan Islam adalah antara ulama dan umara. Ulama, kosakata bahasa Arab, bentuk jamak dari kata alim. Artinya orang yang berpengetahuan, ahli ilmu, orang pandai. Kata ulama terdapat dalam Al-Qur’an surat Asy-Syu’ara‘ ayat 197 dan Fathir ayat 28. Para ulama adalah pewaris Nabi dan penerus tugas-tugasnya di dunia, yakni membawa kabar gembira, memberi peringatan, mengajak kepada Allah dan memberi cahaya.
Selanjutnya umara dari kata amir yang sepadan dengan ulul amri dalam Al-Qur’an. Artinya orang yang mempunyai pengaruh, kekuasan; orang yang memangku urusan rakyat; penguasa. Tugas umara adalah menyelenggarakan pemerintahan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat (Chirzin, 2015).
Menurut al- Mawardi, kewajiban pemimpin meliputi 10 poin. Salah satunya adalah jihad untuk memerangi musuh. Sekarang ini definisi musuh tidak hanya eksternal tetapi bisa dari internal. Termasuk didalamnya adalah teroris dan radikalis.
Ulama memiliki peran vital dalam mengurai berbagai persoalan kehidupan berbangsa. Pencegahan terorisme dan radikalisme salah satunya. Allah SWT berfirman, “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS. Al A’raf: 96). Keimanan dan ketakwaan membutuhkan peran besar ulama. Keberkahan sebagai outputnya berbentuk banyak hal, termasuk perdamaian dan terbebasnya bangsa dari tindak terorisme dan radikalisme.
Sinergi Lintas Lini
Radikalisme dan terorisme membutuhkan upaya mitigasi. Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara berbudaya dan damai mesti dipertahankan sebagai percontohan global. Semua komponen penting bahu membahu berkontribusi dalam upaya tersebut secara bijak, profesional, dan total.
Pertama, adalah pemerintah dan aparat keamanan. Pemerintah penting mengoptimalkan upaya pencegahan hingga penindakan. Pencegahan dapat dilakukan melalui banyak sektor, seperti pendidikan, keagamaan, sosial budaya, ekonomi, dan lainnya. Optimalisasi intelejen mesti dilakukan guna mengendus gerak gerik dan penyebaran paham terlarang. Intelejen dan kepolisian mesti berkoordinasi intensif guna saling melengkapi kontribusi.
Kedua, adalah organisasi dan tokoh masyarakat. Organisasi masyarakat (ormas) dapat menjadi fasilitator mengkampanyekan gerakan damai dan memahamkan publik terkait paham terlarang dan berbahaya. Tokoh masyarakat seperti ulama, rohaniawan, dan budayawan dapat digandeng dalam upaya ini. Ajaran perdamaian mesti mendapatkan proporsi lebih banyak dalam berbagai forum sosial keagamaan.
Ketiga, adalah media. Media penting memberitakan dan menginformasikan isu hingga kejadian terorisme dan radikalisme secara proporsional. Alih-alih mengambil simpati publik, jangan sampai justru menjadi bagian yang ikut memperlebar teror. Pemberitaan berlebihan, niretika, hoax, hingga terlalu sering justru akan memberikan ketakutan yang tidak disadari masyarakat.
Keempat adalah publik. Publik mesti selalu dalam keadaan waspada. Ikatan sosial penting diperkuat guna membentengi lingkungannya dari masuknya oknum atau paham berbahaya. Hal-hal mencurikana mesti segera dilaporkan kepada yang berwenang.Publik merupakan subyek dan obyek upaya mitigasi bencana sosial.
Perdamaian adalah kunci menuju peradaban yang sejahtera. Radikalisme termasuk dalam bencana sosial yang mesti ditempatkan setara dengan bencana alam. Dukungan regulasi dan finansial mesti diberikan dalam upaya mitigasinya.