Waspada Amplifikasi Teror dan Validasi Kekerasan Jelang Nataru

Waspada Amplifikasi Teror dan Validasi Kekerasan Jelang Nataru

- in Narasi
128
0
Waspada Amplifikasi Teror dan Validasi Kekerasan Jelang Nataru

Tujuan aksi terorisme, entah itu bom bunuh diri, penembakan massal, atau aksi kekerasan lainnya pada dasarnya bukan ingin sekadar menimbulkan korban jiwa atau kerusakan fisik. Lebih dari itu, aksi terorisme sebagaimana makna aslinya, setiap aksi teroris selalu bertujuan untuk meneror alam bawah sadar manusia.

Aksi teror hanyalah medium yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Yaitu pesan tentang kekerasan yang diharapkan akan diamplifikasi oleh media massa dan publik pada umumnya. Tujuan akhirnya adalah menimbulkan perasaan cemas, takut, dan ketidakpastian di tengah masyarakat.

Teroris paham betul bahwa masyarakat yang dilanda kecemasan, ketakutan, dan ketidakpastian akan mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan destruktif. Kaum teroris akan merasa menang dan jemawa jika aksi terorisnya diberitakan terus-menerus dan diamplifikasi secara masif. Apalagi jika aksi kekerasan itu mendapat dukungan dan justifikasi dari masyarakat luas.

Itulah gambaran yang terjadi pasca teror bom bunuh diri di acara misa sebuah gereja di Marawi, Filipina beberapa waktu lalu. Ledakan bom itu sebenarnya tidak bisa dikatakan besar, alih-alih hanya kategori sedang. Korbannya pun nisbi kecil, yakni 4 orang tewas. Namun, efek pasca teror itu yang justru sangat besar dan masif.

Di media sosial misalnya, muncul narasi dukungan terhadap aksi nir-kemanusiaan tersebut. Sejumlah akun medsos yang berafiliasi dengan gerakan radikal-ekstrem gencar mengamplifikasi aksi teror ISIS di Marawi tersebut dengan beragam alibi. Salah satunya adalah klaim bahwa aksi itu merupakan bagian dari perjuangan atau jihad menegakkan syariah Islam.

Amplifikasi aksi teror ISIS di Marawi yang disertai dengan narasi pembenaran itu jelas berbahaya. Hal itu tidak berbeda dengan fenomena glorifikasi terorisme, yakni sikap yang menganggap tindakan teror sebagai tindakan baik dan mulia karena memperjuangkan nilai yang dianggap benar.

Amplifikasi terorisme dengan narasi pembenaran yang secara masif dilakukan melalui media sosial sama berbahanya dengan aksi terorisme itu sendiri. Aksi teror di lapangan berpotensi menimbulkan korban jiwa dan kerugian materiil. Sedangkan amplifikasi terorisme disertai narasi pembenaran yang disebar di media sosial akan mempengaruhi alam bawah sadar manusia untuk melakukan tindakan serupa.

Inilah yang disebut dengan validasi kekerasan, yakni kondisi ketika tindakan teror dan kekerasan mendapat pembenaran dari sebagian besar orang. Validasi kekerasan ini berpotensi menimbulkan gelombang kekerasan di berbagai tempat atau wilayah dengan pelaku dan motif yang berbeda dan sukar dibendung.

Waspada Teror di Momen Natal dan Tahun Baru

Fenomena amplifikasi terorisme dan validasi kekerasan inilah yang belakangan secara masif mengemuka di ruang publik digital kita pasca terjadinya teror bom bunuh diri di Filipina yang didalangi ISIS. Apalagi sudah bukan rahasia lagi bahwa ISIS memiliki simpatisan militan di Indonesia.

Seperti kita lihat dalam beberapa tahun belakangan, aksi teror yang terjadi di Indonesia nyaris semuanya dilakukan oleh simpatisan ISIS. Dengan propagandanya di media sosial yang begitu gencar, ISIS berhasil melahirkan teroris-teroris baru yang berkarakter lone-wolf. Mereka siap melakukan aksi teror kapan saja dengan persiapan dan persenjataan yang minim dan sasaran atau target yang acak.

Menjelang perayaan Natal umat Kristen dan Tahun Baru, kita patut mewaspadai eskalasi ancaman teror. Natal dan Tahun Baru selalu menjadi momentum kaum radikal-teror untuk melancarkan aksinya. Hal ini tentu bukan tanpa sebab. Momen Natal dipilih karena hari kelahiran Yesus Kristus itu merupakan hari besar umat Nasrani.

Sedangkan momentum Tahun Baru dipilih karena momen perayaan itu dianggap identik dengan simbol kebudayaan Barat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Apalagi, momen Natal dan Tahun Baru kali ini bertepatan dengan penyelenggaran Pemilu dan Pilpres. Di bulan-bulan jelang Pemilu dan Pilpres, perhatian masyarakat dan aparat keamanan tentu akan banyak terfokus pada isu-isu politik.

Celah ini tentu rawan dimanfaatkan sel teroris untuk melancarkan aksi teror dan kekerasan. Keberhasilan sel teroris ISIS meledakkan bom di gereja di Marawi, Filipina bisajadi menginspirasi sel di Indonesia untuk melakukan tindakan serupa. Di titik ini, kita perlu membangun kewaspadaan bersama.

Di satu sisi, aparat keamanan idealnya tidak boleh lengah untuk mengawasi setiap geliat dan manuver kaum radikal-ekstrem. Aparat keamanan tidak boleh kehilangan fokus meski energinya tersita untuk pengamanan Pemilu dan Pilpres. Di sisi lain, masyarakat juga harus mengintensifkan mekanisme deteksi dini radikalisme-terorisme di lingkungan sekitarnya.

Tidak kalah penting dari itu adalah, di momen perayaan Natal dan Tahun Baru ini, kita perlu menjalin kerjasama antar-agama untuk saling menjaga dan memberikan rasa aman. Dalam konteks keindonesiaan, umat Islam sebagai kelompok mayoritas memiliki tanggung jawab untuk menjaga atau melindungi kaum minoritas terutama kaum Nasrani dalam merayakan Natal dan Tahun Baru.

Facebook Comments