Secara teologis agama Islam, Konsep “bersih” bukanlah hanya sebatas diperuntukkan kepada zat yang dapat dipegang serta diraba, melainkan mencakup semua aspek yang dapat dirasakan dari segi kehidupan manusia. Begitu juga dengan sistem serta tata cara dalam agama Islam, bahwa hadir di kehidupan manusia untuk membersihkan kehidupan manusia, baik secara ruhani, jasmani bahkan sampai cara berpikir.
Pembersihan dan pemurnian dasar-dasar pemikiran dan titik tolak dalam hidup terjelma dengan jelas dalam rukun iman yang enam. Sebelum segala sesuatunya, manusia harus mempunyai titik tolak keimanan yang bersih dalam hidup ini. Salah satu ajaran mengenai membersihkan diri secara ruhani dan jasmani adalah zakat. Sebab zakat merupakan salah satu cara seorang muslim mensucikan hartanya, karena pada setiap harta yang dimilikinya terdapat hak orang lain yaitu delapan golongan fakir, miskin, garim (orang yang terbelit hutang), fi sabilillah (orang yang berjuang dijalan Allah), riqab (budak belian), muallaf (orang baru masuk islam), amil (panitia penerima dan penebar zakat), dan ibnu sabil (orang dalam perjalanan).
Berzakat bukan hanya bertujuan untuk menunaikan perintah agama semata akan tetapi lebih dari itu merupakan bentuk dan sisi lain dari wajah agama yang berdimensi sosial. Dengan berzakat memberikan gambaran tentang agama dan pribadi pemeluknya bahwa ketaatan kepada Allah swt dapat diraih dengan berbagai macam cara dan mengimplementasikan ajaran agama.
Melaksanakan kewajiban berzakat dengan tertib dan rutin akan memberikan kesan dan manfaat bagi agama islam, bahwa untuk menjadi seorang muslim yang sholeh tidak hanya diraih orang yang selalu melakukan ibadah di masjid dan musholla. Dalam islam, ada banyak dimensi ajaran yang memberikan ruang bagi pemeluknya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Islam mengajarkan bahwa semakin tinggi spiritualitas seseorang, maka akan semakin besar rasa simpati dan empatinya bagi sesamanya.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka kepercayaan pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah pemurnian kepercayaan parexcellence. Dengan kepercayaan itu manusia mendapatkan makna yang baru dan dimensi yang lebih dalam tentang ikatan yang dimilikinya dalam alam semesta ini. Tauhid adalah proses pembebasan manusia yang tiada tara.
Proses ini mencakup segala hubungan yang ada, seperti hubungan antara manusia dengan dirinya, antara manusia dengan sesama, dan antara manusia dengan alam semesta, yang merupakan lokus sementara baginya dalam kehidupan duniawi ini. Dengan konsep tauhid, segala tali hubungan itu telah mendapatkan unsur transendensinya. Segala hubungan itu dibangun kembali, sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditentukan Tuhan.
Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis halte tempat orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan munculnya momen-momen ajaib yang lahir atas campur tangan langsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena Islam datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh manusia dalam kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja. Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki segala kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan, kekuatan maupun kelemahan.
Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa baik bisa jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi laiknya malaikat. Sementara untuk manusia yang luar biasa, manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk –kalau saja yang demikian itu ada dalam kenyataan Islam– Islam tak punya urusan.
Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran yang normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma’qul (sensible), tapi sekaligus juga ma’mul (applicable). Ma’qul artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma’mul artinya bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam ujud rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir dalam ujud hal yang bersifat empirik.
Berbeda dengan logika teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif, logika empiris bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut ma’mul, harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang bisa dirancang, dikontrol dan bisa diukur. Ini berarti bahwa yang ma’qul belum tentu matmul, tapi yang ma’mul secara implisit haruslah ma’qul.
Kembali pada pokok soal, tentang “pemerataaan” atau lebih mendasar lagi soal “keadilan sosial,” orang bisa saja mengatakan bahwa semua rukun Islam yang lima cukup ma’qul untuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma’qul itu, satu-satunya yang sekaligus ma’mul adalah rukun yang ketiga, yakni zakat.
Karena seperti halnya tema pemerataan, atau keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan dengan soal materi, tapi hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya.