13 Tahun BNPT: Menguatkan Nasionalisme Milenial Melalui Deradikalisasi Dini

13 Tahun BNPT: Menguatkan Nasionalisme Milenial Melalui Deradikalisasi Dini

- in Narasi
415
0
13 Tahun BNPT: Menguatkan Nasionalisme Milenial Melalui Deradikalisasi Dini

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kini sudah memasuki usia yang ke-13 tahun. Dalam dekade terakhir ini, BNPT selalu tampil sebagai lembaga ‘super power’ dalam memberantas radikalisme dan terorisme. Tidak diragukan lagi, program dan kinerja BNPT patut diapresiasi oleh semua kalangan. Seandainya tidak ada lembaga BNPT di tanah air ini, mungkin saja radikalisme dan terorisme bebas berseliweran di mana-mana.

BNPT sebagai lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang penanggulangan terorisme dan radikalisme, telah berhasil mengeliminasi kasus kekerasan (terorisme) dalam semua sektor, baik keluarga, pendidikan, dan sosial. Terbukti, pada tahun 2023 ini, serangan terorisme menurun sebesar 56 persen (Republika, 2023)

Bahaya Radikalisme Terhadap Generasi Milenial

Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigjen. Pol. R. Akhmad Nurwahid, menyebutkan terdapat 12, 2 persen masyarakat Indonesia yang berpotensi terpapar paham radikal. Dari jumlah tersebut mayoritas adalah generasi Mileneal. Indikator pertama ialah generasi milenial yang diduga anti-pancasila, pro khilafah atau pro ideologi transnasional.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, bisa dilihat, bahwa generasi milenial dalam rentang kelahiran 1990-an yang terpapar gerakan radikal sesat, seperti aksi terorisme, pasangan suami istri pelaku bom bunuh diri di gereja Katedral Makassar, pelaku wanita yang menyerang Mabes Polri, dan sejumlah pelaku teror bom bunuh diri dan kekerasan lainnya di Indonesia, merupakan generasi milenial yang terkontaminasi paham radikal.

Berdasarkan survei BNPT, sebanyak 80 persen generasi milenial yang rentan terpapar radikalisme lantaran cenderung tidak berpikir kritis. Beberapa kasus telah menunjukkan bahwa generasi milenial lebih cenderung menelan mentah-mentah informasi yang mereka terima, tanpa memahami terlebih dahulu (Rahma Sugihartati, 2021)

Alch (2000) mengkaji generasi milenial secara khusus, menyatakan bahwa kebutuhan net generation ialah untuk mendapatkan informasi secara mudah dan cepat. Di balik kemudahan generasi milenial dalam mengakses informasi di internet, bukan berarti tidak beresiko. Anak muda yang semakin waktu semakin terbiasa berselancar di dunia maya, bukan tidak mungkin, akan rentan terpapar konten merugikan, seperti ideologi radikalisme yang dikemas dalam format yang produktif, atraktif, dan aduhai menggoda.

Deradikalisasi Dini

Beragam faktor yang membuat anak rentan terjangkit virus radikalisme. Namun yang utama ialah faktor keluarga dan institusi. Faktor keluarga, misalnya, rendahnya pengawasan orang tua terhadap anak, kurangnya perhatian orang tua kepada anak, keluarga broken home, dan orang tua pelaku kriminal. Sedangkan faktor institusi, seperti lingkungan sekolah dengan tingkat kenakalan yang tinggi.

Salah satu cara untuk mencegah generasi milenial dari radikalisme ialah dengan menstimulus sikap cinta tanah air (nasionalis) sejak dini. Caranya ialah melalui stimulasi seperti nyanyian atau lagu-lagu yang mengandung unsur nasionalisme.

Di samping itu, kisah-kisah heroik para pejuang perlu diceritakan kembali kepada anak-anak. Kisah-kisah kepahlawan dan perjuangan dalam merebut kemerdekaan harus, secara masif, digelorakan dengan bentuk sepersuasif mungkin agar pemuda memahami bahwa Indonesia bukan bangsa yang remeh temeh, melainkan bangsa besar yang Bhineka dengan beragam suku, agama, ras dan antar-golongan.

Di tengah portofolio generasi milenial yang tampak keren nan modern, serta terbiasa berselancar di media sosial, sebetulnya menyimpan hal-hal rawan yang berbahaya. Tugas dan tanggung jawab orang tua, keluarga dan sekolah, ialah turut berpartisipasi aktif dalam mencegah mereka terhadap paham radikal dan intoleran.

Facebook Comments