13 Tahun BNPT : Musim Semi Radikalisme dan Tantangan Indonesia Emas

13 Tahun BNPT : Musim Semi Radikalisme dan Tantangan Indonesia Emas

- in Editorial
380
0
13 Tahun BNPT : Musim Semi Radikalisme dan Tantangan Indonesia Emas

Pengalaman adalah guru terbaik. Ungkapan yang lazim kita dengar ini setidaknya tepat untuk dilakukan oleh bangsa ini. Dalam konteks memahami dan mencegah radikal terorisme, bangsa ini harus mengambil pelajaran penting dari berbagai pengalaman masa lalu.

Suburnya intoleransi, radikalisme dan terorisme pasca reformasi sejatinya musim semi radikalisme yang tumbuh subur dari bibit dan pohon radikalisme yang membeku di masa lampau. Gerakan radikalisme bukan mati, tetapi hanya membeku secara gerakan, tetapi ideologinya masih kokoh berdiri.

Musim semi radikalisme muncul di awal reformasi ibarat tanaman yang mekar berbunga di sana sini. Tidak ada ketabuan meneriakkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Tidak ada rasa malu meneriakkan pergantian sistem bernegara dengan azaz agama. Tidak ada ketakutan di ruang publik untuk saling mengkafirkan. Kran kebebasan terbuka! Musim semi radikalisme dimulai.

Gerakan intoleransi dan radikalisme bersemi dari level paling bawah masyarakat hingga pemerintahan. Berbagai survei diluncurkan dengan memotret geliat intoleransi dan radikalisme dari jenjang pendidikan, organisasi hingga aparatur negara. Dan hasilnya mengejutkan.

Gerakan teror mengguncang di awal reformasi dan muncul masif di berbagai daerah di tanah air. Indonesia masih gagap dan latah menanggapinya. Ini murni kejatahan? Ini mungkin konspirasi? Bagaimana harus menghadapinya? Berbagai pertanyaan muncul saat itu.

Tahun 2014 ketakutan Indonesia semakin menjadi-jadi. Gelombang arus terorisme global dari bumi Irak Suriah menerpa hampir berbagai belahan dunia. Masyarakat yang sudah tertanam lama ideologi kekerasan bangkit dan bersuara.

Simpati dan dukungan di dalam negeri atas negara yang dijanjikan menggugah hati nurani untuk hijrah ke negeri khilafah ISIS. Para “mujahid” dan “muhajirin”, begitu istilah mereka menyematkan diri mereka, berbondong-bondong meninggalkan negerinya yang telah membesarkan mereka.

Indonesia dari tahun ke tahun mulai menyadari. Para pelaku teror yang kebanyakan anak-anak muda bukan muncul seketika. Mereka digembleng puluhan tahun yang lalu. Mereka bukan kader instan yang mengalami proses radikalisasi instan dan cepat. Indoktrinasi, pengkaderan, pelatihan militer mereka alami.

Indonesia kecolongan? Harus jujur dikatakan memang kecolongan karena tidak menyadari dan mengabaikan proses pembekuan gerakan dan organisasi, tidak berarti matinya ideologi.

Gerakan intoleran dan radikalisme yang menggejala di masyarakat dan pemerintahan bukan sekedar proses radikalisasi yang terjadi saat ini. Mereka telah ditanam sejak dari lingkungan pendidikan hingga meraih posisi strategis di masyarakat dan pemerintahan.

Musim semi intoleransi dan radikalisme terjadi di era reformasi. Bangsa ini baru menyadari setidaknya dalam 2 dekade terakhir tentang bahaya virus radikalisme ini. Survei di berbagai sektor kehidupan dipenuhi dengan potensi radikalisme. Saat itu kita baru menyadari virus ideologi ini masih ada dan menjalar di tengah masyarakat.

Mendoktrin anak usia dini, memberi panduan militansi para remaja dan memberi mimpi perubahan anak-anak muda. Kini sebagian menjadi tokoh penting di tengah masyarakat, sebagian lain mengambil peran sentral di organisasi radikal arus bawah. Mereka berinvestasi menanamkan gagasan radikal kepada anak-anak muda, bahkan usia dini, yang diharapkan mendapatkan keuntungan gerakan di masa mendatang.

Kini, bangkitnya sentimen agama bukan hal tabu. Dipolitisasi oleh elite dan dimakan dengan renyah oleh anak-anak muda yang haus identitas. Bangsa ini mudah terbelah dengan isu murahan yang memecah belah.

Sebaran hoaks, fitnah dan adu domba yang ditopang perkembangan teknologi dan informasi semakin menggila. Radikalisasi tidak lagi di ruang tertutup, tetapi terbuka lebar bagi siapapun yang memiliki kerentanan dengan mengakses media sosial tanpa daya literasi yang kuat.

BNPT dan Harapan Indonesia Emas

BNPT lahir 13 tahun yang lalu. Ditugaskan untuk tidak hanya melawan aksi, tetapi mencegah sejak hulu akar yang melatari lahirnya aksi. BNPT lahir di tengah kesadaran masyarakat bahwa terorisme bukan sekedar aktor, jaringan dan gerakan, tetapi ada ideologi kekerasan dan kebencian yang harus diamputasi.

13 Tahun hingga hari ini, masyarakat mulai aware dan terbuka. Gerakan bersama telah tercipta. Tetapi itu bukan akhir dari sebuah cerita melawan radikalisme dan terorisme. Tantangan hari ini adalah membentengi generasi emas yang kelak akan memegang posisi penting kepemimpinan lokal dan nasional di tahun emas Indonesia.

Bayangkan jika generasi saat ini ditanam benih indoktrasinasi intoleransi dan radikalisme? Panggung mereka di tahun 20245 akan diisi dengan figur dan tokoh yang sebelumnya telah tertanam virus intoleransi dan radikalisme. Bayangkan ketika menempati posisi penting dan strategis di level masyarakat dan negara. Ia akan mudah terserang dan terpapar dengan mengambil kebijakan yang bisa merugikan kedaulatan negara.

Belajar dari masa lalu. Gerakan ini bukan sekedar vandalisme dan premanisme. Tepatnya, gerakan yang disulut api ideologi kekerasan dan kebencian yang disakralisasi dengan justifikasi agama. Inilah penyebab mereka tidak pernah mati sekalipun organisasi dan gerakan mereka diamputasi.

Apa yang harus dilakukan? Membentengi generasi saat ini yang dikatakan sebagai bonus demografi di masa mendatang agar terbebas dari virus ideologi kekerasan dan kebencian. Penanaman nilai toleransi dan kearifan bangsa harus diinternalisasi dengan gerakan bersama di seluruh sektor kehidupan berbangsa. Bukan hanya gerakan parsial, apalgi hanya seremonial.

Kita tidak berharap dan tidak terbesit sama sekali keinginan melihat tahun 2045 sebagai musim semi kedua radikalisme di tanah air.

Facebook Comments