14 Tahun BNPT; Optimalisasi AI dalam Kampanye Anti-Kekerasan di Kalangan Digital Native

14 Tahun BNPT; Optimalisasi AI dalam Kampanye Anti-Kekerasan di Kalangan Digital Native

- in Narasi
54
0
14 Tahun BNPT; Optimalisasi AI dalam Kampanye Anti-Kekerasan di Kalangan Digital Native

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) genap berusia 14 tahun. BNPT menjadi bukti bahwa perang melawan terorisme adalah kerja panjang dan tidak instan. Sejak era bom bali 1 sampai sekarang, gerakan terorisme telah mengalami pasang surut.

Saat ini gerakan terorisme mengalami fase surut. Hal ini dilihat dari bubarnya sejumlah organisasi radikal seperti HTI, FPI, dan terakhir JI. Namun, jika dibaca dalam perspektif yang lebih luas dan obyektif, bubarnya organisasi radikal itu tidak serta-merta membuat gerakan terorisme tutup buku selamanya.

Paham dan gerakan radikal-teror ibarat virus yang punya kemampuan beradaptasi, berkamuflase, dan bermetamorfosis agar terus eksis. Mereka juga memiliki kemampuan meregenerasi diri, yakni dengan menyebarkan paham radikal ke kalangan kaum muda, remaja, dan anak-anak.

Di fase surut ini, mereka memang tidak memiliki kekuatan untuk melakukan amaliyah. Namun, mereka tidak melupakan mimpi mendirikan imperium Islam global (khilafah islamiyyah). Di fase ini, mereka merancang strategi jangka panjang, yakni regenerasi dengan merekrut anggota baru di kalangan kaum muda dan remaja.

Di era digital seperti sekarang, indoktrinasi bahkan rekrutmen bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. Dengan internet dan media sosial, kelompok radikal bisa menjalankan propaganda dan merekrut anggota baru tanpa tatap muka. Inilah era baru gerakan terorisme, dimana ideologi teror bisa didiseminasikan melalui jaringan digital.

Regenerasi Sel Teroris; Generasi Z dan Alpha Sebagai Targetnya

Sebagai generasi digital native, kelompok generasi Z dan generasi Alpha adalah dua golongan yang rentan menjadi obyek atawa target propaganda radikalisme. Mengapa demikian? Di satu sisi, generasi Z dan generasi Alpha adalah kelompok yang sangat potensial untuk meneruskan regenerasi kelompok teroris. Di sisi lain, gen Z dan gen Alpha adalah kaum digital native yang tidak bisa hidup tanpa internet dan media sosial.

Teknologi digital, termasuk internet dan media sosial adalah elemen vital yang membentuk konstruksi pemikiran generasi Z dan Alpha, tidak terkecuali dalam hal keagamaan. Generasi digital native ini akan terbiasa belajar agama melalui beragam platform media sosial.

Ironisnya, ghiroh belajar agama secara virtual ini acapkali tidak dilandasi oleh fondasi pengetahuan yang kuat. Inilah celah yang dimanfaatkan kelompok radikal untuk menyebarkan paham kebencian dan kekerasan berbalut agama ke kalangan digital native.

Propaganda ideologi kekerasan dan kebencian berbalut agama di media sosial adalah tantangan baru dalam pemberantasan ekstremisme. Perang melawan ekstremisme tidak lagi mengedepankan pendekatan keras (hard approach), namun lebih mengoptimalkan pendekatan lunak (soft approach). Selain melanjutkan program deradikalisasi dan penguatan kontra-radikalisasi, satu hal yang urgen dilakukan adalah membentengi generasi Z dan Alpha dari propaganda radikalisme di dunia maya.

Dalam konteks inilah, tema HUT ke-14 BNPT, yakni “Gelorakan Anti-Kekerasan, Indonesia Damai Menuju Indonesia Emas” menjadi sangat relevan. Kita harus menggelorakan kampanye anti-kekerasan di kalangan gen-Z dan Alpha sebagai benteng melawan propaganda radikalisme keagamaan. Namun, bagaimana mendesain strategi kampanye anti-kekerasan yang efektif menyasar kalangan generasi Z dan Alpha yang identik sebagai digital native tersebut?

Bagaimana Mendesain Kampanye Anti-Kekerasan di Kalangan Digital Native?

Langkah pertama adalah dengan mendesain corak kampanye anti-kekerasan yang digital friendly alias bisa diakses secara mudah melalui teknologi digital. Kedua, mendesain kampanye anti-kekerasan yang adaptif pada budaya populer yang tengah digandrungi kaum gen Z dan Alpha. Misalnya melalui film pendek, video pendek TikTok atau YouTube Short maupun Reels Instagram, artikel populer dan siniar (podcast).

Adaptasi budaya populer ini penting agar agenda anti-kekerasan bisa related alias relevan dengan kecenderungan tren di kalangan kaum muda dan remaja. Bagi generasi digital native, sebuah meme yang didesain dengan pesan naratif yang artikulatif yang kuat akan jauh lebih efektif memantik kesadaran ketimbang ceramah berjam-jam yang menjemukan.

Langkah ketiga adalah memasifkan kampanye anti-kekerasan melalui seluruh platform media sosial. Cara ini penting untuk menguasai algoritma medsos dengan narasi positif dan tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk propaganda negatif (kebencian, kekerasan, dan sejenisnya).

Dalam konteks inilah, optimalisasi teknologi kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) mutlak diperlukan. Selama ini ada anggapan bahwa AI adalah ancaman bagi eksistensi manusia. Bahwa AI akan mengambil peran-peran manusia dalam berbagai jenis pekerjaan. Ada juga persepsi bahwa AI akan menjadi ancaman serius lantaran cenderung pro-kekerasan. Anggapan itu tentu tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak merepresentasikan seluruh realitas yang ada.

Sebagaimana teknologi lainnya, AI juga memiliki dua sisi; positif dan negatif. AI memang bisa menjadi ancaman bagi eksistensi manusia, namun sebaliknya AI juga bisa menjadi peluang bagi lompatan kemajuan peradaban manusia. AI di satu sisi memang bisa dimanfaatkan oleh golongan yang pro-kekerasan.

Namun, di sisi lain AI juga bisa menjadi sarana efektif untuk kempanye anti-kekerasan. Artinya, AI ini bersifat netral. Jika dikuasai kelompok ekstremis, ia akan menjadi alat memproduksi dan menyebar konten berisi kebencian dan permusuhan. Sebaliknya, di tangan kaum moderat, AI akan menjadi alat untuk membangun kesadaran anti-kekerasan.

Facebook Comments