Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kifayatul Atqiyah menjelaskan ciri ulama su’ itu ialah ulama yang cenderung jahat. Ulama su’ memanfaatkan ilmu agamanya untuk kepentingan/kesenangan dunia semata. Ulama su’ senang melegitimasi agamanya untuk mendapatkan pangkat serta kedudukan di masyarakat.
Jika kita konteks-kan di era negara bangsa saat ini, tentu secara relevan ada beberapa karakter/ciri ulama su’ yang perlu kita hindari. Sebagaimana ada 3 ciri ulama su’ yang keberadaannya, kita tak boleh mengikuti fatwa-fatwanya. Bahkan kita tak perlu percaya dengannya. Lantas, apa saja 3 ciri ulama su’ yang harus kita hindari?
Pertama, hindari ciri ulama su’ yang rela mengorbankan agamanya demi kepentingan politik. Ada begitu banyak “oknum” yang disebut-sebut ulama di dalam kehidupan kita di negeri ini. membawa fatwa-fatwa keagamaan yang bersifat membangkang atas sistem bernegara yang ada. Lalu memanfaatkan dalil agama untuk merusak tatanan/sistem bernegara yang ada demi mengambil alih kekuasaan negara, seperti mengatasnamakan pentingnya negara Islam/Khilafah itu.
Di era negara bangsa, kita yang memiliki latar belakang agama yang berbeda telah hidup dalam lanskap kebersamaan yang saling menghargai dan penuh perdamaian. Para ulama terdahulu kita ikut serta merumuskan negara berbasis kesatuan di tengah perbedaan di negeri ini. Maka, ciri-ciri ulama su’ itu di era negara bangsa adalah mereka yang ingin merusak sistem yang mapan ini demi kepentingan politik untuk menguasai tatanan.
Jika kita menemukan ciri ulama yang cenderung berkarakter semacam di atas. Entah lewat ceramah, fatwa atau propaganda lewat kajian berdalih keagamaan. Karakter demikian adalah ciri ulama su’ di era negara bangsa ini yang harus kita hindari. Atau bahkan tak perlu dipercaya eksistensinya sebagai ulama.
Kedua, ulama su’ di era negara bangsa kerap memanipulasi kebenaran agamanya untuk membenci, memusuhi dan berbuat zhalim atas umat agama lain. Seperti yang dijabarkan Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam Kifayatul Atqiyah tentang ulama su’ itu. Bahwa ulama su’ itu cenderung jahat.
Jahat yang dimaksud jika kita kaitkan di era saat ini. Ada begitu banyak oknum ulama yang kerap melegitimasi keagamaan untuk membenarkan kezhaliman, berbuat intolerant dan memusuhi umat agama lain. Banyak yang beranggapan, bahwa ini dianggap ulama yang tegas dengan prinsip akidah dalam beragama. Padahal, ini adalah bagian dari ulama su’ yang masuk dalam kategori ulama jahat untuk kita hindari.
Jangan pahami ulama yang dekat dengan pemerintah itu sebagai ulama su’ karena dianggao gila kekuasaan. Padahal, ulama yang memiliki relasi-sinergi dengan pemerintah (negara) meraka memiliki spirit untuk menjaga tatanan agar tetap dalam garis yang benar. Yakni menjamin realitas umat yang majemuk agar tetap hidup dalam relasi sosial yang harmonis, bersatu, damai dan saling menghargai satu-sama lain.
Ketiga, ulama su’ di era negara bangsa saat ini kerap melahirkan fatwa keagamaan-nya yang cenderung membawa mudharat atas nilai-nilai kemanusiaan. Selain hanya demi kepentingan kedudukan (kekuasaan politik). Ulama su’ juga sangat kental dengan karakternya. akhlak dan moralitasnya yang buruk. Yakni selalu melahirkan fatwa-fatwa keagamaan yang justru dapat merobek tatanan sosial dan menyebabkan kekacauan.
Kita harus menghindari ulama su’ di era negara bangsa ini yang kerap membawa fatwa-fatwa yang cenderung bertentangan dan membawa dampak mudharat terhadap tatanan sosial. Sebab, agama apa-pun itu selalu menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas dalam kehidupan. Jadi, jika di sosial media atau di mimbar-mimbar dakwah kita menemukan sosok ulama dengan karakter yang seperti disebutkan di atas, maka itu adalah ciri ulama su’ yang harus kita hindari/jauhi.