Kisah agama dan negara adalah laiknya kisah Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji, sebuah kisah yang banyak mengilhami bentuk kesenian tradisional sebagaimana tarian-tarian bertopeng yang mengecambah dari Nusantara hingga sebagian Asia. Adakalanya keduanya, yang direpresentasikan oleh para pemimpin agama (ulama) dan para pemimpin negara (umaro), tampak bersatu dalam satu citra pemimpin yang lazim teranyam di era pra-modern.
Setelah modernisme yang melahirkan era modern tumbuh, dengan ditandai oleh perkawinan sains dan kapitalisme, yang lantas melahirkan pula teknologi, agama dan negara itu dituntut untuk bercerai atas nama kesucian agama dan juga kemajuan peradaban. Inilah substansi dari apa yang orang kenal sebagai sekularisme.
Namun, ternyata modernisme, tanpa banyak orang sadari, juga melahirkan tuntutan perkawinan antara agama dan negara yang bahkan berlaku sampai pada titik-ekstrimnya: Pan-Islamisme, Negara Islam, khilafah, dst. Seruan untuk hidup secara akomodatif dengan perkembangan sains-kapitalisme-teknologi ternyata berbarengan pula dengan seruan untuk kembali pada apa yang dianggap sebagai sumber utama agama yang cukup mengoyak lokalitas: Qur’an dan Hadist. Pada fase inilah modernisme kemudian menyisakan paradoks dalam beragama yang tampak serba membingungkan pada tahap praksisnya.
Dalam masa pra-modern, khususnya di masa kerajaan-kerajaan Jawa, agama dan negara memang dua entitas yang tak terpisahkan. Banyak orang menyaksikan bahwa banyak raja Jawa cukup menguasai pengetahuan-pengetahuan keislaman. Tengoklah Pakubuwana IV yang melahirkan Serat Wulangreh ataupun Mangkunegara IV yang cukup tepat dalam memahami tasawuf al-Ghazali tentang keajaiban-keajaiban hati yang dikupas dalam Serat Wedhatama.
Namun, yang membedakan para raja Jawa itu dengan tuntutan Islam yang berlebihan, seperti halnya tegaknya khilafah atau berislam dengan berorientasikan pada Arab atau Yaman, adalah suatu tuntutan yang dianggap tak tepat—yang diistilah dengan kecenderungan para “pengung” atau orang-orang goblok. Mangkunegara IV, dalam Serat Wedhatama, pernah menyindir orang-orang semacam itu sebagai orang-orang yang sebenarnya belum becus.
Durung pecus
Kasusu kaselak besus
Amaknani rapal kaya Sayid weton Mesir
Pendhak-pendhak angendhak gunaning janma
Di masa pra-modern itu, terutama pada masa kerajaan-kerajaan Jawa, agama dan negara memang bersatu dalam satu pribadi yang dinamakan sebagai raja, yang kemudian melahirkan pula istilah bahwa agama adalah busana sang raja, “Agama ageming Aji.” Namun, agama di sini, jelas berbeda dengan pengertian agama yang dibawa oleh kalangan “Islamis” yang cenderung mengarah pada apa yang orang kenal sebagai “syari’at,” dan itu pun pada masa sekarang di Indonesia sudah dapat diwakili oleh Pancasila, konstitusi, dan hukum-hukum positif, tanpa harus berkoar-koar bersyari’at atau berislam.
Maka ketika orang berpikir secara substantif, pada dasarnya sejak masa pra-kemerdekaan, terutama pada masa kerajaan-kerajaan Jawa hingga saat ini, agama dan negara sudah teranyam cukup baik tanpa pun orang perlu berkoar-koar menegakkan syari’at atau bahkan pemerintahan Islam. Perkawinan antara agama dan negara yang samar itulah, karena kebhinekaan keadaan, yang sebenarnya orang hidupi di masa sekarang dengan adanya Pancasila, konstitusi, dan hukum-hukum positif. Bukankah cukup terasa adil, atas nama kebhinekaan, ketika orang beragama atau berislam dengan berpancasila, berkonstitusi, dan berhukumhukum positif, sebagaimana dahulu orang-orang Jawa di masa kerajaan-kerajaan dengan kearifan-kearifan Jawanya?