Jika diibaratkan manusia, usia 80 tahun tentu telah menjalani berbagai fase kehidupan. Demikian juga perjalanan bangsa selama delapan dekade yang telah melaui serangkaian fase. Sebagai negara bekas jajahan, kita kenyang dengan berbagai tragedi kemanusiaan. Maka, secara genealogis bangsa ini punya semacam kemampuan resiliensi yang luar biasa.
Berbagai gejolak politik, bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya berhasil kita lewati dan tidak sedikit pun membuat negara goyah. Kini, di usia yang menginjak 80 tahun, tantangan kebangsaan justru datang dari anasir-anasir yang kerapkali tidak terlihat dari permukaan.
Jika dilihat sekilas dari permukaan, kehidupan sosial, politik, dan keagamaan kita tampak baik-baik saja. Apalagi dalam dua tahun belakangan kita berhasil mempertahankan status zero attack terrorism. Namun, jika dilihat dengan lebih detil, kehidupan kebangsaan kita hari ini sebenarnya belum sepenuhnya steril dari ancaman persoalan.
Berbagai kasus intoleransi dan persekusi terhadap kelompok minoritas adalah bukti nyata kehidupan beragama kita tengah mengalami krisis. Masifnya penyebaran propaganda ideologi radikal di kanal maya yang dikemas dalam kajian-kajian keagamaan menjadi fenomena yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Di usia ke 80 ini, bangsa Indonesia menghadapi penjajahan mental.
Penjajahan mental di era kekinian mewujud ke dalam beragam bentuk. Antara lain, pertama upaya mendelegitimasi Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila dianggap sebagai produk pemikiran manusia yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pancasila tidak cocok sebagai dasar negara Indonesia dimana penduduknya mayoritas adalah muslim. Maka, Pancasila harus diganti dengan ideologi Islam.
Kedua, narasi yang menyatakan bahwa bentuk negara bangsa demokratis yang selama ini diadaptasi oleh Indonesia merupakan produk pemikiran kafir yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Demokrasi adalah sistem taghut yang didesain untuk membuat umat Islam kalah dan terpojok. Negara demokrasi harus diganti dengan negara Islam dengan hukum syariah.
Ketiga, upaya melabelisasi berbagai kekayaan budaya dan tradisi Nusantara sebagai bid’ah yang bertentangan dengan Alquran dan hadist. Kearifan lokal dianggap sebagai praktik bidah yang dibenci oleh Islam. Maka, kearifan lokal harus dihapuskan, dan wajah Islam Indonesia harus persis seperti ekspresi keislaman di Timur Tengah yang diklaim paling sesuai ajaran Nabi Muhammad.
Penjajahan mental itu dilakukan melalui pendekatan kultural dan strategi hegemoni media. Penjajahan mental tidak dilakukan melalui ancaman agresi militer. Melainkan melalui propaganda yang masif dan terstruktur di media sosial. Narasi-narasi untuk mendelegitimasi Pancasila, demokrasi, dan kearifan lokal itu disebarkan melalui produk-produk budaya populer digital seperti meme, siniar, vlog, film, video pendek, dan sejenisnya.
Target propagandanya pun jelas, yakni kalangan milenial dan generasi Z. Inilah bentuk penjajahan mental terselubung yang sebenarnya dilakukan dengan skenario dan rencana yang matang. Gerakan trans-nasional yang menjadi sponsor penjajahan gaya baru ini membangun jaringan dan menyusun strategi secara sistematis.
Mereka menguasai algoritma media sosial dengan menggandeng para influencer medsos. Mereka mempropagandakan paham radikal-ekstrem tidak secara eksplisit, melainkan dengan cara-cara halus. Mereka mengamplifikasi pesan kebencian dan kekerasan di dunia maya dengan memakai simbol-simbo yang populer di kalangan anak muda milenial dan gen Z.
Penjajahan mental melibatkan perang narasi di media sosial. Medsos hari ini merupakan battle ground antara paham nasionalisme versus trans-nasionalisme. Siapa yang narasinya paling kuat, dialah yang mendominasi jagat maya dan tampil sebagai pemenang. Maka, perjuangan kita di usia NKRI ke-80 ini adalah melawan penjajahan mental berkedok gerakan keagamaan trans-nasional.
Perjuangan generasi hari ini bukan mengangkat senjata, atau bergerilya melawan tentara penjajah. Melainkan membangun narasi kebangsaan dan keagamaan yang solid di media sosial. Agenda generasi hari ini bukan perang fisik mempertahankan atau merebut kembali wilayah teritorial yang diakuisisi penjajah. Melainkan perang intelektual, adu narasi, dan pertarungan ideologi demi mensterilkan ruang digital yang kadung didominasi narasi radikal-ekstrem.
Perang melawan gerakan keagamaan trans-nasional adalah kewajiban generasi bangsa yang hidup di abad digital ini. Layaknya perang, kita tentu butuh strategi jangka panjang dan dukungan penuh semua pihak. Dari sisi keagamaan, kita perlu memperkuat paradigma moderasi beragama di kalangan umat Islam. Paradigma moderat harus menjadi narasi arus-utama di media sosial, menggeser narasi keagamaan radikal.
Dari sisi kebangsaan, kita harus menumbuhkan kembali kebanggaan akan identitas nasional dan jati diri Nusantara. Generasi sekarang harus memiliki pemahaman dan kebanggaan akan sejarah bangsanya sendiri dan para pahlawannya sendiri. Hal ini penting di tengah maraknya upaya glorifikasi sejarah dan kepahlawanan bangsa asing oleh gerakan trans-nasional.
Di usia negara yang ke-80 ini, hakikat kemerdekaan bukan sekedar menegakkan kedaulatan wilayah teritorial, namun juga menjaga kemandirian pikiran, merawat kebanggaan terhadap identitas nasional, dan memperkuat komitmen terhadap pelestarian kearifan lokal. Menjadi individu merdeka di era sekarang adalah menjadi manusia Indonesia yang bangga pada sejarah bangsanya, adaptif pada kebudayaan Nusantara, dan setia pada ideologi bangsa.