Di tengah-tengah belenggu hegemoni global, tentunya kehadiran pendidikan karakter sangatlah penting dalam upaya mengatasi berbagai persoalan degradasi moral. Dalam ajaran Islam, yang secara populer disebut pendidikan akhlak, banyak diulas tentang pendidikan karakter. Bahkan, dalam hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah dan Anas Ibnu Malik berbunyi, innamabu’itstu li utammima makarimal akhlaq, Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak (karakter). Ini sangat jelas bahwa pendidikan karakter adalah orientasi utama dalam dakwah Rasulullah SAW diutus ke muka bumi ini.
Telah diketahui bahwa pesantren sangat lekat dengan pendidikan karakter yang memiliki ciri khas berbeda dengan institusi pendidikan lainnya. Pesantren memuat filosofi, sejarah, konsep, kontent, intrumen, serta praktikal pendidikan karakter, yang kesemuanya bermuara pada Al-Qur’an. Sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, tentu peranan pesantren sangatlah besar dalam upaya membangun karakter bangsa. Tidak heran, jika eksistensi pesantren tetap bertahan hingga sekarang.
Pendidikan karakter dalam Al-Qur’an dipetakan ke dalam tiga ranah, yaitu sikap, tindakan, dan keyakinan. Sikap dalam mendidik ditunjukan pada kompetensi bijaksana (karakter Luqman, Q.S. [31]: 12-19), sabar (karakter Nuh, Q.S. [11]: 42-46). Karakter tindakan mendidik ditunjukkan dengan sikap demokratis (karakter Ibrahim, Q.S. [37]: 102-107), dialogis dan juga psikologis (karakter Ibrahim dan Yakub, Q.S. [37] 102-107); Q.S. [11]: 17-18, 63-67, dan 81-87). Adapun karakter keyakinan memfokuskan pada dasar gerak pendidikan pada aspek transendensi-intuitif (karakter Maryam dan Zakariya, Q.S. [3]: 33-37), serta masih banyak ayat-ayat karakter lainnya.
Baca juga :Memperkuat Peran Guru dalam Pendidikan Karakter
Kalau kita kuliti, pesantren menyimpan banyak khasanah pendidikan karakter. Menurut Mustafied, dkk (2013) yang mengkaji pendidikan karakter menurut beberapa ilmuan besar Islam, di antaranya Ibnu Miskawaih. Ilmuan ini berpendapat bahwa akhlaq merupakan bentuk jamak dari khuluq yang secara etimologis, akhlak adalah kondisi jiwa manusia yang mendorong dalam melakukan perbuatan secara spontanitas. Keadaan tersebut dapat berupa fitrah yang alami sejak lahir (al-thab’). Namun, juga bisa berupa hasil pembiasaan (al-sajiyyah).
Lebih lanjut, dalam membentuk dan mendidik akhlak (karakter), manusia harus mengenali terlebih dahulu jiwanya sendiri, potensi dan karakteristiknya, dan juga daya (al-quwwah) yang dimilikinya. Dengan itu, manusia akan dapat mencapai kebahagiaan yang hakiki. Ibnu Miskawaih juga menjelaskan, bahwa jiwa manusia mempunyai tiga bagian. Bagian pertama, yang berkaitan dengan proses berpikir (al-fikr), melakukan observasi (al-nadzhar) dan memberikan pertimbangan (al-tamyiz) segala realita.
Bagian kedua, terepresentasikan dalam amarah (al-ghadlab) dan keberanian (al-iqdam). Adapun bagian ketiga, yang menjadikan seseorang mempunyai dorongan hawa nafsu (al–syahwat). Ketiganya memiliki kelebihan masing-masing, tergantung seseorang menyikapinya, melalui pengaturan, pembiasaan, dan juga pendidikan, yang semuanya disebut daya (al-quwwah).
Daya (al-quwwah) ini menurut Miskawaih diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu pertama kebinatangan (al-quwwah al-bahimiyyah) atau daya dorongan keinginan (al-quwwah al-syahwatiyyah), di mana instrumen daya ini ialah liver (al-kabid). Kedua, adalah daya kebuasan (al-quwwah al-sabu’iyyah) atau daya amarah (al-quwwah al-nathiqiyyah) di mana instrumen pokoknya itu akal (al-dimagh).
Manusia cenderung dikuasai oleh al-quwwah al-bahimiyyah dan al-quwwah al-syahwatiyyah. Namun, apabila kedua daya tersebut diimbangi dengan daya berpikir, maka akan melahirkan sifat-sifat baik, seperti kebijakan (al-hikmah), kehormatan (al-‘iffah), berani (al-saja’ah), dan adil (al-adalah).
Konsep pendidikan akhlak menurut Ibnu Maskawaih tersebut sedikit banyak di dalam mengispirasi pendidikan akhlak di pesantren. Telah diketahui bahwa, di pesantren sejak kelas ibtida’, bahkan i’dad’, senantiasa ada materi pelajaran akhlak. Kalau kita tilik tradisi di pesantren, semakin tinggi tingkatan kelas, semakin tinggi pula kitab akhlak yang dikaji, yang berpuncak pada kajian tasawuf.
Jika membuka lembaran kitab dasar akhlak yang populer di pesantren, yakni akhlaq lil-baniin atau lil banat, akan disuguhi adab-adab praktis yang sangat banyak. Syaikh Umar bin Ahmad Barja, penulis kitab tersebut membagi akhlak menjadi dua, yaitu akhlaq al-hasanah dan akhlaq al-syayi’ah. Manusia dianjurkan menjauhi akhlaq al-syayi’ah dan menghiasi diri akhlaq al-hasanah melalui proses pendidikan karakter.
Begitu juga, jika membuka kitab ta’lim al-muta’lim karangan Imam Al-Zanrnuji. Dalam kitab ini disebutkan akhlak yang harus dimiliki oleh peserta didik dalam mencari ilmu, pertama adalah akhlak kepada Allah SWT, yaitu senantiasa mengharap ridha Allah SWT, bersyukur, dan wara’. Kedua, akhlak kepada orang tua, untuk patuh dan hormat. Ketiga, akhlak kepada guru, untuk selalu sopan dan menghargainya. Keempat akhlak pada teman dalam bergaul. Kelima, ialah akhlak kepada dirinya sendiri menjaga kesehatan dan memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani.