Meski konsep nation-state merupakan konsep sah NKRI, tapi masih saja ada pihak-pihak yang menggugatnya. Terutama sekelompok orang yang mengaku beragama Islam yang suka menggaungkan konsep khilafah, mereka menganggap nation-state dan Islam adalah dua hal yang berbeda secara diametral. Tak hanya itu, ia juga menganggap Pancasila, NKRI dan demokrasi adalah thaghuut yang tidak layak dianut. Padahal, jika kita mau menyelami sejarah Nusantara secara lebih jauh, antara Islam dan nation-state sebenarnya sudah menyepakati kata ‘kompromi’. Lalu, masih bijakkah kita menghadapkan secara vis a vis antara konsep nation-state dan Agama?
Sejarah Politik Kemerdekaan
Sejarah politik di Indonesia mencatat bahwa antara konsep Islam dan nation-state pernah mengalami dialektika yang sangat dinamis. Menjelang kemerdekaan, dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), secara umum terdapat dua kubu yang saling berhadapan, yakni kubu Islam dan kubu nasionalis. Kubu pertama diwakili oleh tokoh-tokoh Islam di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH Abdul Kahar Muzakkir (Muhammadiyah), M. Natsir (Masyumi) dan KH Wahid Hasyim (NU). Sedangkan kubu nasionalis dimotori oleh Soekarno, Hatta, dkk.
Dua kubu yang ada tersebut dilabeli dengan Islam dan nasionalis disebabkan oleh pandangan dan cita-cita politik mereka berkaitan dengan format atau konstruksi Negara Indonesia merdeka nantinya (Nasih, 2012). Disebut sebagai kelompok Islam karena mereka menginginkan Indonesia merdeka diformat sebagai negara-Islam atau setidaknya menjadikan “Islam sebagai dasar negara”. Sedangkan kubu seberangnya disebut nasionalis karena mereka menginginkan Indonesia merdeka dikonstruksi sebagai negara-kebangsaan atau negara bangsa (nation-state).
Di tengah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), pada 29 Mei – 1 Juni 1945, Natsir dan Kasman Singodimedjo bersikukuh untuk mengaktualisasikan Islam sebagai falsafah negara. Singodimedjo beranggapan bahwa Islam menjadi bagian penting dari tradisi berbangsa dan bernegara warga Indoensia. “Dengan alasan-alasan universal maka kita sampai pada pengakuan adanya kedaulatan hukum Tuhan. Dan karena hukum Tuhan itu agama, maka pengakuan itu berarti pengakuan kepada kedaulatan agama, maka pengakuan itu berarti pengakuan kepada kedaulatan agama. Dengan alasan-alasan dialektis-indonesianis maka kita sampai pada pengakuan bahwa agama di Indonesia yang kuantitatif dan kualitatif berpengaruh di Indonesia adalah Islam, karena Islam adalah faktor nasional Indonesia yang terpokok dan yang menguasaipsycheIndonesia,” ungkap Singodimedjo (2008: hal. 88).
Baca juga :Negara Kesatuan adalah Final
Perdebatan ini ditandai dengan peristiwa Piagam Jakarta, tentang tujuh kata yang menjadi representasi kepentingan kelompok yang mengusung Islam sebagai dasar negara secara formal. Akan tetapi, kubu nasionalis tetap beranggapan bahwa Islam sebagai dasar etik, yang tidak usah termaktub secara formal, akan tetapi menjadi bagian dari semangat keindonesiaan. Islam sebagai dasar moral, bukan secara kaku menjadi dasar hukum formal.
Melihat pandangan ini, jelas bahwa meski konsep negara-bangsa berasal dari Barat yang memang sekuler dan bahkan memang dimunculkan untuk melepaskan diri dari agama, tetapi kubu nasionalis menyempurnakannya dengan kemungkinan hidupnya religiusitas dalam sebuah negara-bangsa dengan tetap tidak menyatukan antara agama dan negara.
Dari sini nampak sangat jelas bahwa dikotomi antara nasionalisme (kebangsaan) dan Islam terjadi karena perbedaan pandangan tentang konstruksi negara yang hendak dibangun pada saat itu. Karena itu, kalau kita sekarang masih mendikotomikan antara nasionalis dan Islam bisa dikatakan sudah ketinggalan zaman. Sebab, orang yang nasionalis juga bisa berkarakter religius dan islami.
Belajar dari Natsir
Natsir sebagai salah satu tokoh Masyumi yang pernah memperdebatkan posisi Pancasila dan Islam dalam sebuah konstruksi negara. Bahkan, dalam dialektikanya, ia sempat bersikukuh ingin membangun NKRI menjadi Negara Islam. Namun, pada akhirnya ia menyepakati terbentuknya nation-state yang berdasar Pancasila. Menurut keyakinan Natsir, tidak suatu perumus pun yang akan setuju dengan suatu perumusan tentang Pancasila yang berlawanan dengan ajaran agama Islam. Maka, tak heran kalau Natsir kemudian mengatakan:
“ Pancasila adalah peryataan dari niat dan cita-cita kebajikan yang harus kita laksanakan, terlaksananya di dalam negara dan bangsa kita.”
Dari sini, orang-orang yang memiliki pandangan sempit tentang Islam dan nation-state bertentangan, perlu menilik lagi sejarah perdebatannya dalam masa proses kemerdekaan untuk memahami bahwa memaksakan Islam sebagai konstruksi NKRI akan berpotensi menimbulkan perpecahan kepada kebhinnekaan sebagaimana. Wallahu a’lam bish-shawaab.