Dari Milenial Rentan menuju Milenial Cerdas untuk Perdamaian Global

Dari Milenial Rentan menuju Milenial Cerdas untuk Perdamaian Global

- in Narasi
785
0
Dari Milenial Rentan menuju Milenial Cerdas untuk Perdamaian Global

Sejak bergulirnya era internet, penyebaran paham-paham radikalisme dan terorisme telah mengalami perubahan pola dengan mulai memanfaatkan jaringan sebagai basis penanaman ideologi yang mereka anut. Karenanya, kaum milenial (usia 13-34 tahun) sebagai komunitas yang paling akrab dengan media digital menjadi orang-orang paling rentan terpapar ideologi radikalisme dan terorisme.

Kader Potensial

Tidak dapat dipungkiri, kalangan milenial yang sekaligus pemuda merupakan aset berharga bangsa Indonesia. Artinya, mereka adalah kelompok yang diharapkan akan melanjutkan estafet perjuangan menegakkan kedaulatan NKRI. Dalam konteks ini, apabila banyak pemuda bangsa yang notabene akrab dengan dunia maya terpapar virus radikalisme, betapa masa depan bangsa Indonesia akan menjadi suram karena perpecahan, dan aksi-aksi teror yang juga bisa mengancam Indonesia dan negara-negara di berbagai belahan dunia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2018, Indonesia merupakan rumah bagi 63,82 juta pemuda (usia 16-30 tahun) dari total penduduk 267 juta jiwa. Artinya, seperempat warga negara merupakan kalangan orang-orang yang diharapkan menjadi pelopor kemajuan bangsa Indonesia. Bayangkan, apabila dengan jumlah tersebut, kita bisa mencetak generasi milenial nasionalis dan pejuang, bukan radikalis dan teroris, kita benar-benar akan mencapai masa Indonesia emas pada kisaran tahun 2030-2045.

Perlu dipahami, dalam setiap fase sejarah NKRI, lapisan kaum muda selain menjadi kader potensial bangsa, banyak pula yang telah menginisiasi perbaikan formasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mereka turut mewarnai dan menandai transisi dan mengisi lokus-lokus konfigurasi kepemimpinan di berbagai lini. Pergumulan dan tantangan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia merupakan pergumulan dan tantangan pemuda Indonesia (Daeli, 2017).

Kepemudaan atau konsepasy-syababjuga tidak luput dari bahasan teologi Islam. Wahyuningtiyas (2008) mengemukakan setidaknya pemuda memiliki tiga sifat dan sikap. Pertama, berani merombak dan bertindak revolusioner terhadap tatanan sistem yang rusak. Seperti kisah pemuda (Nabi) Ibrahim.

Kedua, memiliki standar moralitas (iman), berwawasan, bersatu, optimis dan teguh dalam pendirian serta konsisten dalam dengan perkataan. Seperti tergambar pada kisah Ash-habul Kahfi atau para pemuda penghuni gua. Ketiga, seorang yang tidak berputus-asa, pantang mundur sebelum cita-citanya tercapai. Seperti digambarkan pada pribadi pemuda (Nabi) Musa As.

Menjadi Milenial Cerdas

Narasi-narasi di atas memberikan pemahaman betapa mencetak kader milenial cerdas harus menjadi fokus utama. Karenanya, rumah-rumah dan institusi-institusi pendidikan harus menjadi tameng efektif untuk mendidik pemuda agar melek media digital. Hal ini bisa ditanamkan lewat budaya literasi yang tinggi agar tertanam spirit senantiasa bersikap toleran atas perbedaan pendapat dan terus mencari fakta kebenaran sesungguhnya sehingga tidak mudah terjebak dalam format ideologi tertentu. Mereka juga perlu diberikan pemahaman betapa perlunya persatuan di atas beragam kepentingan kelompok dan individu, serta betapa kekerasan apa pun alasannya harus dijauhi sejauh-jauhnya.

Karakter-karakter tersebut sangat diperlukan sebagai modal dalam gerakan membangun perdamaian global. Mengingat, narasi hoaks, provokasi, dan sebaran-sebaran di jagat maya yang mengarahkan pada ideologi radikal telah demikian marak tersebar di jagat digital. Tentu saja, karakter jagat maya yang tak terbatas (borderless) membuat sebaran narasi-narasi tersebut sulit diubah. Hanya dengan membekali diri menjadi milenial cerdaslah satu-satunya jalan untuk melawan segala bentuk propaganda negatif di dunia maya.

Selanjutnya, mengaktualisasikan fungsi generasi milenial sebagai garda terdepan perdamaian global harus digalakkan. Pemuda milenial merupakan orang-orang yang memiliki fungsi sebagai agent of change, agent of social control, dan iron stock, yang tentu saja apabila diaktualisasikan dengan sebaik-baiknya, mereka akan benar-benar berkontribusi positif dalam upaya deradikalisasi serta menjadi benteng kebhinnekaan yang kokoh.

Kontribusi positif ini bisa dilakukan melalui kiprah nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kegiatan-kegiatan kreatif yang menunjukkan spirit menjunjung tinggi persatuan dan perbedaan. Namun demikian, masifnya radikalisasi lewat jagat digital, membuat virtualisasi gerakan antiradikalisme dan antiterorisme menjadi tidak kalah pentingnya untuk dilaksanakan.Jagat maya harus dipenuhsesaki dengan konten damai dan sejuk yang tidak mengadu domba satu umat/ suku dengan umat/ suku lainnya.

Inilah tanggungjawab yang disematkan kepada seluruh generasi milenial yang notabene sudah akrab dengan beragam fitur di media digital. Untuk bersama-sama, menjadi penjaga perdamaian dunia dengan menyebarkan video /postingan-postingan damai dan bermanfaat baik. Hanya saja, yang tidak kalah penting adalah semua generasi digital harus saling bahu-membahu mewujudkan dunia digital yang ramah terhadap siapa pun. Tanpa itu, mustahil untuk mewujudkan perdamaian di jagat maya dan nyata.

Berjalan sendiri-sendiri dalam mewujudkan perdamaian global di era konektivitas tak terbatas seperti sekarang, justru akan membuka ruang untuk narasi terorisme dan radikalisme tetap ada di jagat maya. Dari itu, sinergi adalah salah satu kunci keberhasilan milenial cerdas mengawal perdamaian global. Wallahu a’lam.

Facebook Comments