Bangsa ini sedang bergelut menghadapi ujian dan musibah berupa tumbuh suburnya intoleransi dan kebencian di ruang publik. Pelbagai survei memperlihatkan adanya peningkatan intoleransi dari tahun ke tahun di Republik tercinta ini. Perdebatan dan prasangka antar netizen (warganet) di media sosial (media social) yang tak jelas ujung pangkalnya antara hoaks atau bukan, hingga interaksi sosial dalam kehidupan nyata yang muncul justru hanya narasi kebencian dan intoleransi sesama anak bangsa.
Sikap intoleran ini menurut Hunsberger (1995), adalah “prasangka yang berlebihan”, yang kemudian melahirkan apa yang disebut Gordon Allport (1991), sikap membenci kelompok lain tanpa adanya alasan objektif. Jika narasi intoleran ini terus menerus menyesaki ruang publik, maka sudah barang tentu menjadi alarm bahaya dan racun atas keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia di masa depan kian mengkhawatirkan, karena intoleransi dan kebencian menjadi pintu gerbang utama menuju aksi-aksi radikalisme dan terorisme.
Sungguh menyedihkan, bangsa yang dikenal paling majemuk di dunia dengan tradisi budayanya yang penuh toleran, ramah, religius, dan menjunjung tinggi nila-nilai kesopanan, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang beringas, bahkan tidak segan-segan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti aksi terorisme dan berbagai bentuk tindakan kekerasan lainnya. Nilai-nilai yang dahulu kita anggap agung, luhur, dan mulia, di zaman sekarang ibarat binatang langka yang hampir musnah ”mati suri” makin tak berdaya.
Aksi-aksi yang jauh dari nila-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab ini termaktub dalam laporan Setara Institute yang menyebutkan bahwa pada tahun 2018 lalu, narasi intoleransi memenuhi wajah keindonesiaan kita. Pada tahun yang sama, Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga merilis bahwa intoleransi agama di Indonesia, juga dalam aspek politik, semakin meningkat sejak tahun 2016. Peningkatan ini menurut LSI tercermin dari semakin banyaknya masyarakat muslim yang menolak jika non-muslim menduduki posisi di pemerintahan.
Baca Juga :Nasionalisme; Toleransi Agama dan Politik Kemanusiaan
Paparan hasil riset Setara Institute for Democracy and Peace (SIDP) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga hampir sama dengan laporan The Wahid Foundation. Pada laporan bertajuk “potensi intoleransi terhadap kelompok yang tidak disukai”, tampak terlihat bahwa mayoritas muslimin dan muslimah bersikap intoleran terhadap kelompok yang tak disukai (57,1 persen). Jumlah ini meningkat dibanding survei pada tahun 2016 dengan angka intoleran sebesar 51,0 persen.
Ironisnya lagi, intoleransi dan kebencian sudah menjangkiti tunas-tunas muda bangsa di ruang pendidikan kita. Hasil survei yang dirilis oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) 2018, menyebutkan bahwa 23,4 persen mahasiswa dan 23,3 persen siswa SMA di Indonesia memiliki pandangan intoleran serta menyatakan siap berjihad untuk menegakkan khilafah. Tak heran jika kemudian Badan Intelijen Negara (BIN), menyatakan bahwa 39 persen mahasiswa di 15 provinsi sudah terpapar radikalisme sebagai hasil akhir dari sikap intoleran dan kebencian.
Menebar Kasih Sayang
Ada beberapa langkah untuk membangun sikap toleransi dan kasih sayang di antara sesama anak bangsa. Pertama, intoleransi dan kebencian dapat diredam dimulai dari dunia pendidikan. Meskipun, institusi pendidikan dalam banyak penelitian juga acap kali ikut berkontribusi menjadi ladang bersemai lahirnya sikap intoleransi dan ekstremisme (Salim, 2015). Menanamkan nilai-nilai toleransi sejak dini, dimulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi wajib menanamkan nilai-nilai cinta kasih, sekaligus saling menghormati dan menghargai antar komunitas, lintas agama, etnik, suku dan budaya.
Kedua, bangsa ini harus dalam satu bingkai semangat “Bhinneka Tunggal Ika”, bersatu dalam keragaman suku, ras, agama, maupun adat istiadat. Semangat pluralisme sebagai karakteristik khas Indonesia ini harus disebarkan dan ditanamkan sejak lahir kepada setiap individu bangsa Indonesia. Semangat kedaerahan atau asal-usul etnis bukan alat untuk bersikap saling membenci, tetapi sebagai spirit untuk saling mengenal dan saling menghormati dan menghargai (tasamuh) satu sama lain.
Ketiga, pemerintah harus menindak dengan tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap aksi-aksi kekerasan yang dapat mengancam keberagaman dan toleransi, termasuk mengontrol organisasi massa yang acap kali menyebarkan ujaran kebencian (hate speech) dan intoleran.
Keempat, pemerintah dan ormas Islam moderat harus seirama dalam menanggulangi narasi intoleransi dan kebencian. Hal ini bisa dilakukan lewat jalur pendidikan, kesehatan, sosial-budaya, dan lain sebagainya, demi merawat kebhinekaan dan sikap toleransi kita dalam lanskap kesatuan dan persatuan bangsa dalam wujud kesejateraan yang ber-Ketuhanan. Semoga! Wallahu A’lam bi al-Shawab.