Publik sedang heboh oleh kemunculan perkumpulan kerajaan Keraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo Jateng, juga perkumpulan Sunda Empire di Jawa Barat. Fenomena munculnya kelompok yang memanfaatkan imajinasi kejayaan masa lalu untuk merekrut orang bergabung tersebut semakin menyadarkan kita, betapa hari-hari ini banyak orang terjerumus dalam pandangan irasional yang menafikan nalar sehat.
Keraton Agung Sejagat (KAS) diklaim sebagai kerajaan atau kekaisaran dunia yang muncul karena telah berakhirnya perjanjian 500 tahun sejak hilangnya Kemaharajaan Nusantara, yakni imperium Majapahit pada 1518 sampai 2018. KAS dideklarasikan dan dipimpin dua orang yang mengaku sebagai raja dan ratu. Mereka berhasil merekrut sekitar 450 pengikut, sebagian diberi jabatan seperti mahapatih, bendahara dan resi keraton. Dikabarkan, para pengikut KAS wajib membayar iuran, diberikan seragam kerajaan, dan dijanjikan iming-iming akan mendapatkan kehidupan lebih baik dengan gaji besar dalam bentuk dolar.
Kelompok Keraton Agung Sejagat semakin meresahkan masyarakat dan pada Selasa (13/1/2020), “raja” dan “ratu” Keraton Agung Sejagat akhirnya ditangkap Polisi. Mereka terjerat pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong yang mengakibatkan keonaran serta pasal 378 KUHP tentang penipuan (tirto.id, 17/01/2020).
Kemunculan perkumpulan atau sekte yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik, kekayaan, pangkat, jabatan, dan sebagainya, dengan cara-cara irasional dan instan, sebenarnya bukan hal baru. Kita ingat kemunculan kerajaan ubur-ubur di Serang, juga sekte penghapus utang di Cirebon. Melalui berbagai tipu daya, mereka berhasil merekrut banyak anggota dengan iming-iming mengatasi persoalan-persoalan atau sesuatu yang besar dengan cara yang instan.
Pola yang hampir mirip juga bisa kita cermati dari perekrutan anggota kelompok radikalisme atau ekstremisme agama. Jika kelompok Kerajaan Agung Sejagat yang baru-baru ini ramai menggunakan memori lama masyarakat kita akan kejayaan masa kerajaan, maka kelompok radikalisme agama seringkali menggunakan iming-iming mengembalikan kejayaan agama di masa lalu, hingga bidadari surga, untuk menarik anggota.
Baca Juga :Bergesernya Paradigma Kosmologis Jawa
Melalui retorika, narasi, hingga propaganda mengembalikan kejayaan masa lalu, banyak orang akhirnya terjerumus dan menjadi bagian dari kelompok-kelompok tersebut, meski harus berbuat kekerasan, meresahkan masyarakat, mengeluarkan biaya tak sedikit, bahkan hingga mengorbankan nyawa sekalipun. Terbukti, puluhan ribu orang tergabung dalam kelompok-kelompok radikal seperti ISIS dari berbagai negara di dunia.
Menolak mentalitas instan
Melihat kondisi tersebut, kita semakin disadarkan pentingnya memerihara sikap kritis dalam menyikapi segala sesuatu. Nalar kritis adalah hal mendasar yang mesti kita miliki agar tak gampang tergiur rayuan atau iming-iming kekayaan, solusi-solusi hidup, pangkat, juga kejayaan dengan cara instan. Berbagai persoalan hidup jangan sampai membuat kita terjerumus jalan yang melenceng, yang membuat kita kehilangan nalar rasional yang menjadi bagian penting dalam diri kita sebagai manusia yang memiliki akal.
Mereka yang terjerumus menjadi anggota perkumpulan kerajaan fiktif, misalnya, ingin mendapatkan kejayaan, kekayaan, atau kehidupan yang lebih baik dengan cara yang instan. Meski harus mengeluarkan biaya tertentu dan mengikuti berbagai arahan dan prosesi tak masuk akal sekali pun. Di sinilah pentingnya kita untuk memiki pemikiran kritis agar tidak terjebak pada mentalitas instan dan tergiur janji-janji sama sekali tidak masuk akal.
Menurut psikolog Universitas Indonesia Ivan Sujana,orang-orang yang mudah tergiur biasanya memiliki beberapa karakteristik kepribadian. Seperti mudah dipengaruhi atau mudah tersugesti, lugu atau naif, dan kurang berpikir kritis. Karakteristik semacam ini membuat orang mudah percaya mengikuti arahan pemimpin kelompok-kelompok tertentu. Di samping itu, Ivan juga mengatakan bahwa di zaman yang serba instan ini banyak orang menjadi lebih impulsif. Dalam arti, ingin cepat mendapatkan hasil tanpa mau bersusah-payah menjalani proses (detik.com, 17/01/2020).
Orang-orang bergabung menjadi anggota kerajaan fiktif, mengimani narasi-narasi delusif tentang kejayaan masa lalu, dan dengan rela membayar biaya tertentu, dan mengikuti ritual-ritual tertentu demi mendapatkan apa-apa yang dijanjikan: penghasilan besar, kejayaan, dan kehidupan lebih baik. Dalam konteks bergabungnya orang ke kelompok radikal-terorisme, fenomena mentalitas instan tergambar dari mereka yang tergoda rayuan masuk surga, meski dengan cara perang, menciptakan keresahan sosial, perpecahan, hingga melakukan pembunuhan terhadap sesama manusia.
Kita memang hidup di era yang serba instan, sebab perkembangan pesat di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Segala sesuatu menjadi serba mudah dan cepat berkat teknologi. Tapi zaman yang serba instan jangan sampai membuat kita terjerumus dalam mentalitas instan: gegabah mempercayai, mengikuti, dan melakukan hal-hal yang menafikan nalar, hati, dan perasaan. Setiap pencapaian butuh proses. Termasuk kondisi hidup yang lebih baik, masyarakat yang makmur dan sejahtera, semua butuh proses yang harus selalu kita upayakan bersama.