Saya kira tak sekedar bahwa Pancasila tak bertentangan dengan Islam Nusantara. Orang perlu mengetengahkan bukti bahwa nilai-nilai Islam Nusantara juga sudah menjiwai Pancasila. Salah satu hal yang pokok adalah bahwa Islam Nusantara tak dapat dilepaskan dari dinamika yang terjadi pada tingkat lokal: sejarah, pergeseran nilai-nilai, kondisi sosial-politik, dan seterusnya. Tapi, tak berarti konteks lokal itu, secara substansial, menyebabkan Islam Nusantara tak dapat berlaku universal.
Saya pribadi berpendapat bahwa budaya itu tak sebagaimana yang dimaknai oleh antropologi klasik: warisan yang berkaitan dengan masa silam. Berbicara budaya adalah berbicara sebuah proses di mana pada fase-fase tertentu terjadi, untuk meminjam istilah Thomas Kuhn, “pergeseran paradigma” (paradigm shift). Seumpamanya, yang pernah saya teliti, pergeseran paradigma di bidang tasawuf dan tarekat (Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, 2011).
Sebelum tarekat-tarekat akhlaqi hadir di pesantren-pesantren Indonesia, pada akhir abad ke-17 hingga 18, tarekat Syattariyah yang bercorak filsafati telah mewarnai terlebih dahulu persinggungan Islam dengan budaya-budaya lokal. Karena itulah Martin Van Bruinessen pernah menyatakan bahwa Syattariyah menjadi salah satu tarekat yang paling mempribumi (Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, 1995).
Secara teologis, tasawuf yang bercorak filsafati sudah pasti terpengaruh oleh pemikiran Ibn ‘Arabi tentang wihdatul wujud. Demikian pula tarekat Syattariyah, meski di Aceh Abdurrauf al-Singkeli tak pernah berkonflik dengan Nurudin al-Raniri, tapi dalam salah satu karyanya ia kentara terpengaruh Ibn ‘Arabi ketika menjelaskan eksistensi alam dalam kaitannya dengan Tuhan (Islam Nusantara dan Batas Imajinasi Sebuah Bangsa, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net). Karena itulah, pada tataran etis (bukannya metafisis), paham wihdatul wujud melahirkan paham wihdatul adyan (kesatuan agama-agama).
Saya mengartikan doktrin wihdatul adyan bukan sebagai sebentuk agama formal sebagaimana yang dikhawatirkan kebanyakan orang selama ini tentang percampuran akidah. Tapi, wihdatul adyan adalah lebih pada apa yang di era modern dikenal sebagai “agama sipil:” sebuah titik-singgung agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan (kapitayan) tentang hal-hal yang sifatnya etis dan sosial. Atau secara sederhana, agama sipil adalah perihal adab antara sesama warganegara, warganegara pada negaranya, dan negara pada warganegaranya.
Dengan demikian, dalam perspektif Islam Nusantara, Pancasila adalah sebentuk agama sipil tersebut. Sesanti yang dicengkeram oleh kuku Garuda, “Bhinneka Tunggal Ika,” melambangkan konsep wihdatul adyan yang merupakan derivasi dari konsep wihdatul wujud. Karena, dalam kitab Sutasoma, konteks sesanti “Bhinneka Tunggal Ika” adalah keberagaman agama, kepercayaan (kapitayan), dan pandangan di era Majapahit.
Seumpamanya saja perihal nilai-nilai humanisme sebagaimana yang termaktub dalam sila II: “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” Hal ini adalah sebuah jaminan tentang hak-hak individual, termasuk hak milik pribadi, dan konsep HAM. Sebagaimana nilai-nilai keislaman yang diteladankan oleh kanjeng nabi Muhammad (Muhammad, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net), yang kemudian diikuti pula oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari (Prajoerit Pembela Tanah Air, 1943), yang melahirkan sikap bela diri dan pada akhirnya bela negara. Dengan demikian, Pancasila sama sekali tak bertentangan dengan nilai-nilai Islam Nusantara, bahkan, secara historis dan konseptual, ia sendiri menjadi salah satu perbendaharaan Islam Nusantara. Dan hal itu berarti, konteks lokal Pancasila dan Islam Nusantara tak menyebabkannya tak dapat berlaku universal. Karena, nilai-nilai kemanusiaan ataupun nilai-nilai lainnya baik yang dikandung oleh Pancasila maupun Islam Nusantara bersifat universal.