Peran BNPT Dalam Menghadapi Ancaman Bioterorisme

Peran BNPT Dalam Menghadapi Ancaman Bioterorisme

- in Narasi
1787
0
Peran BNPT Dalam Menghadapi Ancaman Bioterorisme

Sejarah tentang terorisme telah dimulai dan berkembang sekitar abad 19 hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Terorisme dianggap sebagai cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. Meski istilah teror dan terorisme baru mulai populer pada abad ke-18, namun fenomena yang ditunjukannya bukanlah hal baru. Terorisme terus menimbulkan ancaman signifikan terhadap perdamaian dan keamanan, hak asasi manusia, dan pembangunan berkelanjutan di berbagai kawasan di seluruh dunia.

Dinamika perkembangan global dengan ditandainya ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak negara berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya Terorisme. Pemanfaatan perkembangan dan inovasi dunia teknologi informasi menyediakan kemungkinan baru bagi para teroris. Kemajuan teknologi informasi khususnya ruang siber yang dianggap sebagai lingkungan yang serba terbuka, menjadi tempat istimewa bagi para teroris untuk menemukan sumber daya baru serta memanfaatkannya sebagai aktivitas propaganda. Meskipun pandangan terorisme gaya barupun masih menerapkan “the philosophy of the bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan muncul sebagai jawaban atas aksi yang lebih efektif. Karakteristik yang terkandung didalamnya seperti adanya maksimalisasi korban secara sangat mengerikan, keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin dan serangan yang tidak pernah bisa diduga karena sasarannya bersifat random masih menjadi ciri khas yang dapat kita temui.


Penelitian yang dilakukan Gabriel Weimann berjudul Terrorism in Cyberspace: The Next Generation menunjukkan bahwa masih ada peningkatan muatan-muatan terorisme di internet secara signifikan sejak 1998-2015, jumlah situs web yang berisi materi teroris terus mengalami peningkatan. Maraknya pembahasan mengenai COVID-19 di media maupun website menimbulkan pro kontra maupun keresahan di masyarakat. Apalagi muncul juga pandangan yang dihubungkan dengan teori konspirasi sehingga menimbulkan kecurigaan mengenai adanya senjata biologi yang tidak lepas dari persoalan isu keamanan global pada konteks teknologi persenjataan, khususnya persenjataan biologi. Dalam keamanan global kontemporer, hal ini dikhususkan dengan ancaman non-militer yang dihubungkan dengan wabah penyakit dan/atau bercirikan non-konvensional (Amaritasari, 2017).

Senjata Biologi sebagai Senjata Pemusnah Masal (WMD)

Tahun 2016, NATO, WHO, dan US Blue Ribbon melakukan pertemuan untuk mendiskusikan resiko yang baru-baru muncul terkait persenjataan biologi. Pada tahun yang sama, Sekjen PBB menginformasikan kepada Dewan Keamanan PBB bahwa “aktor non-negara secara aktif mencari senjata kimia, biologi, dan nuklir” (The Heague Center of Security Study, 2016). Penggunaan agen biologi sebagai senjata untuk menyebabkan ketakutan atau teror, gangguan ekonomi dan politik serta keresahan di kalangan rakyat untuk mencapai suatu tujuan politik, ideologi dan sosial merupakan ancaman biologi yang perlu mendapatkan perhatian penting (Patrick F. Walsh, 2018).


Senjata biologi bukanlah menjadi hal baru bagi negara-negara maju di dunia, akan tetapi teknologi dalam produksi dan pengiriman telah dikembangkan serta disempurnakan oleh negara-negara selama abad kedua puluh. Selama ribuan tahun, agen biologis telah digunakan sebagai instrumen peperangan dan teror selama ribuan tahun untuk menghasilkan rasa takut dan bahaya pada manusia.

Selain populasi manusia secara umum sebagai target yang mungkin, hewan dan tumbuhan juga telah menjadi target bagi mereka yang ingin menggunakan agen ini. Dengan keunggulan tidak terlihat, diam, tidak berbau, dan tidak berasa, sehingga agen biologis dapat digunakan sebagai senjata pamungkas karena murah untuk diproduksi dan mudah untuk dihilangkan rekam jejaknya. Hal itu dapat kita ketahui dari beberapa peristiwa, antara lain (i) Pada Perang Perancis dan India (1754–1767), penggunaan cacar secara sengaja terhadap suku-suku asli Amerika; (ii) Pada Perang Dunia I, Jerman mengembangkan anthrax sebagai senjata perang yang ampuh; (iii) Jepang melakukan percobaan perang biologis di Manchuria dari tahun 1932 hingga 1945 dengan menggunakan senjata biologis yang bernama B. anthracis, Neisseria meningitidis, Shigella spp., B. mallei, Salmonella typhosa, Vibrio cholerae, Y. pestis, virus cacar; (iv) Program perang biologis Amerika Serikat dimulai pada bulan April 1943 di Camp Detrick, Maryland (berganti nama menjadi Fort Detrick pada tahun 1956), dengan lokasi pengujian di Pulau Horn, Mississippi, dan Granite Peak, Utah dengan menggunakan B. anthracis dan Brucella suis; (v) Peristiwa di Brasil selama 1957–1963 mengingatkan pada teknik yang digunakan oleh Inggris melawan penduduk asli Indian Amerika pada abad ke-18. Dalam persidangan 1969, terungkap bukti tentang penggunaan yang disengaja dari cacar air, TBC, influenza, dan campak pada beberapa suku Indian di Mato Grosso; (vi) Perang 1962-1968 di Indo-Cina, pemberontak Vietkong menggunakan senjata biologis bentuk kasar. Mereka menggunakan perangkap tombak dan paku bambu tersembunyi (“tongkat jamur”) berujung dengan kotoran hewan atau manusia sebagai bahaya jebakan bagi pasukan

AS di Vietnam

Kasus serangan gas sharin Aum Shinrikyo di kereta bawah tanah Tokyo pada Maret 1995, yang menewaskan 12 orang dan melukai lebih dari 1.000 orang; sabotase dari pabrik kimia Union Carbide di Bhopal, India pada tahun 1984 (yang menyebabkan beberapa ribu kematian dari paparan metil isosianat); dan keracunan tahun 1996 oleh Khmer Merah di Kamboja (yang menyebabkan ratusan korban) juga menjadi fakta CBRN sebagai ancaman. University of Maryland, melalui Profil Insiden yang melibatkan CBRN oleh Basis Data Aktor Non-Negara (POICN), telah mencatat lebih dari 517 kasus pengejaran atau percobaan penggunaan senjata CBRN sejak tahun 1990, banyak di antaranya diyakini merupakan upaya untuk menyebarkan serangan skala WMD.

Dikeluarkannya purple notice oleh interpol pada tanggal 11 April 2020 di Kota Kebili, Tunisia atas keberhasilan Unit Nasional untuk Investigasi Kejahatan Teroris, Direktorat Kontra-Terorisme Garda Nasional Tunisia menggagalkan rencana aksi teror yang akan dilakukan oleh seorang teroris yang baru-baru ini dibebaskan dari penjara setelah keterlibatannya dalam kasus terkait terorisme. Rencana aksi teror yang akan dilakukan adalah dengan mempengaruhi jaringan teroris di Tunisia untuk berpura-pura menunjukkan gejala Covid-19 dan pergi setiap hari ke Unit Keamanan serta melakukan bersin dan batuk dengan sengaja, meludah di tangan mereka dan kemudian menyentuh benda sebanyak mungkin untuk menyebarkan penyakit di antara orang-orang yang bekerja disaat pandemi COVID-19.

Pandemi COVID-19

Ancaman mengenai senjata biologi ini kemudian memiliki hubungan dengan penyebaran virus, tidak terkecuali corona virus, ketika dihubungkan dengan kejadian pada tahun 2001 yang dikenal dengan “Amerithax Attack.” Waktu mungkin telah mengurangi ingatan akan serangan-serangan antraks tahun 2001 dan perasaan urgensi seputar upaya-upaya untuk mengidentifikasi penyerang. Serangan-serangan itu, yang melibatkan pengiriman lima surat antraks kepada para senator dan outlet media terkemuka, menewaskan lima orang dan membuat 17 orang lainnya sakit. Surat-surat antraks memainkan peran besar dalam meningkatkan kekhawatiran tentang kemungkinan penggunaan agen biologis oleh teroris dalam serangan terhadap negara (Ross, 2019).
Negara-negara mungkin sudah memiliki kemampuan dalam penanganan pandemi yang terjadi secara alamiah, akan tetapi mungkin tidak untuk pandemi yang terjadi

karena buatan sebab vaksin menjadi akan sulit ditemukan (The Heague Center for Security Studies, 2016). Sekalipun ada, membutuhkan waktu yang panjang. Demikianlah kecurigaan terhadap pandemi COVID-19 yang sampai saat ini belum ditemukan vaksinnya.

Virus korona memiliki sejarah panjang, dimana pada awal mulanya bahwa virus ini teridentifikasi dari penderita flu biasa. Lalu berkembang semakin ganas, menimbulkan penyakit yang dapat mengakibatkan kematian. Sejarah virus korona pada manusia dimulai tahun 1965, saat DA Tyrrell dan ML Bynoe dari Rumah Sakit Harvard, Inggris, mengisolasi virus dari saluran pernapasan orang dewasa dengan flu biasa. Pada waktu bersamaan dan setelah itu, para peneliti lain mendapatkan virus-virus dengan karakteristik mirip dari orang-orang yang terkena flu.

Akhir tahun 1960-an, Tyrrell memimpin sekelompok ahli virologi meneliti strain virus pada manusia dan sejumlah binatang. Virus itu, antara lain, virus bronkitis, virus hepatitis pada tikus, virus penyebab radang lambung pada babi. Semua virus itu secara morfologi mirip jika dilihat dengan mikroskop elektron. Kelompok virus tersebut lantas dinamakan virus korona berdasarkan bentuk permukaan yang mirip mahkota. Belakangan, korona resmi diterima sebagai genus baru virus.

Kajian Jeffrey S Kahn dan Kenneth McIntosh yang dimuat di the Pediatric Infectious Disease Journal, November 2005, menyatakan, korona menimbulkan infeksi saluran pernapasan berupa pneumonia pada bayi dan anak. Virus itu juga memicu asma pada anak-anak dan orang dewasa serta infeksi saluran pernapasan parah pada orang lanjut usia.

Selain itu, pada tahun 2002-2003 di China Selatan terdapat peristiwa yang menyebabkan seseorang mengidap sindrom pernapasan akut parah (severe acute respiratory syndrome/SARS). Epidemi SARS merupakan virus korona yang berasal dari hewan dan dilaporkan sedikitnya di 26 negara di Asia, Eropa, Amerika Utara dan Amerika Selatan terserang oleh virus tersebut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga membenarkan bahwa virus korona SARS (SARS-CoV) yang diidentifikasi pada 2003 diyakini berasal dari hewan dan diperkirakan bersumber dari kelelawar yang menular ke luwak lantas menginfeksi manusia pertama kali di Provinsi Guangdong, China, pada 2002. Gejala SARS mirip influenza, seperti demam, menggigil, lemah, nyeri otot, sakit kepala. Batuk kering, napas pendek, dan diare tampak pada minggu pertama dan kedua, kemudian menjadi parah secara cepat sehingga perlu perawatan intensif. Penularan virus dari manusia ke manusia lewat percikan cairan bersin dan batuk serta tinja umumnya terjadi di fasilitas kesehatan. Setelah dilakukan penerapan pengendalian infeksi yang tepat, akhirnya wabah SARS mereda.

Gelombang wabah virus korona berikutnya adalah Sindrom Pernapasan Timur Tengah (Middle East respiratory syndrome/MERS). Penyakit yang disebabkan virus MERS‐CoV ini diindetifikasi di Arab Saudi pada tahun 2012. Sumber virus ini adalah unta. Belum dipastikan rute penularan dari unta ke manusia. Yang pasti, wabah terjadi akibat penularan dari manusia ke manusia di fasilitas kesehatan.

Orang yang terinfeksi bisa tanpa gejala, tapi ada yang batuk ringan, demam, napas pendek, hingga gangguan pernapasan akut parah yang perlu ventilator, bahkan kematian. Virus ini umumnya menyebabkan penyakit parah pada orang lanjut usia, orang dengan kekebalan tubuh lemah, serta yang memiliki penyakit kronis seperti gangguan ginjal, kanker, gangguan paru, dan diabetes. Sejak September 2012, ada 27 negara di Asia, Afrika, Eropa, Amerika, melaporkan kasus MERS. Wabah besar terjadi di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Korea Selatan. Meski wabah sudah berhenti, kasus MERS masih terus terjadi. Hingga kini dilaporkan ada 2.494 kasus positif MERS dengan 858 kematian.

Kemudian muncullah wabah terbaru virus korona terjadi sejak akhir tahun 2019, bermula di Wuhan, Provinsi Hubei, China. Virus diduga bersumber dari kelelawar yang menular ke hewan lain sebelum ”melompat” ke manusia. Meski bentuknya mirip, virus ini memiliki perbedaan karakter sehingga dinamakan SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19 (penyakit akibat virus korona 2019). Sebagaimana infeksi korona lain, tampilan klinisnya dari tanpa gejala, gangguan pernapasan ringan, pnumonia sampai gangguan pernapasan parah, gagal ginjal serta kematian. Penularan juga lewat percikan cairan dari bersin dan batuk. Masa inkubasi sekitar 214 hari, rata-rata gejala tampak pada hari ke-5. Berbeda dengan SARS dan MERS yang menular saat penyakit mulai parah, pada Covid-19 orang sudah bisa menularkan pada tiga hari pertama kena virus.

Banyaknya praanggapan bahwa dunia memasuki fase baru yang tidak stabil muncul dimana-mana diiringi prediksi dari para ilmuwan dunia yang meyakini bahwa ancaman pandemi COVID-19 akan bertahan, mungkin selama bertahun-tahun. Corona virus menjadi sebuah pengujian besar terhadap kesiapsiagaan suatu negara atas suatu ancaman yang tidak hanya menguji sektor kualitas kesehatan, namun juga sektor lain yang terdampak akibat belum optimalnya kesiapan dalam mengantisipasi berbagai masalah yang ditimbulkan olehnya. Selain itu, COVID-19 ini dapat menimbulkan depresi hebat yang terlihat dari rantai pasokan yang terpecah-pecah, persediaan makanan menjadi tegang dan harga-harga naik. Kerawanan lain juga dimungkinkan akan muncul akibat dampak tersebut, seperti meningkatnya pengangguran dan kerawanan pangan, memperburuk adanya kesenjangan, menempatkan kerenggangan sistem yang besar, dan yang paling menakutkan selain dalam konteks kemiskinan dan kelaparan, tetapi juga dapat dengan cepat meningkat menjadi kerusuhan politik, kekerasan, dan konflik.

COVID-19 menempatkan status ancaman yang keras antar negara kembali menjadi sorotan. Persaingan geopolitik antara kekuatan besar cenderung memburuk karena ekonomi Amerika dan Cina menjadi kurang saling tergantung. Kawasan Eropa telah terpukul keras oleh virus ini dan memutus hubungan ekonomi kawasan Eropa antara yang lebih kuat dan lebih lemah. Muncul pula berbagai praanggapan dan pandangan masyarakat khususnya di Indonesia melalui sosial media, dimana salah satunya mengupas tentang kemungkinan adanya konspirasi. Terlepas apakah hal tersebut benar atau tidak, nyatanya bahwa dibutuhkan kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman tersebut saat ini.

Kesimpulan

Deskripsi upaya historis menggunakan penyakit dalam perang biologis ini dan pendemi COVID-19 yang terjadi secara global saat ini menggambarkan sulitnya membedakan antara epidemi yang terjadi saat ini secara alami dan adanya dugaan atau upaya penggunaan senjata biologi saat ini sebagai senjata pemusnah massal dan bioterorisme. Pilihan senjata biologi dianggap sebagai senjata pemusnah massal yang lebih tepat dan ancaman biologi yang dapat menimbulkan kepanikan diberbagai belahan dunia. Selain dapat merusak secara destruktif, dampak buruk yang dihasilkan juga bersifat masif sehingga dapat menimbulkan kecemasan/teror secara cepat penyebarannya memanfaatkan propaganda penularannya dari orang ke orang, penularan melalui kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh, juga aktivitas kulit dapat dimungkinkan seperti yang dikhawatirkan banyak kalangan saat ini dalam skenario senjata biologi dan kemungkinan bioterorisme.


Rasa cemas dan ketakutan yang muncul serta prediksi bioterorisme dengan senjata biologi, yang banyak menjadi perbincangan saat ini, menimbulkan tantangan tersendiri terhadap kesiapan/readiness lembaga yang memiliki peran dalam penanggulangan terorisme khususnya kesiapsiagaan nasional untuk menciptakan suatu kondisi siap siaga dalam mengantisipasi terjadinya tindak pidana terorisme sesuai dengan yang termaktub dalam UU No.5/2018. Kesiapsiagaan nasional merupakan suatu kondisi siap siaga untuk melalui proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan. Dalam mewujudkan kesiapsiagaan nasional melalui fungsinya, BNPT salah satu fungsinya dalam kesiapsiagaan nasional adalah pengoperasian Satuan Tugas (Satgas) dalam rangka penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang penanggulangan terorisme.

COVID-19 yang secara potensial dapat dimanfaatkan sebagai bioterorisme melalui dugaan penggunaan senjata biologi/biothreat sebagai bagian dari ancaman senjata kimia, biologi, radiologi dan nuklir (CBRN threat) yang terlihat dengan begitu signifikannya dampak yang dihasilkan oleh COVID-19 bagi kelangsungan dan ketahanan suatu negara serta keresahan dan kecemasan yang tinggi di masyarakat. BNPT sebagai Lembaga Negara yang memiliki fungsi kesiapsiagaan nasional dalam penanggulangan terorisme kiranya dapat mencermati fenomena yang terjadi saat ini. Hal itu memiliki arti yang sangat penting khususnya terhadap kesiapsiagaan nasional sebagai fungsi BNPT dalam penanggulangan terorisme khususnya pengoperasian Satgas, perlu terus dilakukan upaya dalam rangka peningkatan integritas kemampuan Satgas KBRN (Ki Nubika Pusziad, Yon 812 Bansus Sat 81 Kopassus, Denjaka dan Yon Taifib Marinir, Den 903 Bansus Sat Bravo 90 Paskhasau serta Densus 88 AT) yang ada dibawah operasional fungsi kesiapsiagaan nasional BNPT untuk selalu siap dalam menghadapi dinamika perkembangan ancaman khususnya ancaman KBRN dalam upaya penanggulangan terorisme.

Facebook Comments