Tulisan ini akan dimulai dengan pertanyaan dasar, di manakah muara benturan antara Pancasila dan paham Islam yang diyakini kaum radikalis Islam? benturan-benturan ditandai dengan ungkapan seperti “Pancasila bukan dasar Islam”, “berhukum itu pada al-Qur’an bukan pada KUHP”, dan “negara berdasar Pancasila adalah negara thaghut”.
Benarkah yang saling berhadapan adalah Pancasila dan Islam. Atau sebenarnya, yang saling berhadapan adalah Pancasila dan paham sebagian orang yang diklaim Islam seutuhnya?
Kalau memang yang berhadapan adalah Pancasila dan Islam, kenapa di berbagai belahan dunia banyak yang tidak setuju dengan kaum radikalis dalam menyebarkan agama Islam? padahal tujuan mereka sekilas amat mulia, yaitu menerapkan syariat Islam dan mempersatukan umat muslim. Dan kalau memang bukan antara Pancasila dan Islam, kenapa isu-isu yang dilontarkan berkaitan dengan sebagian ayat al-Qur’an yang tidak diterapkan oleh umat muslim. Seperti ayat yang memerintakan agar berhukum menggunakan al-Qur’an.
Paham Hakimiyah, Muara Radikalisme Dalam Islam
Saat bergelut dengan buku-buku yang mengupas aqidah kaum radikalis maka akan ditemukan istilah hakimiyah. Usamah sayyid dalam bukunya berjudul Islam Radikal menyatakan, pemikiran utama yang menjadi landasan semua konsep kaum radikalis adalah Paham Hakimiyah(Usamah, 2015). Paham ini berkaitan dengan surat al-Maidah ayat 44:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Ayat ini benar ada di dalam al-Qur’an dan menjadi landasan ulama untuk mewajibkan kaum muslim agar mengambil hukum sesuai dengan al-Qur’an. Namun perbedaan para ulama dengan Kaum Radikalis akan tampak saat menghadapi beberapa pertanyaan berikut ini: 1) Apabila ada orang yang tidak menerapkan ajaran al-Qur’an, tapi ia meyakini kebenaran al-Qur’an, apakah ia lantas menjadi kafir? 2) Kalau ada orang yang tidak mampu menerapkan ajaran al-Qur’an sebab suatu hal, apakah lantas ia dianggap menentang al-Qur’an dan lantas dianggap orang kafir?
Baca juga : Rekonsiliasi Islam dan Pancasila
Kaum Radikalis meyakini bahwa orang yang tidak menerapkan ajaran al-Qur’an meski sebenarnya ia meyakini kebenarannya, dan orang yang tidak mampu menerapkan ajaran al-Qur’an sebab suatu hal, dianggap menentang ajaran Allah dan berujung pada vonis kafir. Konsekwensinya adalah, Kaum Radikalis seakan menutup pintu toleransi bagi pelaku dosa. Pelaku dosa dianggap kafir dan tidak ada lagi strategi dakwah secara halus seperti yang diajarkan Nabi Muhammad untuk menghadapi orang yang lemah imannya atau belum memperoleh hidayah Allah.
Selain itu, orang tak mampu menerapkan ajaran al-Qur’an sebab suatu hal seperti berbenturan dengan interaksi sosial atau aturan pemerintah, ia juga dianggap kafir. Hal ini seakan menutup pintu pentingnya mengambil dampak buruk yang paling kecil (akhaffu dararain), saat berhadapan dengan prilaku yang baik pelaksanaannya atau meninggalkannya menimbulkan dampak buruk dalam kacamata syariat Islam. Seperti solat jum’at bagi penderita Corona yang dinyatakan positif. Manakah yang harus dipilih, tetap salat bersama kerumunan orang dengan konskwensi menulari, atau tidak salat dengan konsekwensi meninggalkan kewajiban?
Meluruskan Paham Hakimiyah
Benarkah pemahaman Kaum Radikalis terhadap surat al-Maidah ayat 44 tersebut? Apakah pemahaman tersebut sudah sesuai dengan tafsir dari ayat tersebut? Atau, kaum radikalis hanya menjadikan ayat tersebut sebagai pembenar keyakinan mereka semata? Marilah kita simak penjelasan ahli tafsir mengenai ayat tersebut:
Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya menyatakan, bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan orang yahudi. Tidak hanya itu, dua ayat lain dalam satu surat yang hampir mirip yaitu yaitu ayat 45 dan 47, kesemuanya dinyatakan oleh ibn katsir turun berkenaan orang non muslim. Imam Al-Alusi dalam tafsirnya juga mengatakan demikian. Bahkan beliau menegaskan bahwa ayat tersebut disalah gunakan kaum khawarij untuk mengkafirkan orang fasiq yang dalam hatinya membenarkan al-Qur’an. Padahal ayat tersebut hanya berkaitan dengan keyakinan semata.
Hanya Sayyid Qutub; tokoh radikalis Mesir yang menyatakan dalam tafsirnya, bahwa sudah tidak ada pertimbangan maslahah atau alasan tertentu dalam persoalan keharusan mengambil hukum dengan al-Qur’an. Manusia hanya diberi dua pilihan, kalau tidak mukmin maka kafir. Sehingga tidak ada tempat bagi orang muslim yang masih belum kuat imannya sehingga belum bisa secara menyeluruh mengamalkan ajaran Islam. Padahal maslahah atau alasan semacam menghindari mafsadah yang lebih besar, amat dipertimbangkan seperti yang ada dalam hadis nabi. Dan ini menjadi pertimbangan penting dalam soal berdakwah.
Paham Hakimiyah Bertentangan Dengan Strategi Dakwah Nabi Muhammad
Siapapun yang menyimak sejarah hidup Nabi Muhammad yang dengan halus mendakwahkan Islam di kalangan orang kafir, maupun diantara kaum munafik, keluarga kaum munafik serta muslim yang lemah imannya, akan setuju bahwa ada kejanggalan terhadap paham hakimiyah. Kalau memang paham hakimiyah benar adanya, kenapa Nabi Muhammad membiarkan sosok seperti Abdullah ibn Ubay hidup?
Kenapa saat ada orang yang hendak belajar Islam, Nabi mengajarkan Islam secara bertahap? Kenapa hanya solat saja yang diajarkan Nabi? Kenapa tidak sekalian zakat, puasa serta haji? Kenapa Nabi bersikap toleran dengan para penghinanya semacam penyair Hassan ibn Tsabit. Bahkan memberikan jubah beliau kepadanya? Apakah cara dakwah kaum radikalis itu benar berasal dari Islam?