Rekonsiliasi Islam dan Pancasila

Rekonsiliasi Islam dan Pancasila

- in Narasi
1821
1
Rekonsiliasi Islam dan Pancasila

Adalah suatu fakta, Islam pernah dihadapkan-hadapkan dengan Pancasila. Sikap antagonis Islam terhadap Pancasila bisa dilihat dari awal kelahiran Pancasila, keinginan agar Islam jadi dasar negara, penolakan penghapusan “tujuh kata”, perdebatan di Majelis Konstituante, sampai keinginan untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta.

Puncaknya adalah gerakan DI/TII Kartosoewirjo yang secara terang-terangan anti terhadap Pancasila, dan dianggap sebagai musuh negara. DI/TII memang sudah mati, tetapi anak-anak ideologisnya masih tetap menganggap Pancasila sebagai musuh agama.

Tren gerakan anti Pancasila sekarang dilakukan dengan secara sembunyi-sembunyi, dan tak jarang dibalut atas nama dakwah dan agama. Gerakan Khilafah HTI, NKRI Bersyariah ala PA 212, Negara Islam versi AD/ART FPI, dan menjamurnya Perda Syariah yang diinisiasi oleh partai/kelompok tertentu di daerah, buktinya nyata bahwa relasi Islam dan Pancasila masih belum selesai.

Berbagai Survei menunjukkan masih ada sikap antagonis terhadap Pancasila. Survie Cyrus Network tahun 2019 menemukan 4,7 % responden terang-terangan mendukung terbentuknya khilafah; 13 % responden menyatakan Indonesia harus berlandaskan syariat Islam karena merasa Islam adalah agama mayoritas.

Senada dengan itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri tahun 2017 sebanyak 19,4% aparat sipil negara (ASN) menyatakan tidak setuju pada Pancasila. Hasil survei lainnya, menyebut sekitar 3% personel TNI menolak Pancasila.

Baca juga : Upaya Kaum Radikalis Membenturkan Pancasila dan Ayat Hakimiyah

Di tahun yang sama, Kementerian Pertahanan pun mengatakan demikian, sekitar 23,4% mahasiswa menolak Pancasila dan setuju dengan jihad, sedangkan SMA sekitar 23,3% tidak setuju dengan Pancasila dan setuju dengan jihad. Sementara itu, 18,1% pegawai swasta mengatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila.

Data-data ini tentu perlu menjadi PR bagi kita bersama, bahwa slogan Pancasial sebagai dasar negara sudah final ternyata dalam praktiknya belum selesai juga, masih ada penolakan.

Pendekatan Partisipan

Untuk itu perlu kiranya format baru sebagai bentuk rekonsiliasi antara Islam dengan Pancasila, yakni upaya untuk mengampanyekan, mendamaikan, menyosialisasikan, mengaktualisasikan kepada khalayak bahwa Islam dan Pancasila saling mengisi dan saling mendukung.

Kerja-kerja kolektif mulai dari tingkat bawah sampai kepada pemerintah harus saling membahu untuk meminimalisir pertentangan antara Islam di satu sisi dengan Pancasila di sisi yang lain.

Upaya mendamaikan ini perlu dilakukan oleh setiap orang, semua organisasi, kelompok, partai, ormas secara menyeluruh. Inilah yang disebut dengan pendekatan partisipan, di mana semua komponen anak bangsa –tanpa pandang bulu –terlibat aktif untuk menemukan titik temu bersama-sama.

Partisipan itu harus ditempuh dengan beragam, multi, inter, dan trans-pendekatan dan melibatkan semua kalangan. Semua lini, aspek, pendekatan harus berpartisipasi untuk ikut menyosialisasikan bahwa Islam dan Pancasila bisa bergandengan tangan.

NU sudah sejak lama melakukan ini dengan istilah Kembali ke Khittah 1926 dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal. Bagi NU, Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia. Deklarasi hubungan Islam dan Pancasila dalam pandangan NU bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Lebih lugas lagi, Gus Dur secara gamblang mengatakan, Pancasila bukan agama, tidak bertentangan dengan agama, dan tidak ingin menggantikan agama.

Muhammadiyah pun menyatakan hal yang sama, bahwa Indonesia adalah darul ‘ahd wa al-shahadah, negeri kesepakatan bersama, yang mana Pancasila sebagai dasar negara harus di terima. Bagi Muhammadiyah, Pancasila tak perlu dipertentangkan dengan Agama, sebab dalam diri Pancasila ada nilai-nilai agama.

Kedua sikap organisasi agama terbesar ini cukup bagi umat Islam sebagai pijakan untuk terus mengampanyekan bahwa Pancasila itu senafas dengan Islam. Dan Islam bukan musuh terbesar Pancasila. Keduanya bersifat reprisokal, saling menguntungkan, dan saling mengisi.

Aktualisasi Diri

Sikap rekonsiliasi antara Islam dan Pancasila secara konseptual sudah digagas oleh banyak organisasi keagamaan. Upaya yang penting sekarang adalah aktualisasi diri dalam realita dengan tetap tidak mempertentangkan keduanya. Aktualisasi merupakan suatu bentuk kegiatan melakukan realisasi antara pemahaman akan nilai dan norma dengan tindakan dan perbuatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan aktualisasi Islam dan pancasila, berarti penjabaran nilai-nilai Islam dan pancasila dalam bentuk norma-norma, serta merealisasikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam proses realisasi itu, tidak ada lagi sikap anti, menolak, atau ingin menggantikan Pancasila. Umat Islam harus akomodatif dan menjadikan Pancasila sebagai landasan dalam merumuskan peraturan, kebijakan publik, dan paling utama mengejawantahkan dalam laku kehidupan bermasyarakat.

Perda syariah, menutup tempat ibadah, tidak mengakui keragaman, tindakan intoleransi, persekusi, dan diskriminasi terhadap agama/kelompok lain harus dihindari, sebab itu bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, dan menabrak semangat agama yang mengakui pluralitas dan perbedaan.

Sikap saling memahami dan saling memberdayakan harus jadi model dalam bersikap dan bertindak. Untuk itu sikap saling menegasikan dan saling bermusuhan harus dibuang jauh-jauh. Rekonsiliasi Islam dan Pancasila dalam laku itu sangat efektif apalagi jika didukung rekonsiliasi dalam tataran konsep. Paradigma rekonsiliatif dalam melihat relasi Islam dan Pancasila merupakan format baru dalam melhat kedudukan keduanya.

Facebook Comments