Radikalisme dan Semangat Siap Siaga Bela Negara

Radikalisme dan Semangat Siap Siaga Bela Negara

- in Narasi
3224
0
Radikalisme dan Semangat Siap Siaga Bela Negara

“Rawe-rawe rantas. Malang-malang putung”, siapa coba ynag tidak pernah mendengar slogan ini. Selain sering diajarkandalam setiap mata pelajaran di sekolah, slogan ini juga dengan mudahnya dapat dijumpai di tempat umum. Di taman, pinggir jalan, dan bahkan di badan kendaraan umum, seperti bus dan truk. Bersama dengan slogan “Jihad fi sabilillah” fatwa Kiai Hasyim Asyari, slogan “Rawe-rawe rantas, malang-malang putung” menjadi pelecut semangat bagi para pejuang kemerdekaan Indonesia dalam mengusir penjajahan.

Tak mudah memang, butuh setidaknya 300 tahun agar Indonesia mampu terlepas dari belenggu perjuangan. Dimana tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia mampu memproklamirkan kemerdekaannya. Meskipun sudah memproklamirkan kemerdekaanya, bayangan penjajahan masih saja menghantui bangsa Indonesia. Hingga kemudian masyarakat pribumi dipaksa untuk menahan gempuran agresi militer Belanda.

Kini, 75 tahun sudah Indonesia mampu mempertahankan kemerdekaanya. Maka dari itu, sudah kewajiban kita semua sebagai pewaris semangat perjuangan Founding Father bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun berbeda dengan perjuangan pahlawab bangsa terdahulu, kini bangsa Indonesia dihadapkan dengan bayangan penjajahan yang lain, salah satunya radikalisme.

Radikalisme Destruktif

Dewasa ini, paham radikalisme tidak hanya tumbuh subur di kalangan bawah yang minim akan pendidikan. Akan tetapi juga sudah menjalar ke dunia akademisi dan cedekiawan. Hal ini dapat dilihat dari pemaparan penelitian Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dimulai sejak satu dekade terakhir pasca Reformasi (Kompas, 19/2/2014).

Baca Juga : Kesiapsiagaan Nasional; Mewarisi Perjuangan Pahlawan, Menjaga Kemerdekaan Bangsa

Ironis memang, dunia akademis yang seharusnya mampu menjadi barisan pertama perlawanan terhadap radikalisme, justru harus menelan pil pahit. Dimana paham radikalisme destruktif ini tumbuh disana. Selain tumbuh subuh di kalangan mahasiswa, bayangan radikalisme destruktif ini juga membayangi kaum akademisi lain, seperti dosen dan birokrasi perguruan tinggi.

Sungguh ironis dan memprihatinkan, perguruan tinggi (PT) yang seharusnya merupakan institusi bagi pengembangan keilmuan dan sumber daya manusia, serta turut membantu dalam pembangunan bangsa terutama pembangunan mental dan kepribadian bangsa ang inklusif, toleran dan mengedepankan tenggang rasa, kini dalam kadar tertentu berubah fungsi menjadi lahan penyemaian paham yang membahayakan keutuhan negara.

Terlebih lagi, saat ini juga infiltrasi gerakan radikalisme agama mulai menyerang ormas yang ada di dalam masyarakat. Kita tentu dapat memahami mana saja beberapa ormas yang sangat jelas pola gerakan dan tindakan mereka yang sangat anarkis serta tak beda dengan pelaku teror yang menebar kebencian dan kekerasan atas nama agama. Walau kita tak menyebutnya secara verbal, tentu kita semua hampir pasti paham, ormas mana sajakah itu.

Bela Negara

Sebagai wujud keterlibatan defensif dan preventif dari berbagai potensi radikalisme yang sangat mengancam, ada baiknya program bela negara yang digagas pemerintah sejak beberapa waktu lalu perlu diapresiasi. Secara prinsipil program bela negara ini dapat menguatkan rasa kecintaan kita terhadap Indonesia yang sejatinya harus dilestarikan dengan berbagai ekspresi penjagaan dan perlindungan. Dalam konteks ini, agama menjadi pandu amal kebajikan yang bisa menguatkan sendi kehidupan berbangsa dan berwarga negara yang baik dan damai. Dan, agama menjadi pijar keadaban bagi tegaknya prinsip kemanusiaan yang tak hanya dibatasi oleh ego keumatan secara eksklusif,

Perspektif religius-humanis menjadi penting sebagai landasan bela negara. Sebab, gerakan radikalisme yang dilakukan oleh para pelakunya selalu menggunakan agama sebagai payung aksinya. Bahkan, menurut pandangan Ansyaad Mbai dalam bukuDinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia dan Keterkaitannya dengan Gerakan Radikalisme Transnasional,berbagai orang yang tertarik bergabung dengan pelaku radikalisme seperti ISIS banyak dilatari oleh motif keagamaan yang bernuansa fundamentalisme-radikalistik yang sangat digandrungi beberapa kalangan, terutama kaum muda yang masih labil.

Dalam pola religius-humanis, program bela negara mengabsorsi berbagai kajian dan bacaan keagamaan yang bernuansa kerahmatan dalam kurikulum pelatihannya. Setiap peserta program bela negara diajak berselancar ke dalam khazanah keagamaan yang berinterkoneksi dengan keilmuan lain agar memberikan wawasan yang luas, cara berfikir, dan cara pandang keagamaan yang moderat, toleran, dan inklusif.

Selain itu, setiap peserta juga distimulasi untuk merumuskan sebuah metode dan pendekatan baru yang komprehensif dalam memahami struktur pengetahuan keagamaan yang kontekstual. Hal ini perlu dilakukan agar peserta tidak terperangkap dalam kejumudan berfikir yang berpotensi sebagai tindakan yang otoriter, yang bisa jadi akan bermemorfosis pula sebagai embrio radikalisme.

Untuk melakukan pola religius-humanis ini, tentu berbagai akademisi, peneliti, dan kaum cendekiawan yang memiliki pengetahuan keagamaan mumpuni dan bernalar kritis-progresif perlu diikut sertakan sebagai instruktur dan pendamping dalam program bela negara. Keberadaan mereka menjadi penting, agar kesadaran religius-humanis bisa dipahami oleh setiap peserta sebagai rancang bangun sistem kepercayaan dan keyakinan keagamaan yang dinamis dan terbuka.

Dengan demikian, berbagai landasan filosofis kebernegaraan yang dimanifestasi dalam lingkup kebhinekaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan UUD 45 bisa disadari sebagai sunnatullah yang harus dilestarikan dalam kehidupannya. Masing-masing peserta akan terpanggil untuk menjadi penggerak cinta tanah air dan selalu berupaya meretas ekspresi keberagamaan yang banyak ditampilkan secara kaku oleh sekelompok umat beragama. Di sinilah program bela negara perlu dijalankan, bila Indonesia tidak ingin terperangkap ke dalam spiral radikalisme yang selama ini justru banyak menggunakan agama sebagai tebar pengaruhnya. Pandangan ini selaras dengan hasil pleno Majelis Ulama Indonesia (26 November 2015) yang merekomendasikan agama yang humanis sebagai landasan program bela negara yang patut dilaksanakan oleh kita.

Facebook Comments