Bulan September bagi masyarakat Indonesia identik sebagai bulan komunisme. Sejak awal hingga penghujung bulan, nyaris semua ruang publik kita diokupasi oleh isu komunisme. Fenomena ini tentu terkait dengan momentum pecahnya Gerakan 30 September 1965 yang menewaskan 8 jenderal TNI dan satu perwira Polri. Peristiwa yang terjadi 50 tahun lalu itu sampai sekarang masih terus didaurulang dan disajikan dengan beragam tambahan narasi. Salah satu narasi paling mainstream ialah propaganda bahwa komunisme tengah ada dalam fase kebangkitan dan siap melancarkan aksinya merebut pemerintahan dan mengganti ideologi negara.
Merujuk hasil survei yang dilakukan oleh lembaga Syaiful Mudjani Recearch Center yang dilakukan pada tanggal 23-26 September 2020 lalu, ada sekitar 14 persen dari 1. 203 responden yang mempercayai isu kebangkitan PKI. Selain itu, terdapat 75 persen responden yang sepakat bahwa ideologi komunisme ialah ideologi yang berbahaya bagi NKRI dan Pancasila. Dari data kuantitafit tersebut, tidak mengherankan jika isu komunisme tetap laku di masyarakat dan didaur ulang setiap tahun oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan.
Sayangnya, jika diamati perdebatan publik ihwal komunisme saban tahunnya tidak pernah mengalami perubahan signifikan. Perdebatan seputar komunisme masih didominasi oleh pertentangan ihwal siapa yang paling kejam di antara dua kelompok yang terlibat dalam geger massal 1965-1966. Sebagian pihak menilai, Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan organisasi yang kejam, bengis dan nirkemanusiaan, lantaran telah membantai ulama, kiai, jenderal dan merencanakan pemberontakan serta kudeta berdarah. Sebagian kalangan lainnya beranggapan sebaliknya, yakni menganggap rezim Orde Baru dan organisasi keagamaan lah yang lebih kejam karena membantai ratusan ribu anggota dan simpatisan PKI yang tersebar di seluruh penjuru negeri.
Dua narasi yang saling bertentangan itu kian memuncak pada perasaan dendam di kalangan keluarga atau keturunan kedua belah pihak yang terlibat konflik 1965-1966. Di satu sisi, para korban kekejaman PKI kerapkali masih menaruh dendam pada peristiwa kelam yang menimpa keluarga mereka di masa lalu. Sebaliknya, di sisi lain, keluarga atau keturunan anggota atau simpatisan PKI yang mendapat perlakuan diskriminatif selama masa hidupnya juga kerapkali masih menyimpan kesumat. Kondisi inilah yang mengganggu relasi sosial-kebangsaan kita selama ini. Padahal, sebagaimana disebut dimuka, peristiwa kelam itu telah terjadi kurang lebih 50 tahun yang lalu.
Waktu 50 tahun kiranya merupakan masa yang terlampau panjang untuk menyimpan sebuah dendam. Kita patut bertanya, apakah kita akan selamanya seperti ini; setiap tahun berdebat tentang kebangkitan komunisme (PKI) yang dibingkai dengan narasi prasangka dan kecurigaan bahkan kebencian? Jika demikian adanya, lantas bagaimana nasib kita sebagai sebuah bangsa? Akan kemana arah perjalanan bangsa ini jika masih dibebani oleh dendam terkait peristiwa di masa lalu?
Saatnya Memaafkan, Bukan Melupakan
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa-bangsa yang mampu meraih kemajuan ialah bangsa yang mampu berdamai dengan masalalu, baik itu terkiat perang dengan bangsa lain maupun konflik yang melibatkan sesama anak bangsa. Sebaliknya, negara atau bangsa yang masih hidup dengan menyimpan dendam terhadap masa lalu dipastikan akan terjebak dalam romantisme negatif yang menghalangi bangsa tersebut meraih kemajuan peradaban. Bangsa Indonesia seharusnya bisa belajar dari kenyataan tersebut. George Wilhelm Friedrich Hegel dalam buku The Philospopy of History pernah berujar bahwa kita tidak bisa mengubah sejarah atau masa lalu, namun kita selalu punya kesempatan untuk memperbaiki masa depan.
Ungkapan Hegel itu kiranya bisa kita aplikasikan dalam konteks relasi sosial-kebangsaan kita yang selama ini dihantui oleh prasangka terkait isu peristiwa G30S dan isu kebangkitan PKI. Dalam leksikon ilmu sosial, daur ulang isu komunisme dan kebangkitan PKI ini dapat dibaca dari perspektif teori konflik, dimana sebuah isu direspons berbeda oleh publik dan potensial menimbulkan perpecahan. Seperti dapat kita lihat belakangan ini, daur ulang isu kebangkitan komunisme dan PKI dalam banyak hal justru melahirkan perpecahan di masyarakat. Pasalnya, isu itu tidak lebih merupakan upaya kelompok-kelompok tertentu untuk meresahkan publik dan mendelegitimasi pemerintahan yang sah. Alhasil, masyarakat pun terpecah ke dalam dua kutub ekstrem yang saling berbeda pandangan.
Di titik inilah pentingnya gagasan terkait rekonsiliasi nasional, yakni sebuah upaya untuk mengembalikan hubungan dua kelompok dalam masyarakat yang renggang atau berkonflik agar kembali pulih harmonis seperti semula. Rekonsiliasi dikenal dalam mekanisme resolusi konflik yang banyak dikembangkan oleh sejumlah ilmuwan sosial dan aktivis kemanusiaan. Everett Worthington misalnya dalam bukunya berjudul Forgiveness and Reconciliation; Theory and Application menjelaskan bahwa rekonsiliasi sangat diperlukan untuk menyelesaikan persoalan di masa lalu yang masih menjadi hambatan bagi hubungan sosial di masa sekarang. Rekonsiliasi merupakan jalan tengah menyelesaikan konflik dengan mempertemukan kepentingan dari pihak-pihak yang berseteru dan mengakomodasinya dalam kebijakan yang mengendepankan rasa keadilan publik. Lebih lanjut, Worthington menegaskan bahwa rekonsiliasi merupakan upaya paling memungkinkan bagi penyelesaikan konflik di masyarakat, lantaran berangkat dari kesadaran semua pihak, mulai dari negara sampai masyarakat umum.
Mewujudkan Rekonsilasi Nasional, Menjaga Kesaktian Pancasila
Dalam konteks peristiwa G30S 1965 kita jelas membutuhkan sebuah upaya rekonsiliasi nasional. Tujuannya agar kedua belah pihak (keluarga korban PKI dan keluarga korban terdampak operasi pemberantasan PKI oleh Orde Baru) bisa saling memaafkan tanpa menyisakan dendam sedikit pun. Upaya rekonsiliasi nasional itu tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan, melainkan membutuhkan sebuah skema dan mekanisme yang harus dipertimbangan secara matang. Hal paling mendasar yang harus dilakukan ialah menumbuhkan kesadaran kebangsaan kepada semua pihak. Bahwa peristiwa kelam 1965-1966 merupakan bagian dari sejarah kelam yang terjadi akibat konstelasi politik global dan dinamika politik dalam negeri.
Kita memang tidak bisa melupakan peristiwa kelam 1965-1966, namun sebagai manusia kita tentu berkewajiban untuk saling memaafkan. Atas nama kepentingan bangsa dan kemanusiaan, kita tentu bisa meletakkan ego pribadi dan kelompok demi terwujudnya rekonsiliasi nasional. Dalam konteks inilah, kita patut menyadari bahwa daur ulang isu komunisme dan kebangkitan PKI sama sekali tidak memberikan sumbangsih apa pun pada kemajuan bangsa. Bahkan sebaliknya, ketika kita berdebat tentang kebangkitan komunisme, kelompok radikal keagamaan bisa dengan bebas menyebarkan ideologinya.
Memanfaatkan kelengahan publik, kelompok radikal keagamaan membentuk jejaring gerakan di tengah masyarakat dan membangun infrastruktur organisasi secara masif dan sistematis. Dalam bahasa filosof Hannah Arendt, kelompok radikal keagamaan ini telah berhasil melakukan “revolusi senyap” (silent revolution) untuk mewujudkan agenda pragmatisnya. Bukti nyata dari infiltrasi gerakan radikal keagamaan itu bisa kita lihat dari menjamurnya ormas keagamaan yang secara terbuka menunjukkan sikap anti-NKRI dan anti-Pancasila. Situasi ini mirip dengan ungkapan klasik yang berbunyi “di balik setiap konflik, pasti ada pihak yang bersorak”.
Dalam konteks ini, kelompok Islam radikal yang bersorak dan menangguk untung dari konflik yang timbul akibat isu kebangkitan komunisme dan PKI. Maka, jargon “Kesaktian Pancasila” yang kita dengungkan secara gagah itu sebenarnya tidak akan berarti apa-apa tanpa upaya untuk saling memaafkan dan mewujudkan agenda rekonsiliasi nasional. Diakui atau tidak, kelompok radikal keagamaan memang tidak menginginkan rekonsilasi nasional atas isu komunisme dan PKI itu tercapai. Mereka selalu berusaha menggagalkannya dengan berbagai macam cara, termasuk mengembuskan isu kebangkitan komunisme dan PKI sekencang mungkin. Ritual tahunan itu terus didaur ulang ketika memasuki bulan September dan membuat kita bersitegang sesama anak bangsa.
Peringatan Hari Kesaktian Pancasila tahun ini seharusnya bisa menjadi momentum untuk menggaungkan kembali agenda rekonsiliasi nasional. Kiranya waktu 50 tahun cukup untuk kita menatap masa depan, dan tidak melulu tertambat pada masa lalu yang lebih banyak membebani langkah kita sebagai sebuah bangsa. Layaknya kanker ganas, perasaan dendam yang dipendam hanya akan menggerogoti tubuh kita dari dalam, melumatnya secara perlahan dan menghancurkannya secara paripurna. Sebelum itu terjadi, kita masih memiliki kesempatan untuk membuka hati dan pikiran untuk saling memaafkan; demi komitmen kebangsaan dan demi prinsip kemanusiaan.