Toleransi Itu Mudah: Sebuah Tanggapan

Toleransi Itu Mudah: Sebuah Tanggapan

- in Narasi
1625
0
Toleransi Itu Mudah: Sebuah Tanggapan

Membaca judul tulisan Gusveri Handiko, “Toleransi itu Sulit!!! Namun Indah” di kanal “Suara Kita” Jalandamai.org membuat pikiran saya terhenyak. Benarkah bersikap toleran itu sulit? Apalagi membaca paragraf pertamanya yang seolah justifikatif dengan menyebut bahwa masih sangat sedikit orang yang paham dengan toleransi. Tulisan ini tentu bukan bermaksud menguliti argumen Handiko, alih-alih sebagai sebuah sodoran gagasan yang kiranya bisa memperkaya diskursus kita ihwal toleransi.

Jujur, saya tidak sependapat dengan Handiko yang menyebut toleransi sebagai hal yang sulit. Toleransi bagi saya tidak sulit, namun mudah bahkan bisa dibilang sebagai hal yang alamiah dari manusia. Artinya, saya ingin menegaskan bahwa sikap menghargai keberadaan liyan atau kelompok yang berbeda sebenarnya merupakan sifat dasar manusia. Kata toleransi memang istilah yang barangkali asing bagi masyarakat Indonesia. Namun, hal itu tidak berarti bahwa masyarakat kita tidak mengenal konsep penghargaan terhadap sesama dan penghormatan terhadap entitas yang berbeda.

Dalam kultur masyarakat Jawa misalnya dikenal istilah “tepo seliro”, yakni perasaan simpati dan empati yang dilandasi oleh kesadaran untuk menjadi orang lain dan menempatkan sudut pandang liyan sebagai perspektif untuk melihat segala sesuatu. Maka, dalam perspektif yang demikian itu orang Jawa mengenal ujaran “nek ora gelem dijiwit, ojo njiwit” (kalau tidak mau dicubit, jangan mencubit).

Adagium itu merupakan puncak dari pengamalan toleransi, yakni bahwa setiap tindakan manusia hendaknya mempertimbangkan dampak bagi orang lain, alih-alih hanya mempertimbangkan sudut pandang atawa kepentingannya sendiri. Konsep tepo seliro ini sudah dikenal sejak era Jawa Klasik, alias Jawa pra-kolonialisme. Ketika bangsa Eropa masih berada di Abad Kegelapan (The Dark Age), dan ketika bangsa Amerika masih mempraktikkan perbudakan terhadap kaum kulit hitam Afrika, masyarakat Jawa Klasik tengah mengenal tepo seliro sebagai bagian dari relasi sosial.

Wendy Brown dan Rainer Frost dalam buku The Power of Tolerance secara apik menjelaskan bahwa secara biologis, manusia didesain oleh Tuhan untuk bersikap toleran. Toleran, secara biologis merupakan sikap atau respons tubuh dalam menghadapi serangan atau ancaman dari luar dirinya. Misalnya saja, ketika tubuh manusia diserang oleh virus, maka ada tubuh akan memiliki masa toleransi dalam beberapa hari hingga pekan. Masa toleransi itu ialah kesempatan tubuh untuk membentuk dan memanfaatkan sistem anti-bodi untuk melawan masuknya virus tersebut. Jika tubuh dan anti-bodi di dalamnya menang, maka virus akan dijinakkan dan tubuh pun sehat. Namun sebaliknya, jika anti-bodi lemah, dipastikan virus akan berkembang biak dan membuat kita sakit.

Konsep toleransi secara biologis ini juga terjadi dalam konteks sosiologis. Pada dasarnya, manusia ialah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan (biologis, ekonomi, politik, sosial dan sejenisnya). Namun, di saat yang sama, manusia juga merupakan makhluk yang gemar berkonflik. Sejarah peradaban manusia ialah sejarah tentang konflik antarmanusia. Manusia pra-sejarah berkonflik dengan sesama untuk memperebutkan sumber air, makanan dan pasangan. Manusia modern, berperang demi wilayah kekuasaan teritorial, ideologi dan sumber daya alam. Di tengah dua kecenderungan sebagai makhluk sosial dan makhluk konflik itu manusia selalu memiliki mekanisme untuk menyelesaikan atau menghindari konflik. Salah satunya yakni melalui mekanisme toleransi.

Mengembangkan Toleransi Sebagai Sifat Dasar Manusia

Toleransi pada dasarnya ialah sikap menahan diri untuk mengekspresikan sikap anti atau sentimen kebencian terhadap liyan. Manusia barangkali memang akan lebih nyaman berdampingan dengan kelompok yang seagama, ketimbang harus berbagi ruang dengan kelompok yang berbeda. Namun, kepentingan untuk menjaga harmoni sosial itu jauh lebih utama ketimbang kehendak untuk mengedepankan egoisme pribadi dan kelompok. Dalam kondisi yang demikian inilah, sikap toleran bisa dipahami sebagai makanisme bertahan diri dan menghindari dari konflik yang boleh jadi destruktif.

Di titik ini, sikap toleran tidak hanya mudah, namun juga telah menjadi sifat alamiah manusia. Setiap individu pada dasarnya ialah pribadi yang toleran, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang ingin terjebak dalam konflik dengan orang lain. Barangkali pula, kita sebenarnya rajin mempraktikkan toleransi tanpa pernah berkoar-koar tentang toleransi itu sendiri. Sama halnya seperti orang-orang di pedesaan yang hidup guyup rukun menjaga harmoni di tengah perbedaan, meskipun mereka tidak fasih mengkhotbahkan tentang toleransi atau pluralisme.

Pemahaman toleransi sebagai sifat dasar atau alamiah manusia inilah yang harus kita kembangkan saat ini. Jangan sampai, istilah toleransi justru mengalami bias kelas alias dimonopoli oleh kalangan elite-intelektual semata. Setiap orang bisa dengan mudah menjadi pribadi toleran ketika ia melakukan setidaknya tiga langkah berikut ini. Pertama, tidak bersikap arogan atas suatu kebenaran yang kita yakini. Dalam konteks keagamaan misalnya, kita hanya cukup meyakini bahwa agama kita yang paling benar, tanpa harus merendahkan atau menganggap agama lain salah atau sesat.

Kedua, memahami betul garis batas antara ruang privat dan ruang publik agar tercipta sikap saling menghargai otonomi pribadi masing-masing individu dan menghindarkan diri dari pemaksaan kehendak. Jika setiap orang paham mana batas yang publik dan mana yang privat, maka setiap individu tidak akan melanggar batas kebebasan orang lain. Di kondisi itulah, sikap toleran akan muncul dengan sendirinya.

Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah sikap tidak mudah terprovokasi oleh hasutan kebencian. Praktik intoleransi di masyarakat selama ini lebih banyak dilatari oleh tindakan provokatif segelintir orang yang memiliki motif tertentu (ekonomi, politik dan sejenisnya). Oknum masyarakat yang memiliki hidden agenda itulah yang memobilisasi kebencian terhadap liyan ke dalam sebuah aksi diskriminasi, intoleransi bahkan kekerasan.

Facebook Comments