Ketersisihan kalangan yang notabene menjadi simbol gerakan-gerakan politik-keagamaan yang radikal akhir-akhir ini seperti mengisyaratkan arah baru iklim keagamaan di Indonesia. Mulai dari tersudutkannya Rizieq Shihab dan Bahar bin Smith, redupnya pamor Amien Rais, gagalnya berbagai aksi yang berujung anarkisme atas kebijakan-kebijakan pemerintah, ketersingkiran para pengikut dan simpatisan Rizieq di MUI, bangkitnya kesadaran publik atas sisi gelap populisme yang hanya menguntungkan kalangan sektarian dan radikal belaka dengan bentuk penolakan di berbagai daerah pada Rizieq dan para pengikutnya serta dukungan moral mereka pada TNI yang pasang badan atas segala ancaman pada kebhinekaan, semua ini mengindikasikan bahwa selama ini banyak orang sudah lelah menjadi the silent majority—sebagaimana yang selama ini menjadi pilihan politik kalangan sektarian di Indonesia.
Secara khusus, barangkali hal ini juga menjadi prestasi tersendiri bagi kalangan moderat yang terbukti memenangkan nalar publik di Indonesia. Setelah beberapa tahun terakhir populisme, dengan suburnya radikalisme yang menjadi output-nya, berupaya menguasai ruang publik di Indonesia, pemerintah kembali memilih beberapa ormas keagamaan yang notabene moderat seperti halnya NU. Kerjasama ini akan meliputi ceramah yang dilakukan dibargai kantor BUMN. Bahkan, tak tertutup kemungkinan, akan juga merambah ke kalangan birokrasi. Sebab, di jalur birokrasi (dan pendidikan) inilah radikalisme keagamaan sangat mencolok dalam menunjukkan taringnya pada akhir tahun 2016 (Terorisme dan Matinya Nalar Kritis, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Pada tahun 2017-2018, setidaknya menjelang pembubaran dan pelarangan HTI, radikalisme keagamaan telah merasuki kalangan birokrasi dan kampus (Gelagat: Antara Pancasila dan Kerangka Pikir Para Aparatur Negara, Heru HarjoHutomo, https://www.idenera.com). Semua ini terjadi, di antaranya, dengan cara menguasai masjid kantor dinas dan kegiatan keagamaan seperti pengajian dalam komunitas khusus kalangan menengah ke atas.
Tak pula pada dasarnya radikalisme keagamaan menyasar kalangan menengah ke atas. Pada tahun 2017, setidaknya saya mencatat bahwa radikalisasi bergerak pada dua ranah: islamisme birokratik dan islamisme kerakyatan atau yang saya sebut sebagai populisme kanan (Hikayat Kebohongan I, Heru Harjo Hutomo,https://islami.co). Pada kalangan akar rumput radikalisme keagamaan rupanya juga memiliki modus yang sama dengan yang terjadi di ranah birokrasi: dengan mengincar masjid desa (Berpijak di Akar Budaya yang Sama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Gerakan-gerakan keagamaan semacam itu pada akhirnya juga kental bermuatan politik dan aktif terlibat dalam berbagai isu yang jelas-jelas hanya kedok belaka bagi kepentingan yang jauh lebih besar (Hikayat Gelombang Wani Wirang dan 4 Pilar Kebangsaan, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Secara diskursif, semua bentuk radikalisme keagamaan yang bersifat politis tersebut berpusat pada sesosok Rizieq Shihab dengan segala drama yang ia alami (Neo-Khawarij, Habib Rizieq, dan Masyarakat Sipil, Heru HarjoHutomo, https://geotimes.co.id).
Dengan demikian, saya kira di sinilah tantangan ormas keagamaan yang moderat semacam NU yang selama ini menjadi pihak yang “tak disukai” oleh kalangan birokrasi, institusi pendidikan negeri, dan turunannya di akar rumput yang sudah dikuasai oleh puritanisme dan radikalisme keagamaan—bahkan, ada sebuah “kepercayaan” bahwa seandainya ingin digunakan oleh kalangan birokrasi haruslah memusuhi atau minimal tak menjadikan NU sebagai wadah bagi paham keagamaannya. Maka, pertanyaan besarnya, bisakah ormas keagamaan moderat semacam NU meruntuhkan mindsetsekaligus habitus keagamaan non-NU yang hari ini telah benar-benar mapan di kalangan institusi pemerintah, baik birokrasi maupun pendidikan? Ketika dapat meruntuhkan kemapanan itu semua, saya kira pada tingkat akar rumput akan runtuh dengan sendirinya. Sebab, populisme kanan (sekaligus sekular) pun ternyata dibentuk oleh jaringan yang selama ini telah menguasai institusi-institusi pemerintah (Jalan Panjang Moderatisme, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).