Ulama ialah gelar yang diberikan oleh umat terhadap individu yang memiliki kualifikasi-kualifikasi tertentu. Di antaranya yang paling pokok ialah penguasaan ilmu pengetahuan agama yang luas dan mandalam, latar belakang keluarga dan pendidikan yang prestisius dan tentunya ialah perwujudan itu semua dalam karakter dan perilaku yang mencerminkan akhlakul karimah. Gelar ulama tidak bisa diraih secara instan, apalagi dibeli. Seseorang bisa saja mengklaim diri sebagai ulama atau bahkan imam besar umat Islam, namun tanpa legitimasi penuh dari publik maka klaim itu akan tidak memiliki otoritas.
Konon, Jalaluddin Rumi sang mistikus sekaligus penyair pernah ditanya oleh seseorang, siapakah yang disebut ulama? Rumi menjawabnya dengan penjelasan yang sangat puitis, “Dia bagaikan pohon yang ditanam di tanah yang subur. Tanah itu menjadikan pohon tersebut berdiri kokoh dan kuat dengan daun-daun yang menghijau dan merimbun. Lalu ia mengeluarkan bunga dan menghasilkan buah yang lebat. Meski dialah yang menghasilkan bunga dan buah itu, tetapi ia sendiri tidak mengambilnya, melainkan dimanfaatkan oleh orang lain”. Gambaran Rumi ini menegaskan bahwa ulama ialah sosok berilmu yang senantiasa menebar manfaat bagi umat.
Menyandang gelar ulama bukan hal yang mudah. Ada konsekuensi-konsekuensi yang harus dipenuhi. Maka dari itu, tidak semua orang bisa dan layak menyandang gelar ulama. Meski demikian, gelar ulama tidak sepatutnya dipahami sebagai sebuah beban, alih-alih sebuah kesempatan untuk menjalani mandat keilahian sebagaimana pernah dijalani oleh para nabi terdahulu. Alquran pun tidak segan menyebut ulama sebagai warasatul anbiya. Ini artinya, ulama ialah agen penerus dakwah Islam pasca tertutupnya pintu kenabian sepeninggal Rasulullah Muhammad Saw. Di titik ini, para ulama mengemban setidaknya dua mandat.
Pertama ialah mandat untuk merawat apa yang telah diwariskan oleh para nabi dan rasul terdahulu. Begitu banyak ajaran dan nilai yang diwariskan oleh para nabi dan rasul terdahulu. Namun, menurut Hassan Hanafi setidaknya dua hal pokok yang wajib dirawat dan dijaga oleh para ulama, yakni ajaran tentang ketauhidan (keesaan Allah) dan ajaran tentang akhlaqul karimah. Dua hal itu merupakan warisan penting nabi dan rasul terdahulu yang merupakan inti dari ajaran Islam. Ajaran Islam yang terbagi ke dalam berbagai varian keilmuan mulai dari fiqih, ilmu kalam hingga tasawuf jika diperas akan mengerucut pada dua hal tersebut. Maka, penting bagi ulama untuk senantiasa merawat ajaran tauhid dan ajaran tentang akhlaqul karimah.
Mandat yang pertama ini tentu berkaitan erat dengan bagaimana ulama mengemban misi dakwah Islam. Yakni menyebarkan dan mensyiarkan Islam ke seluruh umat manusia. Dalam konteks inilah, ulama perlu meneladani spirit para nabi dan rasul yang melakoni mandat dakwah Islam dengan ikhlas, sabar, dan mengedepankan pendekatan lemah-lembut. Menjalankan mandat dakwah Islam sebagaimana dipraktikkan oleh nabi terdahulu ini menjadi penting terlebih di tengah fenomena maraknya model dakwah yang menebar caci-maki dan kebencian di kalangan umat.
Mandat kedua, ialah membangun tatanan sosial yang adil, makmur, damai dan sejahtera. Peran dan tanggung jawab ulama di luar ranah keagamaan ini tentu bisa diwujudkan manakala ulama mau bersinergi dengan umara (pemimpin). Dalam Alquran maupun hadist, tidak ada perintah agar umat Islam mendirikan negara dengan sistem politik tertentu. Islam hanya memberikan semacam garis besar agar umat membentuk satu sistem sosial-politik yang menjamin terwujudnya kesetaraan hak serta terciptanya keadilan dan kesejahteraan sosial. Alquran membahasakannya sebagai baldatun thayyibatun warabbun ghofur.
Tugas Keagamaan dan Kebangsaan Ulama
Lebih lanjut, Rasulullah mengajarkan bahwa umat muslim wajib tunduk pada pemimpin yang sah (legitimate) dan menjalankan pemerintahannya secara adil alias tidak zolim. Ajaran Rasulullah inilah yang menjadi dasar doktrin politik di kalangan ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah. Yakni bahwa ulama dan umat harus taat pada perintah umara dan tidak diperkenankan memberontak tanpa alasan yang diperkenankan Islam. Doktrin politik Aswaja ini kiranya sangat relevan dikembangkan dalam konteks Indonesia kontemporer dimana wacana politik kita lebih banyak diwarnai oleh politik identitas dan politisasi agama. Seperti kita lihat dalam beberapa tahun belakangan, politik identitas telah menjadi semacam trade mark dalam konstelasi perpolitikan nasional.
Politik identitas telah menjadi senjata bagi kelompok tertentu untuk mendelegitimasi dan mendeskreditkan lawan politik. Tujuannya apalagi jika bukan untuk meraih kekuasaan. Di titik ini, patut disayangkan adanya keterlibatan sejumlah oknum ulama yang secara terang-terangan aktif mendukung gerakan politik identitas. Bahkan, tidak jarang ada oknum ulama yang membajak mimbar khutbah atau panggung dakwah untuk menebarkan fitnah dan kebencian kepada kelompok lain yang dibingkai dalam narasi politik identitas. Ironisnya, meski Pilpres 2019 telah berlalu dan para politisi di level elite sudah melakukan rekonsiliasi, nuansa perseteruan di kelompok akar rumput masih memanas. Polarisasi justru kian meruncing. Demikian juga politik identitas pun masih langgeng. Hal ini bisa dilihat dari catatan tahun 2020 dimana ruang publik kita masih dijejali oleh narasi-narasi yang mengarah pada politik identitas.
Tahun anyar 2021 yang baru saja kita tapaki dalam hitungan hari ini kiranya menjadi titik balik untuk menegaskan kembali mandat ulama. Dari sisi keagamaan, mandat ulama tidak lain seperti disebut di atas ialah menjadi penerus nabi yakni dengan tetap merawat ketauhidan serta menjaga prinsip akhlakul karimah di tengah umat. Gelar sebagai penerus nabi ialah keistimewaan (privilege) yang dimiliki ulama dan idealnya digunakan untuk kemaslahatan umat. Sedangkan dari sisi sosial-kebangsaan, mandat ulama ialah menjaga keutuhan bangsa dan negara tempatnya bernaung atau dalam konteks Indonesia ialah menjaga keutuhan NKRI. Mandat kebangsaan ini tidak dapat dipisahkan begitu saja dari mandat keagamaan.
Arkian, kerja keagamaan dan kebangsaan yang menjadi mandat ulama idealnya dilakukan dalam satu tarikan nafas. Merawat warisan nabi dalam hal tauhid dan akhlakul karimah umat kiranya juga merupakan bagian dari menjaga struktur sosial-kebangsaan agar tetap harmonis dalam naungan Pancasila dan semboyan Bineka Tunggal Ika. Demikian pula, upaya menjaga NKRI tetap aman dan damai tidak lain merupakan bagian dari upaya untuk memastikan umat bisa menjalankan keimanan dan peribadatannya dengan tenang dan khidmat. Dengan demikian, goyahnya NKRI lantaran politik identitas yang memecah belah secara otomatis akan membawa konsekuensi logis pada melemahnya Islam. Sebaliknya, kokohnya NKRI akan membawa dampak positif pada kejayaan Islam.