Meneguhkan Politik Kebangsaan Ulama

Meneguhkan Politik Kebangsaan Ulama

- in Narasi
1037
0
Meneguhkan Politik Kebangsaan Ulama

“Politik itu ada tiga. Politik kerakyatan, politik kebangsaan, dan politik praktis. Politik ulama itu ya, yang pertama dan kedua ini, sambil menunjukkan jarinya.” Demikian kira-kira komentar Gus Mus pada acara Kick Andy beberapa tahun lalu. “Kalau warga berlawanan dengan pengusaha, maka ulama berada di belakang warga,” jelasnya.

Penjelasan Gus Mus ini saya kira sangat relevan sekali diungkapkan sekarang, di tengah situasi politik (sebagain) ulama yang justru juah dari khittahnya. Politik ulama bukanlah politik praktis, menang-kalah, ambisius untuk berkuasa, meski memakai cara-cara yang kotor: memprovokasi ummat, menyalahgunakan ayat, dan merendahkan pihak lain yang dianggap sebagai lawan.

Politik ulama adalah politik kerakyatan. Para ulama selalu memperhatikan kemaslahatan rakyat. Ulama tak mau ummat ini pecah hanya gara-gara partai. Ulama tak mau ummat berkonflik hanya karena beda pilihan politik. Ulama mencari cara agar polarisasi tidak terjadi di antara ummat. Ulama mendamaikan, mempersatukan, dan merawat segala macam perbedaan yang ada pada ummat.

Ulama juga melakukan politik kebangsaan. Ulama adalah garda terdepan menjaga NKRI. Kalau kita melihat para ulama, mulai dari era perjuangan, kemerdekaan, sampai pada era mempertahankan kemerdekaan, politik para ulama adalah politik kebangsaan. Menjaga bangsa ini agar tidak jatuh ke tangan penjajah. Berjuang dengan seluruh tumpah darahnya, agar bumi pertiwi tidak diinjak-injak bangsa lain.

Sosok Hadratus Syekh Hasim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH. Wahab Hasbullah dan seterusnya adalah para ulama yang dalam diri mereka ada prinsip rakyat dan bangsa harus dirawat dan dijaga. Kebangsaan dan kerakyatan harus diletakkan diurutan terhormat. Itulah sebabnya, bagi mereka, Keislaman dan Keindonesiaan adalah ibarat ikan dan air, tidak bisa dipisahkan, harus selalu ada dan bergandengan tangan.

Sebab, kita tidak bisa menjalakan agama secara bebas dan damai, jika tanah air dan bangsa kita masih terjajah dan suasana tak aman. Kita tidak bisa beribadah secara khusu’, jika tempat di mana kita melakukan ibadah itu tidak striil dari konflik dan kekerasan. Menjaga negara adalah wasilah untuk menjaga agama. Sebaliknya, menjaga agama pun harus tetap menjaga negara. Keduanya bagaikan sisi koin mata uang, tidak bisa dipisahakan.

Politik (sebagian) Ulama Saat ini

Yang menyedihkan sekarang ini adalah politik kerakyatan dan kebangsaan yang begitu mulia justru mulai luntur dari sebagian ulama kita. Yang terjadi malah sebaliknya, ulama dijadikan alat untuk menarik suara, memprovokasi, memfitnah, dan menghancurkan pihak yang dianggap sebagai lawan politik.

Sebagian ulama lupa akan khittah politik itu. Terjebak pada politik praktis dan segala turunan negatifnya yang justru sangat membahayakan bagi ummat. Sejatinya, ulama berdiri di tengah. Mendamaikan, mencari titik masalah untuk kemudian dicari solusinya.

Bukan malah jadi sumber masalah itu sendiri. Ulama sudah berpihak kepada kelompok tertentu. Ulama tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai penengah. Pada titik tertentu, ulama justu menjadi lokomotif keributan dan konflik itu sendiri.

Fenomena akhir-kahir ini seiring dengan merebaknya politik identitas, ulama menjadi terpecah dan berkubu-kubu. Setiap kubu merasa merekalah ulama yang sebenarnya. Kubu lain pun demikian, mereka mengklaim bahwa kamilah pewaris Nabi yang sesungguhnya.

Setiap kubu saling mengeluarkan dalilnya dan mengklaim mewakili ummat. Bahkan ada oknum-oknum tertentu, tanpa merasa bersalah dan tidak tahu diri, menyebut pimpinan mereka sebagai Imam Besar (IM) ummat Islam. Entah ummat yang mana yang mereka maksud.

Tidak berhenti di sini, ulama dan habaib akhir-akhir ini terkesan menjadi musuh penguasa. Seolah-olah ada rumus umum, yang dinarsikan oleh kelompoknya: “jika ingin melihat ulama yang benar, maka lihatlah siapa dibencii oleh penguasa.”

Seolah-olah, ukuran ulama yang benar itu, bukan dilihat dari tingkah laku, ucapan, dan keilmuannya, melainkan dilihat dari benci tidaknya pengusa sama mereka. Jika ulama itu dibenci penguasa, maka itu adalah ulama yang sebenarnya. Sebaliknya, jika ulama itu dicintai penguasa, maka itu adalah ulama abal-abal. Narasi seperti ini tentu sangat berbahaya.

Kembali Ke Khittah

Oleh sebab itu, sudah waktunya para ulama kembali ke khittahnya sebagai pewaris Nabi. “Al-‘ulama’ warasah al-anbiya’, ulama adalah pewaris Nabi. Apa yang diwarisi? Bukan harta, bukan materi, atau pangkat, melainkan suatu misi. Misi itu tidak lain adalah membumikan kedamaian di muka bumi ini (rahmatan lil ‘alamin).

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, membumikan kedamaian di muka bumi itu tentu lewat politik kerakyatan dan kebangsaan, bukan politik praktis! Politik yang membuat bangsa ini bersatu, damai, dan jauh dari konflik. Ulama harus hadir di tengah masyarakat sebagai juru damai.

Layaknya sebagai pewaris sah misi kenabian, maka para ulama juga harus mewarisi sifat Nabi. Sifat itu adalah siddiq(jujur), amanah (integritas), tablig (menyampaikan) dan fathanah(cerdas).

Keempat poin di atas adalah syarat bagi ulama untuk bisa menjalankan politik kerakyatan dan kebangsaan. Ulama harus jujur mengikuti hati nuraninya dalam membela rakyat dan bangsa ini. Ulama juga harus menjaga segala bentuk kepercayaan yang diberikan oleh ummat. Ulama harus menjadi tauladan, yang dengan tauladan itu bisa tablig (menyampaikan) pesan-pesan kedamaian. Dan paling pokok, ulama juga harus cerdas melihat realitas masyarakatnya.

Facebook Comments