Babak baru pandemi dimulai ketika sejumlah negara melaksanakan vaksinasi massal. Hal ini merupakan berita bagus yang membangkitkan harapan kembalinya kehidupan normal layaknya pra-pandemi. Di Indonesia, suntikan pertama vaksin Covid-19 kepada Presiden Joko Widodo menandai program vaksinasi massal yang bertujuan membangun kekebalan kawanan (herd immunity) dan mengakhiri pandemi. Ironisnya, upaya pemerintah membangun kekebalan kawanan dengan vaksinasi itu diwarnai resistensi dari segelintir masyarakat.
Dikatakan segelintir lantaran sebagian besar masyarakat sebenarnya bersedia divaksinasi. Survei Syaiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terkait sikap masyarakat pada vaksin Covid-19 menunjukkan 79 persen masyarakat suka, 12 persen tidak suka dan 9 persen netral. Dalam survei yang sama, tingkat kepercayaan masyarakat pada vaksin buatan Sinovac mencapai 60 persen. Hasil survei SMRC ini bisa menjadi gambaran akan penerimaan publik (public acceptance) terhadap program vaksinasi pemerintah.
Namun, segelintir penolak vaksinasi Covid-19 itu dikenal aktif mengampanyekan gagasannya di ruang publik, terutama di media sosial. Propaganda anti-vaksin itu kerap dibalut teori konspirasi dan hoaks yang dikemas layaknya ilmu pengetahuan ilmiah. Padahal, argumen kaum anti-vaksin itu tidak lebih dari pseudo-science alias sains semu. Sejumlah hoaks terkait vaksin Covid-19 yang belakangan ini beredar antara lain. Pertama, vaksin Covid-19 mengandung Vero Sel yang bisa mengubah struktur DNA manusia. Kedua, vaksin Covid-19 ditanam chip komputer yang bisa digunakan untuk mengontrol manusia dari jarak jauh. Terakhir, beredar hoaks terkait efektifitas, keamanan, kehahalan dan kesucian vaksin Covid-19.
Hoaks seputar vaksin Covid-19 itu sebenarnya sudah terbantahkan oleh referensi ilmiah dan pendapat para ahli yang bertebaran di media massa maupun media sosial. Sayangnya, seglintir masyarakat kadung terjebak dalam labirin hoaks yang merusak nalar berpikir mereka. Bobroknya nalar berpikir rasional kaum anti-vaksin ini jelas berbahaya karena mereka gencar menyebarkan narasi resistensinya ke khalayak luas. Hal ini berpotensi menggagalkan skenario pembentukan kekebalan kawanan sebagaimana direncanakan pemerintah melalui vaksinasi.
Selain vaksinasi untuk membentuk imunitas dari Covid-19, kita juga membutuhkan vaksinasi nalar publik untuk melawan hoaks yang dilatari kejumudan berpikir. Hoaks seputar vaksin Covid-19 harus diakui sama bahayanya dengan penyebaran virus Covid-19. Bahkan, hoaks vaksin Covid-19 itu kerap menimbulkan perpecahan bangsa. Kita tentu masih ingat hoaks Covid-19 yang muncul di awal pandemi. Kala itu, muncul narasi menyatakan bahwa Covid-19 hanyalah rekayasa belaka.
Akibatnya, banyak masyarakat abai para protokol kesehatan yang menyebabkan pandemi sukar dikendalikan. Kita tentu tidak ingin hal itu terulang lagi dalam konteks vaksinasi Covid-19. Hoaks seputar vaksin Covid-19 harus dilawan dan dijernihkan agar masyarakat yakin dan mendukung program vaksinasi pemerintah. Di saat yang sama, vaksinasi nalar publik juga diperlukan agar masyarakat tidak mudah terpapar hoaks dan narasi resisten yang menjurus pada pembangkangan terhadap kebijakan pemerintah.
Sinergi Pemerintah dan Masyarakat Sipil Melawan Hoaks dan Ideologi Kekerasan
Fenomena hoaks menurut James Stanyer merupakan ekses negatif dari perbuahan komunikasi publik akibat munculnya internet dan media sosial. Kemunculan internet dan media sosial yang terbuka dan bebas dalam banyak hal telah menyebabkan komunikasi publik keluar dari koridornya. Akibatnya, ruang komunikasi itu justru disesaki oleh berita palsu, propaganda dan narasi sampah yang membuat publik terombang-ambing dalam ketidakpastian informasi. Akibatnya, masyarakat menjadi mudah curiga, bahkan kepada informasi yang benar sekali pun.
Dalam konteks inilah, William J. McGuire menawarkan strategi yang disebutnya sebagai inokulasi komunikasi. Yakni upaya untuk membentengi masyarakat dari paparan hoaks dan propaganda dengan membangun imunitas dan daya tahan psikologis yang kuat. McGuire menganalogikan proses inokulasi komunikasi layaknya dalam dunia kesehatan dimana tubuh diberikan vaksin agar kebal dari penyakit tertentu. Dalam komunikasi, setiap individu dan komunitas menurut McGuire potensial menjadi manusia bermental bigotry danhomo narrans yang gampang terbawa arus penyebaran virus hoaks, kebencian bahkan radikalisme. Maka dari itu, setiap individu dan komunitas perlu membangun sistem kekebalan informasi agar terhindar dari segala jenis hoaks, propaganda dan narasi menyesatkan lainnya.
Gagasan McGuire ini kiranya relevan diterapkan di Indonesia saat ini ketika publik tengah digempur berbagai narasi sesat seputar vaksin Covid-19. Inokulasi komunikasi itu tentuya harus diterjemahkan ke dalam langkah nyata yang melibatkan partisipasi pemerintah dan masyarakat sipil –ormas, figur publik dan tokoh agama– yang memiliki otoritas dan kemampuan mempersuasi massa.
Selebrasi penyuntikan vaksin Covid-19 pada presiden, sejumlah pejabat negara dan figur publik beberapa hari lalu ialah langkah tepat. Terbukti hal itu lantas diamplifikasi melalui media massa dan media sosial dan berdampak pada meningkatnya kepercayaan publik pada vaksin Covid-19. Selebrasi itu membawa pesan kuat bahwa vaksin buatan Sinovac ini aman, efektif, halal dan suci sebagaimana disampaikan oleh BPOM dan MUI. Langkah selanjutnya ialah menggandeng masyarakat sipil untuk menggaungkan kampanye vaksinasi Covid-19 agar lebih masif dan menjangkau masyarakat luas.
Para ilmuwan dan ahli vaksin yang memiliki kredibilitas menjelaskan ihwal vaksin Covid-19 harus terlibat aktif dalam mengedukasi publik. Para ilmuwan harus menjelaskan ke publik dengan bahasa yang mudah dimengerti awam tentang efektifitas dan keamanan vaksin Covid-19 serta pentingnya vaksinasi untuk meredam tingkat keparahan pandemi. Demikian pula, para tokoh agama khususnya ulama harus gencar memberikan pencerahan pada umat bahwa vaksinasi merupakan bagian dari maqasyid al syariah terutama klausul hidzful al nafs (menjaga nyawa). Dalam kondisi pandemi ini, vaksinasi ialah kemaslahatan yang bersifat dharuriyyat alias kebutuhan primer yang pemenuhannya tidak bisa ditunda.
Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai dua ormas Islam terbesar di Indonesia telah menyatakan dukungannya pada program vaksinasi Covid-19. Kiranya langkah ini bisa diikuti oleh ormas lainnya. Dengan sinergi antara pemerintah dan masyarakat sipil, kita patut optimis bisa melakukan vaksinasi Covid-19 sekaligus vaksinasi nalar publik untuk melawan hoaks dan ideologi kekerasan yang selama ini tidak hanya menjadi halangan melawan pandemi, namun juga telah menjadi ancaman nyata bagi keutuhan bangsa dan negara.