Datangnya vaksin Covid-19 produksi Sinovac ternyata tidak lantas membuat upaya mengendalikan pandemi menjadi lebih ringan. Bagaimana tidak? Ketika sebagian masyarakat menyambut vaksinasi Covid-19 dengan penuh optimisme, sebagian masyarakat justru tengah hanyut dalam arus resistensi yang dilatari oleh hoaks dan narasi radikalisasi.Munculnya wacana resistensi publik terhadap vaksinasi Covid-19 ialah tantangan berat yang harus dihadapi semua pihak. Dalam teori kesehatan disebutkan bahwa pandemi bisa dikendalikan jika terwujud kekebalan komunitas (herd immunity) yang menjangkau setidaknya 75 persen dari total populasi. Target kekebalan komunitas melalui vaksinasi itu tentu sulit tanpa menganulit segala narasi resisten yang umumnya dilatari oleh berkembangnya hoaks seputar vaksin Covid-19.
Resistensi atas progam vaksinasi Covid-19 tidak diragukan merupakan fenomena serius. Hal itu tidak hanya menyangkut isu kesehatan masyarakat, namun sudah menyentuh wilayah kedaulatan pemerintah sebagai penyelenggara negara. Penolakan vaksinasi massal untuk meredam dampak pandemi Covid-19 merupakan bentuk pembangkangan terhadap negara yang bisa dikategorikan sebagai gerakan subversif-radikal. Asumsi ini tentu tidak berlebihan mengingat berkali-kali isu pandemi dan vaksinasi ini dikomodifikasi sedemikian rupa untuk mendelegitimasi kebijakan pemerintah. Belakangan, berbagai hoaks seputar vaksin Covid-19 produksi Sinovac juga menunjukkan bahwa ada kekuatan-kekuatan tertentu yang mencoba memanfaatkan isu pandemi dan vaksinasi untuk menggoyang kekuasaan yang sah.
Hoaks seputar vaksinasi Covid-19 pun lantas tidak hanya berhenti pada tuduhan-tuduhan miring seputar vaksin yang seluruhnya berisi asumsi palsu. Lebih dari itu, hoaks seputar vaksin Covid-19 telah menjadi ajang politisasi dan pembentukan sentimen negatif terhadap negara. Kondisi ini jelas tidak bisa dibiarkan. Keberhasilan kita melawan pandemi Covid-19 ini tentu membutuhkan kerjasama seluruh eksponen masyarakat yang ditopang oleh persatuan dan kesatuan bangsa. Tanpa kerjasama dan persatuan antarkomponen bangsa untuk menangkal hoaks dan isu radikalisme yang mengiringi agenda vaksinasi, kita tidak hanya akan gagal menahan laju pandemi, namun kita juga berpotensi mengalami keretakan sosial dari dalam.
Maka dari itu, penting untuk mencegah agar isu vaksinasi ini tidak dipolitisasi pihak tertentu untuk melemahkan kepercayaan publik pada pemerintah apalagi meradikalisasi nalar pikir masyarakat agar membangkang pada kekuasaan yang sah. Sebelum vaksinasi Covid-19 menyentuh wilayah masyarakat umum, diperlukan vaksinasi nalar pikir publik yang bertujuan membangun semacam mekanisme sistem pertahanan dalam menangkal hoaks dan propaganda anti-vaksin. Disinilah pentingnya membangun sistem kekebalan komunitas dari paparan virus hoaks dan ideologi radikal yang membonceng isu pandemi dan vaksinasi.
Membangun “Herd Immunity” dari Virus Hoaks dan Radikalisasi
Lantas, bagaimana caranya membangun kekebalan komunitas agar masyarakat terhindari dari paparan virus hoaks dan radikalisme ini? Mula pertama yang harus dilakukan ialah membenahi manajemen komunikasi terkait vaksinasi yang dilakukan pemerintah. Selama ini, komunikasi publik yang dilakukan pemerintah untuk mensosialisasikan vaksinasi memang telah masif, namun acapkali belum solid dan kerapkali tumpang-tindih. Salah satu contohnya ialah penolakan vaksinasi yang disuarakan oleh anggota legislatif yang notabene merupakan kader partai pendukung pemerintah. Diakui atau tidak, hal ini menjadikan kredibilitas pemerintah di mata publik menjadi menurun. Pemerintah idealnya bisa membangun pola komunikasi yang tidak hanya informatif, melainkan juga mampu menimbulkan kepercayaan dan keyakinan. Public trust ini menjadi penting untuk menangkal hoaks dan segala upaya radikalisasi yang memanfaatkan isu vaksinasi.
Pada titik tertentu, pemerintah bisa menggunakan kewenangan koersifnya untuk memberangus para penyebar hoaks seputar vaksin Covid-19 dan para penumpang gelap isu vaksinasi. Penegakan hukum untuk menindak pelaku penyebaran hoaks diperlukan untuk menimbulkan efek jera dan mencegah masyarakat berbuat serupa. Di saat yang sama, pemerintah tidak boleh lelah melawan segala informasi palsu dengan menghadirkan informasi yang menjernihkan dan mencerahkan. Fenomena hoaks harus dilawan dengan hoax buster yang berisi narasi tandingan, yakni informasi yang verifikatif dan teruji kesahihannya.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah membangun tradisi verifikasi dan cross check di kalangan masyarakat dalam memilih dan memilah informasi seputar vaksin(asi) Covid-19. Publik diharapkan hanya mengakses informasi seputar vaksinasi dari kanal-kanal yang terpercaya, berintegritas dan tidak memiliki rekam jejak sebagai pembuat atau penyebar hoaks. Dengan demikian, masyarakat akan terhindar dari silang-sengkarut misinformasi tentang vaksinasi Covid-19 yang centang-perenang dalam ruang publik digital kita. Penerapan prinsip literasi digital dalam hal ini menjadi sangat mutlak diperlukan untuk menyaring keberlimpahan informasi seputar vaksinasi Covid-19 yang sebagian besarnya sudah bercampur asumsi, opini bahkan hoaks yang di-framing untuk meradikalisasi masyarakat dan mendeskreditkan pemerintah.
Penerapan prinsip literasi digital akan membuat masyarakat cerdas dan bijak untuk menyeleksi mana informasi yang mengandung “nutrisi” sekaligus menganulir toxic information atau informasi beracun. Di saat yang sama, masyarakat juga akan memiliki mekanisme pertahanan diri yang berfungsi untuk menangkal infiltrasi ideologi yang bertentangan dengan falsafah bangsa. Program vaksinasi Covid-19 yang dicanangkan pemerintah sudah selayaknya kita dukung bersama agar tercipta kekebalan komunitas (herd immunity) untuk mengakhiri pandemi yang dampaknya sudah sangat mengkhawatirkan ini. Tujuan itu hanya mungkin terwujud manakala masyarakat berhasil membangun kekebalan terhadap paparan virus hoaks seputar vaksin dan narasi radikalisasi yang membonceng isu vaksinasi tersebut.