Beberapa hari lalu, media sosial dan media massa kita disesaki adanya sebuah tindakan intoleransi yang dilakukan oleh salah satu lembaga pendidikan di Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Padang, Sumatera Barat yang mewajib beberapa siswi non-muslim untuk turut serta memakai jilbab seperti siswi muslim lainnya. Tindakan lembaga terkait ini sungguh sangat disayangkan.
Pasalnya, lembaga pendidikan yang harusnya juga menjadi lembaga terdepan yang ikut serta mengampanyekan dan menanamkan pendidikan toleransi kepada para peserta didik di tengah kondisi keberagaman masyarakat, malah menjadi contoh tidak baik perihal perilaku dan tindakan intoleransi itu sendiri.
Parahnya lagi, katanya hal itu adalah peraturan wajib sekolah yang memang telah diberlakukan bertahun-tahun. Sekali lagi, hal ini sungguh sangat disayangkan. Apalagi, sekolah atau lembaga terkait adalah sekolah negeri, yang secara etis seharusnya mampu merangkul seluruh anak bangsa yang ingin belajar tanpa paksaan-paksaan atau kewajiban-kewajiban tertentu untuk memakai busana keagamaan tertentu. Karena selain hal itu cenderung merenggut hak asasi siswa, hal itu juga cenderung ada pemaksaan dari lembaga atau oknum guru untuk menjalani kebiasaan atau tradisi para muslimah pada umumnya.
Padahal, pemaksaan dalam beragama atau pemaksaan untuk menggunakan tradisi agama tertentu tidaklah mendapatkan legitimasi legal-formal dari agama itu sendiri. Agama senantiasa mendidik kita untuk selalu toleran terhadap hal-hal semacam itu. Tugas orang-orang beragama hanyalah mengingatkan bagi saudara-saudara seagama dan menyampaikan bagi saudara-saudara non-muslim, bukan memaksanya. Karena, jika Tuhan mau, maka niscaya akan diislamkan semua penduduk dunia ini.
Sebenarnya, mengenai ketentuan seragam sekolah telah diatur melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Permendikbud tentang pakaian seragam sekolah ini tidak mewajibkan model pakaian kekhususan agama tertentu menjadi pakaian seragam sekolah.
Selain itu, dalam Permendikbud tersebut juga disebutkan bahwa sekolah tidak boleh membuat peraturan atau himbauan bagi peserta didik untuk menggunakan model pakaian kekhususan agama tertentu sebagai pakaian seragam sekolah. Sekolah juga tidak boleh melarang jika peserta mengenakan seragam sekolah dengan model pakaian kekhususan agama tertentu berdasarkan kehendak orang tua, wali, dan peserta didik yang bersangkutan.
Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tersebut, saya rasa sudah cukup jelas mengatur bagaimana seharusnya busana atau seragam sekolah yang harus digunakan. Tidak boleh ada pemaksaan pemakaian busana-busana keagamaan tertentu yang mesti dipaksa-pakaikan kepada peserta didik. Hanya saja hal itu butuh optimalisasi lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Agar kasus-kasus serupa, yang mencerminkan tindak-toleransi disekolah tidak kembali terulang. Lebih-lebih di dalam satuan lembaga pendidikan.
Hal ini adalah PR kita ke depan. Khususnya bagi para pengelola lembaga pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, termasuk para guru. Sekolah harus memberi contoh tentang pentingnya hidup bertoleransi. Bukan malah mengompori dan memotori tindakan-tindakan intoleransi semacam itu.
Sebagai pembelajaran, Kemendikbud harus memberi teguran dan sanksi tegas atas kasus semacam ini, jangan hanya pada level wacana, tetapi harus dalam bentuk tindakan nyata. Agar menjadi pembelajaran bagi semua. Sekolah adalah basis untuk mencetak generasi-generasi bangsa toleran, jadi jangan sampai sekolah menjadi ladang pencetak generasi-generasi intoleran yang akan kian memperkeruh kondisi dan situasi kebangsaan kita.